Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) belum sepenuhnya menjangkau perempuan penyandang disabilitas, mengingat banyak dari mereka belum cukup mendapatkan informasi maupun layanan kesehatan seputar HKSR. Kondisi ini pun mempengaruhi cara perempuan penyandang disabilitas memaknai otoritas tubuh dan seksualitas mereka.
Situasi tersebut menjadi temuan dalam riset bertajuk Advokasi Berfokus Otonomi Tubuh dan Hak Seksual Perempuan Difabel di Indonesia yang diterbitkan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) di bawah dukungan pendanaan dari Women’s Fund Asia.
Riset ini melibatkan sepuluh perempuan penyandang disabilitas dengan seksualitas aktif dari setiap ragam disabilitas. Responden berusia antara 20-40 tahun dari dua wilayah dengan perbedaan budaya yakni Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Hasil wawancara kepada responden menunjukan bahwa sebenarnya perempuan penyandang disabilitas tidak mengalami hambatan seksualitas dan mampu melakukan aktivitas seksual seperti perempuan pada umumnya. Riset ini justru menemukan hambatan terbesar justru datang dari lingkungan luar.
“Mereka mampu melakukan aktivitas seksual mereka dengan normal. Tindakan diskriminasi muncul justru dari masyarakat yang mempertanyakan soal pengasuhan anak mereka, dimana perempuan penyandang disabilitas dianggap tidak mampu merawat anak, aseksual (atau bahkan hiperseksual)”, demikian kutipan salah satu hasil riset.
Tidak berhenti pada persoalan pengasuhan, stigma terhadap perempuan penyandang disabilitas juga mencakup preferensi seksual mereka. Riset ini menemukan sejumlah perempuan penyandang disabilitas merasa takut untuk mengungkapkan preferensi seksualnya lantaran lingkungan terdekat memandangnya sebagai perilaku seksual menyimpang.
Perempuan penyandang disabilitas lebih banyak memutuskan untuk tunduk pada situasi. “Mereka sangat takut kehilangan anggota keluarganya dan lebih memilih menyembunyikan orientasi seksualnya bahkan pasangannya” ungkap riset ini.
Masih berdasarkan riset yang sama, stigma-stigma tersebut kemudian memberikan dampak kepada pemenuhan informasi HKSR bagi perempuan penyandang disabilitas. Baik di Yogyakarta maupun Kupang, anggapan bahwa mereka tidak mampu mengurus keluarga membuat perempuan penyandang disabilitas seringkali tidak tersentuh oleh edukasi seputar HKSR.
Salah satu topik edukasi yang penting namun jarang mereka peroleh yakni perihal kontrasepsi. Sebaliknya, hak perempuan penyandang disabilitas untuk memiliki anak justru diabaikan lewat praktik pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi oleh anggota keluarga terdekat.
“Perempuan difabel membutuhkan akses informasi tentang alat kontrasepsi yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, bukan pemaksaan pemasangan kontrasepsi yang dilakukan pada sebagian perempuan difabel dengan alasan agar tidak hamil terus menerus karena kekerasan seksual yang mereka dapatkan,” tulis riset.
“Disabilitas memiliki otonomi atas tubuh, berhak menolak tindakan medis terhadap diri sendiri, termasuk menolak kontrasepsi atau sterilisasi organ reproduksi. Mereka berhak menolak tindakan kekerasan terhadap tubuh dan pemaksaan kontrol atas seksualitas mereka” tambah riset tersebut.
Riset ini lebih lanjut menegaskan bahwa keluarga perlu mengambil peran utama dalam pemberian edukasi seputar HKSR kepada perempuan penyandang disabilitas. “Dengan dukungan keluarga dan tekad yang kuat, (beberapa) responden mampu membuktikan meskipun disabilitas bisa punya anak dan mampu merawat anak dengan baik”, ungkap bagian riset yang lain.
Riset ini juga menegaskan bahwa seksualitas tidak terbatas berbicara tentang kondisi biologis dan psikologis. “Seksualitas juga meliputi perasaan, keinginan, fantasi, dan pengalaman manusia terkait dengan kesadaran seksual, rangsangan dan tindakan seksual termasuk dalam hubungan heteroseksual dan hubungan homoseksual,” kata riset ini.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Convention on the Rights People with Disability (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang isinya mengatur tentang pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi utamanya bagi perempuan penyandang disabilitas.
Pasal 5 (ayat) 1 dari kovensi tersebut dengan tegas mengatur bahwa perempuan penyandang disabilitas berhak menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi; mendapatkan pelindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; dan mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan.
Karena itu, riset ini memberikan sejumlah rekomendasi terkait pemberian perlindungan lebih terhadap otoritas tubuh dan seksualitas perempuan penyandang disabilitas; serta pemenuhan hak HKSR bagi perempuan penyandang disabilitas. Rekomendasi tersebut antara lain:
a. Memastikan adanya akses informasi pada perempuan disablitas akan pentingnya kesehatan reproduksi;
b. Melakukan pendidikan seksualitas khusus pada penyandang disabilitas sesuai dengan ragam dan kebutuhannya secara intensif;
c. Melibatkan keluarga dan orangtua dengan anak disabilitas dalam kegiatan-kegiatan pendidikan bagi disabilitas;
d. Adanya akses informasi yang jelas tentang alat kontrasepsi;
e. Adanya layanan yang aksesibel terkait pelayanan/konseling yang berhubungan dengan alat kontrasepsi;
f. Adanya klink khusus bagi orang tua dengan anak penyandang disabilitas.
**********
Pembaca dapat menyimak hasil riset selengkapnya berikut ini: