Apa yang Bisa Diberikan Saat Ada Perempuan Penyintas Kekerasan?

Pembaca yang baik, artikel ini telah dikoreksi karena terdapat kesalahan dalam penyebutan narasumber Catur Udhy Handayanie. Sebelumnya, artikel ini menyebut kehadirannya adalah untuk mewakili Rifka Annisa Woman Crisis Center. Tim SAPDA Media menyadari bahwa informasi itu keliru, karena saat ini yang bersangkutan bekerja untuk P2TP2A Yogyakarta.

______________________________________________________________________________

Kekerasan rumah tangga menjadi satu dari sekian banyak kekerasan yang mengancam perempuan maupun perempuan penyandang disabilitas. Pihak-pihak sebaya yang di sekitarnya punya peran strategis membantu mereka mengakses keadilan. Lantas, apa yang bisa dilakukan ketika mendapati perempuan terdekat menjadi penyintas kekerasan?

Catur Udhy Handayanie, konsultan hukum dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Yogyakarta menjawabnya dalam lokakarya Dasar-dasar Pendampingan Hukum Bagi Konselor Sebaya yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Sabtu (30/1) lalu.

Ketika ada perempuan yang datang sebagai penyintas kekerasan, sebagai paralegal tidak disarankan langsung membawanya ke layanan kesehatan maupun kepolisian. “Yang kita lakukan pertama adalah kita tenangkan dulu,” tegas Udhy kepada para peserta lokakarya yang berasal dari beragam organisasi penyandang disabilitas (OPD).

Paralegal sendiri merupakan pihak-pihak memberikan pendampingan hukum dan memperjuangkan keadilan bagi perempuan, anak, dan penyandang disabilitas yang menjadi penyintas kekerasan. Keberadaannya sangat penting membantu mereka mendapatkan dukungan di tengah terbatasnya advokat dan penanganan hukum yang rumit.

Senada dengan Udhy, Supriyati yang merupakan perwakilan dari Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) mengatakan bahwa menenangkan penyintas bisa membuatnya nyaman untuk bercerita. “Dipahamkan juga bahwa ia punya hak membela diri, diberi alternatif pilihan hal-hal yang bisa ditempuh. Jadi menguatkan mental dulu,” katanya.

Melengkapi Supriyati, Tari dari komunitas paraplegia mengingatkan bahwa paralegal tetap harus memberikan waktu terlebih dahulu bagi penyintas untuk bisa menerangkan apa yang dialami. “Tapi itu enggak akan mudah. Mau ke aparat pun banyak yang enggak berani, karena takut,” jelasnya.  

Setelah tenang, penyintas bisa dibawa ke layanan kesehatan, untuk mendapatkan visum sebagai alat bukti untuk proses hukum. Sayangnya, di lapangan, proses rujukan ke rumah sakit atau Puskesmas seringkali berlangsung penuh kesalahpahaman. Sebab banyak yang berpikir bahwa merujuk penyintas harus membawa surat pengantar dari kepolisian.

“Padahal tidak seperti itu. Kita sampaikan bahwa kita pendamping mau mengantar korban untuk diperiksa mungkin nantinya diperlukan visum. Yang mengambil hasil visum memang polisi. Kalau kita dari rumah sakit hanya dapat kartu pasien biasa,” timpa Udhy kembali.

Selain membawanya ke layanan kesehatan, menurut Udhy, intervensi krisis lainnya yang bisa dilakukan yakni mengamankan alat bukti. Sebagai contoh, dalam kasus pemerkosaan, penyintas disarankan tidak membersihkan diri terlebih dahulu.

“Karena siapa tahu ada sperma, rambut, atau apapun dari tubuh laki-laki itu menempel di perempuan. Makanya jangan sampai dibersihkan sampai dokter memeriksa. Bajunya disimpan. Jangan dicuci. Bajunya dimasukkan plastik,” kata Udhy.

Menambahkan Udhy, Mita, yang merupakan pendamping orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menyarankan agar paralegal membantu mengorek cerita dari awal sampai terjadi kekerasan. “Jika yakin berpisah, otomatis kita juga harus mencari advokat. Kita melakukan jejaring terkait layanan yang dibutuhkan,” tambah Mita.

Setelah semua upaya itu membuatnya pulih, penyintas bisa menjalani konseling. Dalam kegiatan itu, mereka bisa memilih solusi apa yang ingin ditempuh selanjutnya. Namun, paralegal yang mendampinginya disarankan tidak turut memberikan saran.

“Pilihannya pada korban, bukan kita yang memilihkan. Tugas kita bukan jadi pahlawan untuk korban, karena korban mungkin punya pertimbangan lain. Kita tidak boleh memaksakan kehendak. Kita hanya membantu karena yang tahu persis kondisi rumah tangganya adalah si perempuan itu sendiri,” timpa Udhy kembali.

Solusi yang dimaksud bisa melalui jalur hukum atau non-hukum. Jika memilih jalur hukum, Udhy mengingatkan bahwa paralegal hanya bisa memberikan pendampingan saat mengajukan laporan ke kepolisian. “Tidak bisa mendampingi proses sidang karena itu tugas advokat,” terangnya.

Ada pun jalur non-hukum bisa berupa perjanjian antara pelaku dengan perempuan penyintas. Konseling juga bisa ditawarkan kepada pelaku, demi mengungkap latar belakang tersembunyi yang membuatnya melakukan kekerasan kepada pasangan.

“Ketika pelaku ingin dibantu untuk berubah maka itu ada itikad baik untuk berubah. Percaya bahwa tidak ada yang mutlak salah atau benar. Masing-masing bisa jadi punya kontribusi. Kita coba cari tahu dan tengahi, tapi bukan membenarkan kekerasan agar keduanya bisa memperbaiki diri,” jelas Udhy.

Lokakarya ini sendiri merupakan rangkaian pendampingan kepada konselor sebaya di Yogyakarta dan sekitarnya, oleh hola Woman Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA di bawah pendanaan Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilian 2 atau Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).

Ada pun perwakilan OPD lainnya yang turut meramaikan lokakarya antara lain komunitas bertubuh Kecil, Mutiara Grahita, Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis), Satuan Tugas Siap Gerak Atasi Kekerasan (Sigrak), dan Wahana Keluarga Cerebral Palsy.