Para penyandang disabilitas menjadi kelompok yang terabaikan dalam perhelatan politik. Padahal, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 telah menjamin secara jelas hak-hak politik bagi penyandang disabilitas, termasuk salah satunya adalah memperoleh pendidikan politik. Ini tercantum di dalam pasal 13 huruf F dari produk hukum itu.
Partai politik adalah salah satu agen penting pemberi pendidikan politik bagi warga negara. Namun, produksi pendidikan politik mereka seringkali tidak menjangkau kelompok marjinal seperti penyandang disabilitas. Hal ini tercermin dalam penelitian milik Siti Nurdianti bertajuk ‘Euforia Politik Mengabaikan Penyandang Disabilitas.’
“Partai politik sebenarnya wajib melakukan pendidikan politik kepada masyarakat luas yang termasuk di dalamnya ada penyandang disabilitas. Tapi ternyata belum disasar, karena mereka mungkin tidak menyangka keberadaan penyandang disabilitas,” katanya saat memaparkan hasil penelitiannya dalam diskusi Hasil Riset Advokasi Berbasis Gender, Disability & Social Inclusion sesi 5 bertema Politik dan Ekonomi.
Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap tiga Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dari Partai Politik dengan konsituen terbanyak di Banjarmasin, Siti menemukan sejumlah faktor yang membuat partai politik abai dalam memberikan pendidikan politik kepada kelompok penyandang disabilitas.
Pertama, karena minimnya pengetahuan, seperti yang ditemukan pada DPC partai Golongan Karya (Golkar) Banjarmasin. “Golkar tidak memiliki pengetahuan tentang difabel, mereka juga tidak tahu bagaimana cara transfer pengetahuan kepada difabel,” katanya.
Masalah inilah yang membuat anggota DPC Golkar Banjarmasin tidak terpikirkan untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam pendidikan politik. Ditambah lagi, DPC Golkar Banjarmasin memang membatasi pendidikan politik hanya kepada kalangan tertentu.
“Seperti hanya ke Ketua Kelurahan atau Ketua Kecamatan. Padahal kalau secara tempat, kantor Golkar ini berhadapan dengan Ketua PPDI (Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia) di kota Banjarmasin,” jelas Siti.
Ada pula DPC partai politik yang terkendala faktor eksternal, seperti dari Partai Amanat Nasional (PAN). Menurut hasil penelitian Siti, PAN memiliki perbedaan pandangan dengan PAN Nasional perihal isu penyandang disabilitas. Padahal, kebijakan keduanya saling bergantung sama lain.
“PAN di kota Banjarmasin sudah sadar bahwa penyandang disabilitas harus diberikan ruang supaya mereka bisa berdaya. Sementara di tingkat pusat memandang bahwa penyandang disabilitas adalah kelompok yang hanya harus dikasihani dan dibantu,” jelasnya.
Dalam penelitiannya, Siti hanya menemukan satu DPC yang menaruh perhatian pada pemenuhan hak pendidikan politik penyandang disabilitas, yaitu dari partai Gerindra. Dalam pesta demokrasi terakhir yakni Pemilihan Umum tahun 2019, Gerindra telah melakukan sosialisasi dan simulasi pemungutan suara bagi penyandang disabilitas.
“Materi yang disampaikan ada tiga, pertama pemilu sebagai bentuk demokrasi di Indonesia. Kemudian memasikan difabel masuk ke dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Nah yang ketiga itu adalah teknis pelaksaan pemungutan suara,” jelas Siti.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Siti pun merekomendasikan agar setiap partai politik memiliki regulasi internalnya masing-masing perihal perlibatan penyandang disabilitas dalam pendidikan politik. Para pengurus partai pun menurutnya juga harus diberikan mainstreaming cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
“Yang terakhir adalah pengadaan modul pendidikan politik untuk teman-teman parpol. Karena masih banyak yang mengalami kendala bagaimana berkomunikasi dengan disabilitas, dan mungkin bisa disesuaikan dengan ragam disabilitasnya,” lanjutnya.
Melengkapi Siti, anggota MPR RI Anggiasari Puji mengatakan bahwa edukasi tentang isu disabilitas di badan partai politik masih hanya sampai permukaan. Menurutnya, edukasi setidaknya harus menyentuh level Dewan Pertimbangan Partai.
“Tetapi ini menjadi kesempatan bagi kita semua untuk melengkapi diri kita untuk mempelajari ideologi-ideologi partai, dan mungkin kalau ada teman-teman di luar sana yang berniat atau termotivasi untuk terjun ke dalam kancah politik praktis, ini adalah saat yang tepat,” tambahnya.
Sementara itu, pengajar dari Universitas Brawijaya Slamet Tohari berpendapat bahwa minimnya perhatian partai politik terhadap penyandang disabilitas juga tidak terlepas dari rendahnya reproduksi isu disabilitas di Indonesia. Dari pendataannya melalui mesin pencari Google Scholar, diketahui riset tentang isu disabilitas dalam negeri begitu sedikit.
Isu-isu disabilitas dari tahun ke tahun itu cuman 16 ribu artikel. Ini jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia itu 900 ribu, di Thailand ada 20 ribu, di Australia lebih jauh lagi yaitu 1 juta 500. Kita belum ada apa-apanya,” katanya.
Selain itu, dalam jangka waktu 20 tahun dari 2000 hingga 2020, Indonesia hanya memiliki 1000 riset tentang isu disabilitas. “Ini sungguh sangat sedikit sekali. Bahkan di tahun 2019 cuma 73 artikel yang dipublish terkait isu disabilitas,” ujar Slamet.
Program riset Riset Advokasi Berbasis GEDSI sendiri telah dilangsungkan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Anak, dan Difabel (SAPDA) Yogyakarta sejak 8 Oktober 2019 lalu. Hadir pula dalam diskusi, yakni Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan dan Dina Afriyanty dari Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN). Serta periset lain yang juga melakukan presentasi yaitu Rohani Inta.