Penyandang Disabilitas Rentan di Tengah Pandemi COVID-19, Apa yang Bisa Dilakukan?

Peserta Diskusi Alokasi Pendanaan bagi Kelompok Rentan sedang Memetakan Dampak Ekonomi, Pendidikan, Psikologi, Keluarga, dan Kesehatan dari Pandemi COVID-19. Kegiatan ini Bertujuan untuk Mengidentifikasi Kerentanan Penyandang Disabilitas, Lansia, Anak-anak, Perempuan Kepala Rumah Tangga/Pencari Nafkah Utama, dan Kelompok Minoritas Seksual dan Gender di Tengah Situasi Pandemi.

Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan lokakarya Alokasi Pendanaan bagi Kelompok Rentan pada Selasa (6/4) lalu di Yogyakarta, dengan peserta dari perwakilan penyandang disabilitas dan kelompok pra sejahtera terdampak pandemi COVID-19 lainnya.

Lokakarya mengajak para peserta saling berdiskusi untuk mengenal kondisi kerentanan mereka di masa pandemi COVID-19, serta cara memenuhi kebutuhan khusus termasuk dukungan pendanaan selama pandemi. Diskusi berhasil mengungkap kerentanan penyandang disabilitas akibat terdampak pandemi COVID-19. Seperti dampak ekonomi mulai dari kehilangan pekerjaan hingga terbatasnya akses terhadap sumber penghidupan serta bantuan sosial. Kondisi ini pun turut berdampak pada terhadap munculnya ancaman kekerasan dan pelecehan seksual.

Selain itu, juga terdapat dampak sosial dan komunikasi seperti adanya ketebatasan berjajaring dan bermobilitas, kesulitan komunikasi karena pembatasan pertemuan dan keharusan menggunakan masker, hingga media informasi publik yang sebagian besar masih tidak aksesibel dengan kebutuhan khusus penyandang disabilitas.

Di dalam diskusi ini, para peserta juga memberikan rekomendasi terkait upaya untuk memberdayakan penyandang disabilitas di masa pandemi COVID-19. Seperti, adanya edukasi pengembangan karier dan penegakan kebijakan kuota minimal 2% untuk pekerja disabilitas di satu perusahaan. Selain itu, orang tua juga disarankan turut membantu anggota keluarga disabilitas untuk menggali minat dan bakat. Terakhir, di tingkat masyarakat diperlukan sosialisasi pendidikan seksual dan konsep pengasuhan untuk mencegah pelecehan seksual kepada anak penyandang disabilitas.

Dalam lokakarya ini, peserta juga dibekali dengan pemaparan dari mantan Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Setia Adi Purwanta mengenai hak-hak kelompok terpinggirkan yang perlu dipenuhi saat kondisi bencana seperti pandemi COVID-19.

Setia mengatakan, diperlukan kolaborasi antara negara yang diwakili oleh pemerintah, dengan komunitas masyarakat untuk memberdayakan penyandang disabilitas serta kelompok rentan lainnya agar mampu bertahan selama masa pandemi.

“Pandemi COVID-19 membuat laju pertumbuhan ekonomi terhambat, negara makin tergantung pada pemilik modal. Difabel dan kelompok marjinal lainnya makin terpuruk, terutama di bidang ekonomi dan kesehatan. Kelompok marginal sudah dari dulu susah, saat ini makin susah,” ujar Setia saat membuka FGD.

Menurut Setia, negara punya peran penting membantu penyandang disabilitas melalui saluran kebijakan. Berbagai kebijakan yang pro terhadap kelompok terpinggirkan di tingkat nasional bisa diwujudkan melalui legislasi oleh eksekutif dan legislatif. “Yang terpenting difabel, lansia, dan anak-anak harus dilibatkan dalam pembangunan,” katanya.

Adapun pemerintah daerah dan desa bisa bekerjasama dengan komunitas disabilitas di dalam program dan penganggaran. “Misalnya melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) atau Musrenbang Tematik. Tapi perlu adanya pemetaan sumber daya. Tenaga seperti apa yang kita miliki? Bisa melalui apa saja?” tegasnya.

Selain itu, menurut Setia, tidak kalah penting untuk mengumpulkan dukungan lain. Di sinilah penting untuk meningkatkan kemampuan dalam menjaring kemitraan. “Bisa memainkan sosial media, untuk membuat sesuatu yang viral. Kita bisa melakukan sendiri dalam menggalang dukungan,” ujarnya.

Sementara itu, Mukhotib MD yang hadir sebagai fasilitator menegaskan bahwa penyandang disabilitas termasuk ke dalam kelompok rentan di masa pandemic COVID-19. Sebab, mayoritas dari mereka tidak memiliki kemampuan dalam mengantisipasi, mengatasi, menolak, dan memulihkan diri (4M) ketika terjadi kondisi bencana. “Apabila tidak dapat memenuhi 4M tersebut maka disebut rentan,” katanya. 

Lokakarya Alokasi Pendanaan bagi Kelompok Rentan dilakukan sebagai bagian dari penyelenggaraan program Warga Aktif Membangun Solidaritas dan Ketahanan dalam Menghadapi COVID-19 atau Active Citizens Building Solidarity and Resilience in Response to COVID-19 (ACTION) yang sepenuhnya didanai oleh Uni Eropa.

Lokakarya ini bertujuan untuk mengidentifikasi peta situasi kerentanan yang dialami penyandang disabilitas dan kelompok pra sejahtera lainnya di tengah pandemi COVID-19. Hasilnya akan menjadi bahan dalam diskusi lanjutan bersama di Kota Yogyakarta, Kota Makassar, Kota Jakarta Timur, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Lombok Timur bersama masing-masing Pemerintah Daerah pada Juni 2021.

Diskusi lanjutan tersebut akan lebih spesifik membahas upaya-upaya advokasi yang bisa dilakukan komunitas masyarakat untuk memperoleh dukungan alokasi pendanaan dari pemerintah dan swasta agar mampu menghadapi dampak pandemi COVID-19.

Ada pun Program ACTION di koordinasi oleh Hivos dan diimplementasikan bersama oleh anggota konsorsium ACTION yaitu SAPDA, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK), Institut KAPAL Perempuan, dan Pamflet Generasi.

Demi menekan lebih banyak dampak sosial dan ekonomi dari pandemi COVID-19, bantuan pemerintah belum cukup jika hanya berhenti pada program pemberdayaan dan pengadaan bantuan sosial. Pemerintah perlu mendorong lebih banyak keterlibatan masyarakat terutama yang rentan agar segala kebijakan penanganan bencana tepat sasaran.

__________

Materi publikasi ini diproduksi dengan bantuan hibah dari Uni Eropa. Pendapat/pandangan yang dinyatakan dalam materi publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab SAPDA dan bukan mencerminkan pendapat/pandangan Uni Eropa.