Dalam acara diskusi menyoroti masalah aksesibilitas yang di alami oleh komunitas difabel yang ada di kota Jogja, baik fasilitas gedung maupun pelayanan bagi difabel. Hasil dari Team Peneliti Geografi UGM, menemukan belum sepenuhnya aksesibel bagi difabel meliputi bangunan, lokasi dan tata letak , temuannya tersebut disoroti di beberapa bidang yaitu :
Transpotasi : Ramp pada halte trans jogja sudah curam diisi palang pintu segi tiga sehingga pemakai kursi roda tidak bisa masuk, ruang gerak di halte sangat sempit tidak bisa untuk rotasi bagi pemakai kursi roda, jarak antara halte dengan bis kurang rapat (ada celah /harus lompat rentan jatuh bagi tuna netra, tuna daksa). Belum adanya transportasi umum yang ramah bagi difabel, tidak ada petunjuk/ informasi/sinyal suara/alarm untuk difabel ruwi dan netra sehingga mereka salah turun atau salah jurusan. Bagi Difabel untuk bisa mengakses transpotasi umum biaya lebih mahal (taksi, harus ojek).
Kesehatan : Bangunan banyak yang belum ada Ram, kalaulah ada belum sesuai standar dan tidak ada pegangan. Untuk loket pelayanan tidak satu tempat (loket layanan jamkes, loket obat) sehingga harus jalan jauh kesana-sini, lantai licin, kamar mandi belum aksesibel, parkir jauh, lobang loket kecil padahal untuk ruwi komunikasi harus lihat wajah.
Kendaraan
Taksi : Kendala mahal dan tidak semua sopir tahu membantu difabel dan memperlakukan kursi roda, ada beberapa yang susah untuk naik karena tinggi dan tidak ada pegangan.
Trans Jogja : Kendala pegangan ketinggian, tidak ada pengait untuk kursi roda, tidak ada pegangan di tempat duduk.
Kereta api : Kendala dari peron ke kereta tidak akses khususnya kursi roda, kamar mandi tidak akses.
Pesawat : Kendala dalam pesawat kruk dipisah dari pemakai/dikasih bagasi diatas, kamar mandi tidak akses.
Kapal laut : Kendala tangga naik kapal tinggi dan curam/tidak akses, kamar mandi tidak akses.
Pendidikan : Masih kurangnya sekolah inklusif sehingga difabel yang ingin mengecap pendidikan menjadi terhalang, karena letak dan bangunan gedungnya yang tidak ramah terhadap difabel, guru untuk ABK belum maksimal pelayanannya, jarak sekolah inklusi dari rumah difabel jauh, transpotasi tidak ada sehingga menyulitkan untuk di akses, kurangnya GPK bagi sekolah-sekolah yang sudah inklusif, ini juga menghambat system mengajar di sekolah bersangkutan.
Tempat wisata : Dalam pemenuhan hak-hak bagi komunitas difabel tercantum juga pemenuhan hak atas rekreasi, tujuannya adalah untuk memberi hiburan bagi tiap manusia yang ada dimuka bumi ini. Aksesibiltas yang ada di tempat-tempat wisata masih belum maksimal bahkan bisa di masukkan ke katagori belum siap, karena belum adanya WC umum yang ramah difabel, jalan-jalan yang ada di sepanjang tempat wisata banyak tangga dan tidak akses /tidak ada pegangan, tidak ada panduan bagi tuna netra, banyak selokan ditutup dengan besi dianyam sering pemakai tongkat kejeblos. Parkir jauh dari lokasi wisata, belum ada ram untuk kursi roda.
