Bukan Sekedar Tanggung Jawab Pengadilan, Penilaian Personal Perlu Dimulai dari Penyidikan & Penuntutan

Kewajiban melaksanakan penilaian personal sebaiknya tidak terpusat pada pengadilan negeri. Untuk lebih memastikan tersedianya akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum pidana, penerapan penilaian personal perlu dilangsungkan dari tingkat penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh kejaksaan.

Demikian salah satu simpulan penting dari Semiloka Penilaian Personal untuk Perkara Pidana di Pengadilan yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada Senin (3/5) lalu. Simpulan ini sekaligus menjawab kebingungan sejumlah pihak, termasuk SAPDA, perihal posisi penilaian personal dalam penyelesaian perkara pidana di pengadilan.

Kebingungan tersebut mencuat lantaran adanya perbedaan alur berperkara peradilan pidana dengan peradilan perdata. Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani menilai, penilaian personal akan lebih mudah dilaksanakan di dalam alur peradilan perdata, sebab para pihaklah yang langsung mendaftar. Namun kondisi yang berbeda didapati pada peradilan pidana.

“Di perkara pidana, ada proses pelimpahan dari jaksa ke pengadilan negeri. Dalam proses pelimpahan berkas, memang harus sudah ada penilaian personal idealnya. Tapi belum pasti itu bisa dilakukan. Kalau tidak ada, kemungkinannya itu jadi kewajiban PN. Tapi pelimpahannya kan berkas. Saksi dan terdakwanya tidak hadir. Lalu apa yang bisa dilakukan?” kata Nurul saat menjadi salah satu pembicara di dalam semiloka.

Karena itu, pelaksanaan penilaian personal hendaknya sudah berlangsung dari level Kepolisian dan Kejaksaan. Solusi ini salah satunya disampaikan oleh Hakim Madya Muda Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta Heri Kurniawan. Ia mengatakan bahwa prosedur seperti ini sudah berhasil diterapkan di dalam sistem peradilan anak.

“Penilaian personal dilakukan mulai dari awal di tingkat penyidikan, penuntutan. Jadi majelis tidak pusing lagi. Ketika (penilaian personal) dilakukan di tingkat awal maka di pengadilan hanya menyediakan kebutuhan saja. Majelis bisa mengikuti rekomendasi penilaian personal di penyidikan. Tidak jauh dengan sistem peradilan anak,” jelas Heri.

Lantas, bagaimana jika penilaian personal belum dilaksanakan sejak awal penyidikan? Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Prim Haryadi mengatakan bahwa pengadilan diijinkan memohon kembali Kepolisian atau Kejaksaan untuk melakukan penilaian personal dan melampirkan hasilnya ke dalam berkas perkara.

“Ketika saat pelimpahan perkara belum ada (hasil) penilaian personal, maka petugas PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) menyediakan form penilaian personal untuk diisi Kepolisian atau Kejaksaan. Form tersebut sudah ada dalam SK (Surat Keputusan) Badilum nomor 1692,” kata Haryadi.

Saran-saran itu pun juga disetujui oleh Deputi Bidang Manajemen Pengetahuan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Bestha Inasta. “Seharusnya penilaian personal sudah ada di tahapan awal penyidikan. Atau di kejaksaan sudah ada disebutkan berkas bahwa terdakwa adalah Penyandang Disabilitas. Sehingga pengadilan hanya mengecek kembali,” katanya.

Karena itu, Bestah menyarankan perlu diadakan pertemuan koordinasi khusus antara lembaga Aparat Penegak Hukum (APH). “Terkait penilaian personal, APH tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Harus koordinasi. Saran saya ke depan perlu mempertemukan Badilum dengan teman-teman SAPDA dan juga kejaksaan dan kepolisian,” jelasnya.

Menurut Bestha, sudah saatnya penilaian personal aktif diterapkan di level kejaksaan, menyusul terbitnya pedoman aksesibilitas perempuan dan anak. “Yang mengatur salah satunya terkait pertemuan pendahuluan, dimana jaksa memanggil korban atau saksi (untuk mengidentifikasi) bagaimana kebutuhannya,” katanya.

Penilaian personal sendiri merupakan upaya menilai ragam, tingkat, hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas baik yang berhadapan dengan hukum, secara medis, psikis, untuk menentukan akomodasi yang layak di dalam proses peradilan. Penilaian personal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020.

Lebih lanjut, SK Badilum Nomor 1692 telah mewajibkan seluruh pengadilan negeri di Indonesia untuk menerapkan penilaian personal. Saat ini SAPDA tengah berupaya memperluas penilaian personal hingga ke kejaksaan dan kepolisian. Upaya tersebut salah satunya telah dilakukan melalui kunjungan audiensi dan rapat strategi dengan kedua lembaga sepanjang Maret 2021 lalu.

Berjalan bersamaan, SAPDA juga tengah menyosialisasikan penilaian personal kepada lembaga peradilan mitra kerjasama, antara lain PN Yogyakarta, PN Karanganyar, PN Pati, PN Klaten, PN Malang, Pegadilan Agama (PA) Yogyakarta, PA Stabat, Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta, PT Surabaya, dan PT Palangkaraya. Seluruh kerjasama ini terwujud dengan dukungan pendanaan oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).