[PERS RILIS] Diseminasi Data Kekerasan Berbasis Gender & Disabilitas: Menengok Situasi Kerentanan Korban & Tantangan dalam Penanganan Kasus

Banner Webinar

Yogyakarta, Kamis 16 Maret 2023

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia, Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) mengadakan webinar “Peran Perempuan dan Perempuan Disabilitas dalam Penyelenggaraan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas” pada (16/3). Webinar ini sekaligus mendiseminasikan data kekerasan berbasis gender dan disabilitas sepanjang tahun 2022 yang telah dikumpulkan oleh SAPDA bersama 25 pengada layanan di 8 Provinsi di Indonesia.

Hasil pencatatan ini akan didokumentasikan dalam bentuk Catatan Tahunan Bersama Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas 2022. Kegiatan ini didukung oleh Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2). 

Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani dalam sambutannya mengatakan, “Pencatatan kasus dalam rangka penyusunan Catahu ini menjadi ruang partisipasi dan kontribusi yang bermakna bagi teman-teman perempuan dan perempuan disabilitas dari berbagai lembaga pengada layanan untuk saling berbagi dan mendokumentasikan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas.”

Dari 81 kasus kekerasan yang terlaporkan, sebagian besar terjadi pada ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, disusul ragam disabilitas intelektual 22 kasus dan ragam disabilitas mental 14 kasus. Sementara berdasarkan bentuk kekerasan, jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi tertinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual perkosaan 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga 15 kasus. Setiap penyintas mengalami dua hingga enam bentuk kekerasan sekaligus.

Upaya pencatatan ini juga menghasilkan temuan tentang adanya hambatan berlapis yang menjadi tantangan tersendiri bagi jalannya proses pendampingan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas, mulai dari hambatan individu, keluarga, lingkungan, regulasi, hingga sarana prasarana.

Pada hambatan di level individu, kondisi kedisabilitasan dan kendala komunikasi menjadi temuan kunci yang menyulitkan penyandang disabilitas mengakses layanan. Minimnya sumber daya ekonomi dan keterbatasan pengetahuan/pendidikan juga membuat mereka kurang memahami cara mendapatkan dukungan-dukungan yang diperlukan. Hal ini didukung oleh temuan data kasus yang menunjukkan mayoritas kekerasan menyasar penyintas tanpa pekerjaan (29 kasus) dan penyintas yang sama sekali belum pernah mengakses pendidikan (14 kasus).

Pada hambatan di level keluarga, proses pendampingan sering kali tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Lingkungan terdekat justru menjadi kendala terbesar bagi sebagian penyintas untuk melapor, lantaran pelaku kekerasan adalah orang-orang yang seharusnya memberikan ruang aman, seperti keluarga (20 kasus) atau pasangan (14 kasus). Situasi ini dipertegas kembali pada data ranah kasus yang menunjukkan bahwa mayoritas kekerasan terjadi pada ranah privat (46 kasus).

Pada hambatan di level lingkungan, penyandang disabilitas terlanjur mengalami peminggiran dan diskriminasi akibat stigma negatif yang melekat pada diri mereka. Ketika penyintas mengakses layanan, hambatan sarana prasarana maupun layanan belum cukup akomodatif pada hambatan dan kebutuhan khususnya.

Terakhir, pada hambatan di level regulasi, aturan-aturan yang mendukung pemenuhan hak penyintas kekerasan belum bisa terimplementasikan dengan optimal dan masih belum menyentuh penyintas penyandang disabilitas.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, SAPDA ini ingin mengajak pemerintah pusat dan daerah, lembaga pengada layanan, aparat penegak hukum, pers, organisasi dan komunitas penyandang disabilitas, pemerhati isu kekerasan, serta masyarakat umum untuk memahami lebih dalam tentang situasi terkini kekerasan berbasis gender dan disabilitas di Indonesia, serta mengajak berbagai pihak untuk saling mendiskusikan peran perempuan dan perempuan disabilitas dalam upaya penanganan, perlindungan dan pemulihan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas.

Webinar ini menghadirkan Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Ratna Susianawati sebagai pembicara kunci, beserta narasumber lainnya yakni Koordinator Rumah Cakap Bermartabat SAPDA Arini Robi Izzati; Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Revita Alvi; dan Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan Siti Marzuma.

Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Ratna Susianawati mengatakan, “Pemenuhan dan perlindungan lebih perempuan disabilitas korban kekerasan perlu memperhatikan kebutuhan khususnya. Tiap ragam disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda. Keberagaman ini perlu direspon dengan layanan yang inklusif, adaptif dan memfasilitasi hambatan penyandang disabilitas.”

Beberapa perwakilan lembaga juga hadir menanggapi paparan narasumber, yakni Bidang Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; Komisi Nasional Disabilitas; Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI; Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI; dan Mahkamah Agung RI.

Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan Siti Mazuma mengatakan, “Hambatan berlapis dan situasi kerentanan dalam proses pendampingan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas merupakan pekerjaan rumah bersama. Menjadi penting untuk merekatkan koordinasi antar multipihak dalam memberikan ruang aman bagi perempuan dan anak disabilitas yang mengalami tindak kekerasan.”

Media Kit berisi TOR, poster, dokumentasi dan materi narasumber dapat diakses melalui: https://s.id/Webinar16Mar2023

Narahubung:

  1. Irmaningsih Pudyastuti (Women Disability Crisis Center SAPDA): 0857-2580-4595
  2. Media SAPDA: 0813-2739-5399