Tempat ibadah : Sampai saat ini tempat – tempat ibadah agama apapun ( Islam, Budha, Kristen, Hindu) belum ada yang akses, masih memakai system undakan sehingga menyulitkan bagi difabel untuk menjalankan ibadahnya, tempat wudhu tidak ada pegangan bagi difabel, lantai licin, kamar mandi tidak akses, gapura yang ada di pura sangat sempit dan memakai undakan, gereja yang ada sampai saat ini masih belum akses banyak undakan, begitu juga wihara juga belum akses. Dipemikiran mereka yang non difabel mengira bahwa kalau kursi roda di ijinkan masuk ke dalam tempat ibadah akan mengotori ruangan tersebut sehingga mengganggu kekusyukan bagi yang beribadah,
Kantor camat : Program-program yang ada di kantor kecamatan mungkin sudah memenuhi standar difabilitas , hanya saja oknum-oknum yang ada di kantor kecamatan masih belum ramah difabel, sehingga komunitas difabel mengatakan kalau berurusan ke kecamatan sangat berbelit-belit, disetiap kantor kecamatan yang ada perlu diberikan pelatihan mengenai difabilitas agar pemahamannya terhadap difabel bisa terbuka, bangunan atau fisik gedungnya perlu di rancang khusus agar ramah terhadap difabel, ada ram bagi pengguna kursi roda, kamar mandi yang akses.
Dinas Sosial (Propinsi) : Semestinya dinas social mengetahui bangunan yang ramah terhadap difabel, mulai dari parkirnya, jalan menuju kantornya bahkan di dalam kantor itu sendiri, harus ramah terhadap difabel, namun kenyataannya sampai saat ini belum ada kantor yang betul-betul ramah difabel. Kamar mandi /WC yang ada di kantor-kantor tidak bisa diakses oleh difabel karena pintu masuknya sempit, ruang geraknya juga terbatas, gedungnya ada yang belum berisi lif/escalator untuk yang lebih satu lantai.
Jalanan Umum : Jalan umum banyak termakan parkir, trotoar juga dipakai parkir, guiding blok untuk difabel netra tidak mesti ada, di lampu merah sinyal suara juga tidak ada, banyak polisi tidur menyusahkan pengguna kursi roda dan motor modifikasi, selokan tidak ditutup.
Terminal dan Stasiun : Terminal Giwangan sebagai contoh, jika kita memakai kursi roda memakai angkutan umum trans jogja, halte tidak akses, pengguna kursi roda sulit mengakses terminal karena tidak ada ram dan Lift. Dari awak busnya sudah tidak ramah, didalam bus sempit tidak ada kuncian bagi kursi roda, sudah ada ram tapi di tutup oleh tangga beton menuju lantai 2, sehingga ramnya hanya sebagai sebuah simbolis bagi difabel. Area parkir jauh dari bis yang akan ditumpangi.
Bandara : Dari parkirnya yang jauh sudah menunjukan kalau di bandara banyak problem yang di alami oleh komunitas difabel, lantainya licin, dari ruang tunggu ke pesawatnya kurang ada belelai gajahnya agar para difabel tidak mengalami kesulitan saat naik ke pesawat, kamar mandi untuk difabel sudah ada tapi sering dipakai juga oleh non difabel. Loket bordingfasnya terlalu tinggi untuk pengguna kursi roda, untuk mengangkat tas bawaan juga kesulitan. Kursi roda yang di bandara kurang menjamin keamanan difabel (kursi roda banyak sudah rusak).
Halte secara umum tidak ada yang akses, tempat duduk kurang akses, lokasi di tempat yang kurang pas, untuk naik ke bis terlalu tinggi.
Kendaraan umum :
Dari hasil diskusi yang di hadiri oleh beberapa perwakilan komunitas difabel yang ada di kota jogja ternyata masih banyak kendala yang di alami oleh difabel itu sendiri meskipun katanya sudah ada Perda, Perbup, PP bahkan UU yang mengatur segala bentuk pemenuhan hak terhadap difabel. Namun dalam implementasinya berbanding terbalik dengan apa yang tertuang di dalam Perda maupun Pergub, sehingga komunitas difabel masih terasa mengalami didiskriminasikan dalam kehidupan di masyarakat masih termarginalkan. Dari pihak pembuat kebijakanpun tidak sepenuhnya memberi ruang gerak yang akses dan bebas bagi difabel seperti yang non difabel, fasilitas yang tersedia hanya merupakan sebuah simbolis belaka untuk memenuhi standar, sehingga terkesan rasanya hanya sebagai penutup program agar targetnya terpenuhi. Apakah sudah sesuai ataukah tidak, sampai sasaran atau tidak, yang penting program selesai. (MD)