Seorang pemuda terlihat duduk termenung di sebuah teras rumah. Dia adalah Fulan, anak pak Karya yang baru mengalami kecelakaan lalu lintas hingga kedua kakinya harus diamputasi. Amputasi kaki tersebut telah memukul jiwa Fulan, pemuda yang dulu energik dan selalu ceria kini menjadi pemurung, suka menyendiri, dan mudah tersinggung. Fulan tidak lagi terlihat main gitar sambil menyanyikan lagu kesayangannya dengan gaya konser, dia juga tidak mau lagi hadir dalam rapat Karang Taruna. Padahal dulu sebelum terjadi kecelakaan yang menimpa dirinya, Fulan adalah pemuda yang paling vokal dalam setiap rapat pengurus Karang Taruna, ide-idenya cukup cemerlang, maka tak salah jika tahun kemarin dia terpilih untuk mewakili kotanya menjadi Pemuda Pelopor tingkat Nasional.
Kecelakaan lalu lintas tersebut telah mengubah 180 derajat kehidupan Fulan. Bagi Fulan dunia seakan begitu sempit dan masa depan hanya mimpi kosong yang hampa. Dalam catatan hariannya Fulan menuliskan bahwa dia telah mengubur dalam-dalam impian dan cita-citanya, karena dia sudah tidak yakin bahwa dia dapat mewujudkan impiannya dengan kondisi yang sekarang dia miliki. Me-mang telah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan bahwa Fulan kini menyandang predikat baru sebagai se-orang difabel. Predikat baru tersebut telah membuatnya menjadi risih dan minder, karena difabel bagi dia dan masyarakat sekitar identik dengan ketidakberdayaan dan aib. Yang ada dalam benak pikiran Fulan sekarang ini hanyalah penyesalan dan ratapan akan nasib yang menimpa dirinya.
Difabel, bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai sebuah tragedi. Tak seorangpun yang sudi untuk menerima keadaan difabel, meskipun itu sebuah kejadian yang tidak disengaja.
Setiap individu pasti akan melakukan penolakan ketika difabel itu menimpa dirinya. Biasanya respon yang muncul adalah stress, putus asa, rendah diri, merasa tidak berharga, dan seringkali individu tersebut menjadi sangat sensitif. Namun bagaimanapun difabel adalah suatu realitas. Ketika ia terjadi atau menimpa seseorang maka ia tak terelakkan. Sehingga satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah menerima kondisi difabel sebagai sebuah realitas. “Menerima? adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan. Menerima realitas memang butuh proses yang mendalam. Namun jika seseorang telah mampu melampau tahapan proses penerimaan diri, maka penerimaan diri tersebut dapat menjadi energi yang sangat dasyat untuk menggapai impian. Sebaliknya jika seseorang individu belum melalui tahapan penerimaan diri terhadap kondisi dirinya, maka difabel dapat menjadi belenggu kehidupan dirinya.
Fulan merasa sangat terpukul dan dunia menjadi sangat sempit baginya karena dia tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia sekarang adalah seorang difabel. Namun ceritanya pasti akan menjadi lain, jika Fulan dapat menerima kondisi fisik yang sekarang ada pada dirinya. Kehidupan akan menjadi wajar-wajar saja dan mungkin akan menjadi sangat indah secara spiritualitas, ketika Fulan mampu mengolah kondisi difabel yang ada pada dirinya sebagai sebuah mesin pendorong untuk menggapai impiannya.