Mengenal Strategi Pendampingan yang Tepat untuk Disabilitas Tuli

6 orang dari komunitas Tuli sedang duduk melingkar, diskusi tentang kebutuhan untuk penanganan kasus Tuli

Pendampingan perempuan disabilitas Tuli korban kekerasan membutuhkan strategi yang baik demi memastikan semua hak-haknya dapat terpenuhi. Sebelum melibatkan mereka lebih jauh dalam proses penanganan kasus, ada baiknya untuk terlebih dahulu memahami kerentanan perempuan disabilitas Tuli di dalam proses pendampingan.

Konselor Hukum layanan Rumah Cakap Bermartabat Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (RCB SAPDA) Arini Robi Izzati mengatakan upaya memahami kerentanan perempuan disabilitas Tuli korban kekerasan salah satunya bisa dilakukan dengan melangsungkan penilaian personal kepada korban.

“Penilaian personal penting dilakukan di proses penerimaan awal, baik itu laporan, pengaduan, datang langsung itu harus ada penilaian personal yang bisa diisi individu disabilitas itu sendiri, konselor, keluarga atau pendamping,” kata Arini ketika menjadi salah satu narasumber dalam lokakarya Membangun Kerjasama Jejaring dalam Penanganan Kasus Perempuan dan Anak Disabilitas Tuli yang berlangsung pada Kamis (1/9) di Pendopo SAPDA.

Arini melanjutkan, penilaian personal membantu lembaga penyedia layanan seperti RCB SAPDA untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi perempuan disabilitas Tuli. Sebagai contoh, dari hasil penilaian personal RCB SAPDA bisa menentukan apakah akan melibatkan Juru Bahasa Isyarat (JBI) Tuli atau JBI dengar di dalam proses pendampingan. Namun, menurut Arini, setiap pemenuhan kebutuhan perlu dikembalikan pada keinginan korban.

“Semisal klien bilang bisa berkomunikasi lewat media elektronik, enggak butuh JBI. Kita coba sediakan itu. Tapi kalau ternyata dalam prosesnya konselornya kesulitan, maka kita bisa menawarkan kembali untuk memasukkan JBI. Artinya pilihan-pilihan itu ada pada korban dan kita hormati itu sebagai bentuk penghormatan hak asasi manusia dan pemberdayaan mereka,” jelas Arini.

Arini melanjutkan, hal yang tidak kalah penting adalah melakukan pengarusutamaan isu disabilitas kepada lembaga penyedia layanan atau komunitas lain yang berjejaring dengan RCB SAPDA dalam melakukan pendampingan.

“Ini sebagai dorongan kami kepada lembaga lain, bahwa dalam penanganan kasus penyandang disabilitas itu perlu untuk memasukan prinsip aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam layanannya. Harus dipetakan mulai dari kebutuhannya apa hingga pemenuhannya seperti apa,” kata Arini.

Sementara itu, Dwi Rahayu dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Sleman menjelaskan, perempuan disabilitas Tuli rentan untuk menjadi korban berbagai bentuk tindak kekerasan. Kerentanan ini muncul karena status mereka sebagai perempuan sekaligus penyandang disabilitas.

Dwi mengatakan, perempuan disabilitas Tuli salah satunya paling sering mengalami kekerasan ekonomi. “Sering terjadi pada perempuan Tuli, dimana suaminya tidak bertanggungjawab memberikan nafkah, melakukan perselingkuhan dan penghasilannya dibagi-bagi dengan orang lain,” ujarnya.

Selain itu, kata Dwi, perempuan disabilitas Tuli juga jamak mengalami kekerasan fisik dalam rumah tangga. Ketika terjadi perselingkuhan dan ketiadaan nafkah, perempuan disabilitas Tuli rentan menerima tindak kekerasan fisik ketika menunjukan ketidaksetujuannya.

Situasi menjadi lebih rumit ketika ada pihak lain yang memberikan campur tangan di dalam konflik rumah tangga. “Misalnya, orang tua memaksa anak dititipkan karena perempuan Tuli dianggap enggak bisa mengurus anak. Padahal dia berhak mengurus anaknya. Pihak orang tua suka ikut campur, kadang ngatur-ngatur kehidupan suami isteri,” jelasnya.

Selanjutnya, perempuan disabilitas Tuli tak jarang turut menjadi korban kekerasan seksual, yang menurut Dwi pendampingannya penuh dengan tantangan tersendiri. “Ketika melaporkan, pembuktiannya sulit. Misalnya ada perselingkuhan, itu biasanya dianggap suka sama suka. Padahal dalam kasus tersebut jelas ada ancaman,” ujar Dwi.

Ancaman kekerasan tersebut, kata Dwi, biasanya datang ketika perempuan Tuli menolak melakukan aktivitas seksual dengan pelaku. Setelah itu terjadi, perempuan disabilitas Tuli justru enggan untuk melapor. “Mereka takut menjadi aib, ada yang menggunjing, menjelek jelekkan, mencemooh, mengejek karena itu kan bukan hal yang baik di masyarakat dan itu juga bisa mengakibatkan malu,” katanya.

Kemudian, Dwi juga banyak menemukan perempuan disabilitas Tuli yang mengalami kekerasan diskriminasi. Dwi mengatakan, pelaku kekerasan ini sering datang dari orang terdekat seperti pasangan. “Misalnya istri enggak boleh kerja di luar, padahal suami enggak pernah memberikan nafkah. Akhirnya kan bingung, seperti dipenjara, disuruh ngurus anak dan rumah tangga,” jelasnya.

Bahkan, anggota keluarga lain juga bisa menjadi pelaku kekerasan diskriminasi. Misalnya, perempuan disabilitas Tuli sering tidak mendapatkan warisan karena tidak dipercaya mampu menyimpan dan mengelola aset. “Biasanya hanya mendapatkan ‘gaji’ hasil dari mengerjakan pekerjaan domestik. Padahal itu warisan yang seharusnya dibagi rata antar anggota keluarga,” tutur Dwi.

Terakhir, perempuan disabilitas Tuli juga rentan menjadi korban kekerasan berbasis daring berupa penyebaran konten-konten pornografi. “Di WhatsApp, Facebook banyak kata-kata kotor dan seksis yang ditunjukan kepada teman Tuli, seperti vaginanya bau, payudaranya kecil. Ada juga yang menyebarkan video ciuman atau aktivitas seksual,” katanya.

Lokakarya Membangun Kerjasama Jejaring dalam Penanganan Kasus Perempuan dan Anak Disabilitas Tuli merupakan bagian dari advokasi SAPDA dalam mendorong pemenuhan hak akomodasi yang layak dalam pendampingan perempuan disabilitas Tuli yang mengalami kekerasan berbasis gender dan disabilitas.

Lokakarya yang difasilitasi langsung oleh Indiah Andari dari Rifka Annisa ini bertujuan menyepakati bersama bentuk-bentuk dukungan layanan yang bisa diberikan kepada perempuan disabilitas Tuli korban kekerasan melalui sinergi jejaring antar lembaga. Lokakarya ini berlangsung dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).