SAPDA Lakukan Roleplay Uji Coba Aksesibilitas di PN Yogyakarta

Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan roleplay uji coba aksesibilitas terhadap fasilitas di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Jumat (4/12). Kegiatan ini merupakan tindak lanjut atas MoU kedua lembaga, sekaligus sebagai peringatan Hari Disabilitas Internasional.

Roleplay dipandu oleh Fatum Ade dan Rini Rindawati dari divisi Woman & Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA. Selain itu, turut hadir sejumlah individu dari setiap ragam disabilitas, yang secara langsung mencoba dan menilai fasilitas yang ada. Fasilitas tersebut antara lain guiding block, ram, handrail, dokumen braille, hingga toilet.

Secara umum, para penyandang disabilitas berpendapat bahwa fasilitas di PN Yogyakarta sudah cukup aksesibel, namun dengan sejumlah catatan kekurangan kecil. Misalnya saja, handrail pada ram besar menuju ruang sidang yang terlalu jauh dijangkau. “Seharusnya dari ujung sudah ada. Jadi kita bisa naik sendiri,” kata Ida, penyandang disabilitas fisik.

Terlepas dari itu, Ida mengapresiasi ram dan toilet yang sudah ramah bagi kursi roda. “Cuman nanti kalau buat lagi mungkin lebih baik klosetnya menghadap ke pintu. Kalau bisa, mungkin yang pintunya didorong aja. Dan jangan ceklak ceklek, takut tidak bisa keluar. Mending pakai slot saja,” lanjut Ida.

Ada pun bagi Nana, penyandang disabilitas tuli, PN Yogyakarta perlu menambah media visual yang bisa diakses kelompoknya untuk memperoleh informasi tentang peradilan. “Perlu ada juru bahasa isyarat juga. Teman tuli kebutuhannya kan komunikasi sebenarnya, penyampaian informasi,” katanya dengan bantuan Juru Bicara Isyarat (JBI), Randy.

Selain itu, juga diperlukan papan petunjuk dengan huruf braille, untuk memudahkan teman-teman disabilitas netra dalam membedakan ruangan dan fasilitas. “Kan itu setiap ruangan hampir sama bentuknya. Kalau tidak ada tanda bisa keliru masuk,” kata Siti, penyandang disabilitas netra.

Akan tetapi, Siti mengapresiasi bangunan PN Yogyakarta yang dinilainya telah aksesibel karena tidak memiliki banyak lubang membahayakan. “Kalau pun ada turunan, hanya sedikit, beberapa senti. Dan juga sudah ada guding blocknya,” tuturnya.

Selain itu, Siti juga menilai dokumen layanan dengan huruf braille sudah mudah digunakan. Hanya saja, ketika aktivitas persidangan sudah kembali offline pasca pandemi Covid-19, Siti berpesan kepada PN Yogyakarta agar menyiapkan fasilitas audio untuk memudahkannya mengidentifikasi siapa dan apa saja yang berada di ruang sidang.

Ada pun informasi petunjuk di lingkungan PN Yogyakarta sudah cukup dipahami teman-teman disabilitas intelektual. Hanya saja, perlu ada penyederhanaan bahasa pada dokumen layanan pengadilan. “Kalau untuk yang lain, sudah cukup mengerti, bisa dipahami,” kata Maya, meneruskan pendapat putrinya, Agatha yang merupakan penyandang disabilitas intelektual grahita.

Kegiatan ini juga diawasi langsung oleh Ketua PN Yogyakarta Frida Ariyani dan Sekretaris Widodo Budi Santoso. Frida sendiri berharap, dengan adanya peningkatan fasilitas yang aksesibel di PN Yogyakarta, para penyandang disabilitas tidak ragu untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana ke lembaga yang dimpimpinnya.

Kepada SAPDA, ia pun berjanji akan menyediakan fasilitas tambahan lainnya, yakni Pos Bantuan Hukum (Posbakum) khusus untuk penyandang disabilitas. Seperti yang diketahui, saat ini Posbakum di PN Yogyakarta hanya tersedia untuk non-disabilitas.

“Tapi paling tidak, mungkin di awal-awal disabilitas tetap bisa mempergunakan layanan tersebut. Tentunya ke depannya pasti ada spesifikasi pemberian layanan bantuan hukum bagi penyandang disabilitas, demikian juga ahlinya,” kata Frida.

Sementara itu, Widodo menjelaskan bahwa upaya PN Yogyakarta untuk menciptakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas telah dimulai sejak tahun 2019. Hanya saja, kala itu fasilitas hanya dibangun seadanya tanpa memperhatikan standar.

“Tetapi sekarang sudah memenuhi aksesibilitas yang lebih baik dari sebelumnya, atas pendampingan dari Yayasan SAPDA. Ketika membuat sarpras itu, kami diberikan arahan langsung dari yayasan yang membidanginya,” jelas Widodo.

PN Yogyakarta adalah salah satu dari 11 pengadilan yang dipilih Mahkamah Agung (MA) dan mendapatkan pendanaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menjadi pengadilan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

SAPDA sendiri bertugas mendampingi lima pengadilan di antaranya, termasuk PN Yogyakarta. Perjanjian kerjasama antara keduanya telah dimulai sejak 12 Juli 2018 lalu. Selain itu, SAPDA di antaranya telah menjalin kerjasama dengan PN Karanganyar, Pengadilan Agama (PA) Yogyakarta, dan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta.