Tips Melibatkan JBI dalam Pendampingan Kasus Tuli

JBI Ragil sedang mempresentasikan materi

Penyediaan Juru Bahasa Isyarat (JBI) menjadi salah bentuk akomodasi yang bisa dihadirkan dalam pendampingan penyandang disabilitas Tuli korban kekerasan. Di Indonesia sendiri, permintaan layanan JBI dapat dilakukan melalui Pusat Layanan JBI (PLJ). Lantas, bagaimana mekanisme mengakses layanan JBI untuk kepentingan penanganan kasus?

Juniati Effendi dari PLJ Pusat menjelaskan lembaga yang memerlukan peran JBI untuk kegiatan apapun, termasuk penanganan kasus, dapat langsung menghubungi kontak admin PLJ. Namun Juniati mengingatkan admin PLJ memiliki jam operasional sehingga belum bisa menerima permintaan dalam 24 jam.

“Biasanya Sabtu atau Minggu pun libur. Kalau ada pesanan masuk, mungkin baru akan direspon hari Seninnya. Maaf, pengurus PLJ mulai ketua, sekretaris, bendahara, admin, humas itu masih relawan,” kata Juniati saat menjadi salah satu narasumber dalam lokakarya Membangun Kerjasama Jejaring dalam Penanganan Kasus Perempuan dan Anak Disabilitas Tuli yang berlangsung pada Kamis (1/9) di Pendopo SAPDA.

Pada saat menghubungi admin PLJ, lembaga yang bersangkutan dapat langsung menyampaikan kebutuhannya -termasuk apakah memerlukan JBI Tuli atau JBI dengar. Juniati mengatakan, JBI Tuli dibutuhkan untuk mengakomodir kondisi disabilitas Tuli yang beragam, sebab tidak semua dari mereka memiliki kapasitas menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).

“Tuli kan bahasanya berbeda-beda. Ada yang pakai bahasa ibu, bahasa gestur yang lebih dipahami oleh sesama Tuli. JBI Tuli akan menerjemahkan informasi dari korban, baru kemudian JBI dengar. JBI dengar bisa belajar lebih banyak dari JBI Tuli. Mereka mungkin paham Bisindo, tetapi ketika bertemu teman Tuli belum tentu bisa memahami bahasa Tuli yang asli,” jelas Juniati.

Setelah menghubungi admin PLJ, lembaga akan mendapatkan informasi mengenai biaya yang perlu dikeluarkan. Permasalahannya, kata Juniati, teman-teman Tuli sering kali memiliki biaya terbatas atau tidak memiliki biaya sama sekali. Ketika itu terjadi, PLJ biasanya akan membantu pembayaran JBI. Ini juga dilakukan ketika permintaan datang dari lembaga penegak hukum yang biasanya tidak memiliki alokasi anggaran khusus untuk perlibatan JBI.

“Di PLJ sendiri, ketika menerima uang itu selalu disisihkan, tidak semua ditransfer ke JBI. Ada sisa sedikit yang dimasukkan dan disimpan oleh PLJ untuk kalau misalkan ada korban tuli yang enggak ada dana. Uang yang disimpan ini bisa dibayarkan untuk jasa JBI,” kata Juniati.

Selain itu, lembaga atau teman-teman Tuli yang mengalami keterbatasan dana juga bisa melakukan negosiasi langsung dengan admin PLJ. Juniati mengatakan, hal tersebut tetap bisa dilakukan kendati PLJ pusat sudah mengesahkan standar harga tertentu yang disepakati oleh PLJ seluruh daerah.

“Sering kali karena dianggap kemahalan, lembaga itu langsung pergi dan tidak jadi menggunakan layanan JBI di PLJ. Padahal sebenarnya di situ ada posisi tawar dari klien. JBI juga bisa berkontribusi sebagai relawan yang akan mendapatkan penggantian uang transportasi atau uang pulsa,” ujar Juniati.

Sementara itu, menurut Ragil Ristiyanti, salah seorang JBI yang tergabung dalam PLJ DIY mengatakan penyediaan layanan JBI juga tidak terlepas dari berbagai tantangan. Dalam konteks pendampingan kasus misalnya, jumlah sumber daya JBI berbanding terbalik dengan jumlah kasus yang beredar. Ragil mengatakan, situasi ini sangat terasa di DIY.

“Apalagi, sebagian JBI tempat tinggalnya jauh, ada yang di Wonogiri, Purwokerto sampai Kalimantan. Mereka masuk dalam database JBI DIY, namun tinggalnya sudah di luar DIY. Ketika ada kegiatan yang memerlukan JBI datang langsung on site, itu susah. Tapi kalau online masih bisa. Para JBI juga memiliki jadwalnya masing-masing yang sudah penuh,” jelas Ragil yang juga hadir sebagai narasumber.

Di samping keterbatasan sumber daya JBI, PLJ juga mengalami kesulitan ketika harus mengirim JBI ke tempat-tempat yang jauh. “Kebanyakan JBI tinggal di Kota Yogyakarta, tetapi kasus sering datang dari Bantul atau Kulon Progo yang membutuhkan waktu perjalanan yang lama. Jadi waktunya habis di jalan. Padahal durasi pendampingan kasus sendiri juga memakan waktu,” katanya.

PLJ DIY sendiri pertama kali berdiri pada 19 September 2019 lalu. Sementara PLJ pusat sudah berdiri pada 7 Februari 2015. Mulanya tujuan PLJ adalah menjembatani hambatan-hambatan komunikasi yang biasa terjadi di dalam pertemuan-pertemuan yang melibatkan teman Tuli dan teman dengar sekaligus.

Dalam memberikan layanan, PLJ bekerjasama langsung dengan Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) dan beberapa komunitas JBI lokal. Berdasarkan data terakhir pada tahun 2020, terdapat sekitar 23 JBI Tuli dan 66 JBI dengar yang tersebar di seluruh Indonesia.

Lokakarya Membangun Kerjasama Jejaring dalam Penanganan Kasus Perempuan dan Anak Disabilitas Tuli merupakan bagian dari advokasi SAPDA dalam mendorong pemenuhan hak akomodasi yang layak dalam pendampingan perempuan disabilitas Tuli yang mengalami kekerasan berbasis gender dan disabilitas.

Lokakarya yang difasilitasi langsung oleh Indiah Andari dari Rifka Annisa ini bertujuan menyepakati bersama bentuk-bentuk dukungan layanan yang bisa diberikan kepada perempuan disabilitas Tuli korban kekerasan melalui sinergi jejaring antar lembaga. Lokakarya ini berlangsung dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).