Anak penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang begitu rentan menjadi korban kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga psikologis. Namun, seringkali kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas sangat sulit untuk terungkap dan diselesaikan.
Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Sa’adah mengatakan bahwa persoalan tersebut disebabkan karena isu tentang anak disabilitas belum diperhatikan secara optimal. Menurutnya, isu ini baru naik ke permukaan pada 5 sampai 6 tahun terakhir, beriringan dengan isu kesehatan reproduksi.
“Sedangkan isu disabilitas yang dibicarakan dalam 10 tahun terakhir lebih banyak terkait dengan pembagian ekonomi dan politik. Bagaimana teman-teman disabilitas merebut ruang-ruang ekonomi dan ruang-ruang politik,” kata Nurul ketika menjadi pembicara dalam webinar bertajuk Kekerasan pada Anak Disabilitas, Sabtu (28/11) lalu.
Menurutnya, kondisi di atas membuat kepentingan anak penyandang disabilitas belum begitu tersuarakan. Perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga belum jamak. Alhasil, keluarga menjadi satu-satunya pihak yang harus bergerak. “Nah bergeraknya kemana? Lebih bagaimana mereka bisa menerima anak disabilitas,” kata Nurul.
Namun, dalam realitasnya tidak semua keluarga tidak memiliki penerimaan yang baik terhadap anak disabilitas. Sebaliknya, justru keluargalah yang menjadi sumber kekerasan itu sendiri. “Kemudian juga dari lingkungan terdekat, bisa jadi guru dan termasuk pengasuh, pendamping,” jelas Nurul.
Ketiadaan penerimaan itu akhirnya membuat keluarga tidak mampu memahami hambatan anak disabilitanya. “Hambatan-hambatan dalam memahami situasi, menangkap informasi, atau menjalankan perintah, itu seringkali menjadikan orang tua atau orang dewasa di sekitarnya melakukan beberapa tindakan yang bersifat abuse,” kata Nurul.
Terkhususkan bagi anak penyandang disabilitas mental atau intelektual, mereka sering memperoleh cap ‘anak nakal’ karena perilaku yang datang dari hambatan yang dimilikinya. “Anak-anak dengan hiperaktif itu kan seringkali melakukan aktivitas-aktivitas yang menurut kita menganggu orang lain. Nah karena itu disebut anak nakal,” ujarnya.
Di saat keluarga menjadi pelaku kekerasan, maka anak disabilitas secara otomatis menjadi milik negara. Namun sayangnya, menurut Nurul, pemerintah sendiri belum memiliki sistem yang memungkinkan pengamanan, perlindungan, dan pendidikan bagi mereka.
Padahal, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas telah menjamin hak anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan perawatan dan pengasuhan dari keluarga pengganti. Ini tercantum dalam pasal 5 ayat 3 huruf b dari aturan tersebut.
Proses Hukum Tidak Memadai
Selain karena isunya yang belum begitu diperhatikan, sulitnya pengungkapan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas juga tidak terlepas dari proses hukum yang tidak memadai.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan bahwa untuk sekedar memastikan pelaku dan kronologis kejadian saja sudah cukup sulit. “Memang dibutuhkan orang-orang yang hidup dengan anak ini, dan juga pendamping yang mengerti bahasa anak-anak ini,” katanya.
Selanjutnya, ketika dilimpahkan ke Berita Acara Pemeriksaan (BAP), terdapat kendala bahasa dan psikologis. Sebab, tidak semua Aparat Penegak Hukum (APH) terlatih dalam menghadapi anak dengan penyandang disabilitas. Persoalan ini membuat pengukapan saksi dan bukti seringkali menjadi terhambat.
“Karena anak dalam keterbatasan itu kan juga biasanya mungkin harus mengungkapnya dengan bahasa-bahasa isyarat, dengan contoh, dengan boneka, dan seterusnya. Di persidangan harus ada fasilitas khusus dan tenaga yang bisa mengerti psikologis anak dengan disabilitas,” jelas Rita.
Belum sampai di sana, rehabilitasi bagi anak penyandang disabilitas juga cukup sulit, karena belum begitu terserapnya tenaga ahli. “Ketika situasi biasa saja tanpa kekhusuan saja, rehabilitasi dan pendampingan anak korban itu sudah problematik. Jadi kita bisa bayangkan jika itu anak dengan disabilitas,” ujar Rita.
Kondisi kemudian kian diperburuk dengan kultur keluarga di Indonesia yang tidak komunikatif. Masalah ini, kata Rita, membuat kasus kekerasan terhadap anak, baik penyandang disabilitas dan tanpa disabilitas rata-rata memerlukan waktu 4 hingga 5 tahun untuk bisa terungkap.
“Anak hanya diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan pendek dan pertanyaan yang membutuhkan satu jawaban. Nah dengan itu, orang tua menganggap sudah selesai urusannya. Jadi anak tidak terbiasa bercerita. Begitu terungkap pun juga terbatas, karena adanya ketidakpahaman dan ketakutan dari anak,” jelasnya.
Menurut Rita, kebiasaan tersebut tidak terlepas dari paradigma pengasuhan kebanyakan orang tua yang hanya fokus kepada asupan gizi dan pertumbuhan secara fisik, tanpa memperhatikan perkembangan anak.
“Contoh yang paling gampang adalah, kalau anak pulang sekolah yang ditanya sudah makan atau belum. Tidak bagaimana dengan perasaanya? Apakah ada konflik dengan anak lain? Nah, itu tidak terlihat dengan baik,” kata Rita.
Secara umum, kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. Ini terlihat dari data aduan KPAI hingga Agustus 2020, yang menunjukan bahwa jumlah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) menduduki peringkat terbanyak pada 10 tahun terakhir, yakni 13.071 kasus. Lonjakan tertinggi terlihat pada 2014, yakni 2.208 anak.
Turut hadir pula dalam webinar yakni Kepala Bidang Penanganan Perkara & Advokat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum UII Asasiputih yang membagikan cerita seputar cara lembaganya dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan penyandang disabilitas.
Webinar sendiri diselenggarakan oleh Prodi Hukum Fakultas Ekonomi dan Sosial (FES) Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Yogyakarta bekerja sama dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII).