Urgensi PERMA Disabilitas dalam Mendorong Pengadilan Inklusif

Kekosongan peraturan terkait penyelenggaraan peradilan inklusif menjadi tantangan terbesar dalam penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di lingkungan pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) sangat diperlukan sebagai dasar kebijakan terkait standar pelayanan dan mekanisme persidangan yang mendukung kebutuhan penyandang disabilitas.

Totok Yuli Biantoro dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menegaskan keberadaan Perma Disabilitas sangat penting sebagai pedoman bagi lembaga pengadilan dalam mengadili penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Menurutnya, peraturan hukum acara yang sudah ada saat ini belum cukup menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas.

“Karena faktanya memang ada kondisi kondisi khusus yang tentu harus membutuhkan penyesuaian. Jadi tidak hanya sekedar sarana dan prasarana yang walaupun notabene juga sangat penting,” kata Totok ketika hadir sebagai narasumber dalam lokakarya Strategi Advokasi Peraturan Mahkamah Agung tentang Akomodasi yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas, pada Senin (19/10).

Alasan lainnya, menurut Totok, Mahkamah Agung memiliki otoritas untuk mengatur lebih lanjut kelancaran penyelenggaraan peradilan. “Dia menjadi semacam instrumen dan itu menjadi jaminan bagi perlakuan yang lebih bagi penyandang disabilitas yang tentu akan menjadi lebih bisa terjamin atau terpenuhi hak-haknya,” katanya.

Melengkapi Totok, Muhammad Syafii dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) mengatakan urgensi keberadaan Perma Disabilitas menjadi sangat penting karena Indonesia sudah memiliki berbagai dasar kebijakan terkait perlakuan hukum yang adil bagi penyandang disabilitas.

“Mandatnya sudah cukup jelas bahwa kita sudah punya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016. Kita juga sudah meratifikasi CRPD lewat UU Nomor 19 Tahun 2011, sebagai wujud untuk melanjutkan mandat dari konstitusi bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun,” jelas Syafii.

Syafii menambahkan bahwa Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang memandatkan proses peradilan yang baik dan adil, termasuk bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. “Dari ratifikasi itu, kita sudah punya Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2020 yang menegaskan bahwa ketika difabel berhubungan dengan dunia peradilan maka tidak boleh terjadi diskriminasi,” lengkapnya.

Kemudian, Rini dari Women Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA mengatakan Hakim sangat membutuhkan adanya Perma sebagai pedoman dalam menjalankan mekanisme beracara bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

“Perlu pemahaman lebih dalam terkait dengan itu, tidak hanya bagi pengadilan yang di Jogja tapi di seluruh Indonesia, Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, bahkan Militer. Jadi kalau terkait dengan urgensi Perma ini perlu khusus disusun untuk pemenuhan hak penyandang disabilitas,” kata Rini.

Sementara itu, Syarli Suhendra dari Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia mengatakan Perma Disabilitas setidaknya harus mencakup empat tahapan proses peradilan, yaitu tahapan pelimpahan berkas perkara, pra persidangan, persidangan dan pasca persidangan. “Dalam praktiknya, Perma ini dimunculkan ketika hukum acara belum begitu maksimal mengatur tentang teknis teknis peradilan,” jelasnya.

Lokakarya Strategi Advokasi Peraturan Mahkamah Agung tentang Akomodasi yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas merupakan bagian dari langkah advokasi SAPDA untuk menciptakan akses keadilan yang setara bagi semua orang. Lokakarya ini berlangsung dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Australis melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2).

Lokakarya ini lebih lanjut bertujuan untuk membuat strategi advokasi bersama untuk mendorong terbitnya Perma terkait isu penyandang disabilitas, dengan harapan Mahkamah Agung bisa memberikan dukungan kepada teman-teman disabilitas yang berhadapan dengan hukum di level pengadilan.

“Kami melihat adanya kebutuhan berkaitan dengan Peraturan Mahkamah Agung ini, karena baik sistem maupun beberapa implementasi atas layanan yang sudah ada masih belum berjalan secara optimal,” kata Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani.

Sebagai hasil dari lokakarya ini, SAPDA bersama lembaga-lembaga yang hadir kemudian menyepakati rencana tindak lanjut untuk mendorong Perma Disabilitas, antara lain membuat naskah akademik, menyusun draft Raperma dan berkoordinasi dengan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kelompok Kerja (Pokja) Disabilitas Mahkamah Agung RI.