Beragam bentuk kekerasan menimpa penyandang disabilitas di Indonesia. Di sisi lain, belum semua kasus-kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas terdokumentasikan dengan baik. Data yang tersebar di berbagai lembaga masih mengalami ketimpangan satu sama lain. Pencatatan kasus yang bersifat kolaboratif sangat dibutuhkan untuk menghasilkan data kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang lebih holistik.
Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan lokakarya Penyusunan, Penulisan dan Publikasi Catatan Tahunan tahun 2022 pada (19/1). Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai lembaga penyedia layanan yang memiliki rekam jejak mendampingi penyandang disabilitas korban kekerasan. Seluruh peserta diajak untuk saling bekerjasama memotret kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang terjadi Indonesia.
Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani mengungkapkan pencatatan kasus kekerasan pada penyandang disabilitas di level nasional masih ditemukan kesenjangan data antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Selain itu, ia meyakini masih banyak kasus yang sama sekali belum tercatat. Karena itulah SAPDA merasa penting untuk menginisiasi pembuatan catahu bersama ini.
“Data masih tersebar di antara organisasi disabilitas dan organisasi pemberi layanan, belum terkumpul menjadi satu. Data-data milik Komnas Perempuan dan KemenPPPA itu ternyata juga kelihatan ada gap-nya. Misalnya Komnas Perempuan tahun 2022 mencatat ada 42 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas. Sementara di Simfoni PPA yang diselenggarakan oleh KemenPPPA itu terdapat 987 kasus. Kesenjangannya kan jauh sekali. Jadi kita bingung mau ikut yang mana,” kata Nurul.
Nurul berharap pencatatan ini bukan hanya menghasilkan data dan angka, tetapi juga mengungkap situasi yang terjadi di baliknya. “Apa maknanya? Apakah jika angkanya meningkat artinya semakin buruk? Atau justru bagus, karena yang berani melaporkan itu semakin banyak? Kemudian dari angka itu, kekerasan apa yang paling meningkat? Siapa pelakunya? Situasi mereka secara sosial-ekonomi seperti apa?” tandas Nurul.
Dari informasi tersebut, kata Nurul, perlahan akan terungkap akar terjadinya kekerasan berbasis gender dan disabilitas. “Bisa jadi karena memang tidak memiliki akses akan informasi. Mungkin tidak bisa mendapatkan manfaat atas layanan-layanan yang ada. Informasi ini akan sangat banyak memberikan kita ruang untuk melakukan intervensi lebih lanjut dalam meminimalisir kekerasan,” jelasnya.
Dengan mengedepankan analisis kasus, harapannya hasil pencatatan juga menghasilkan pembelajaran bersama bagi berbagai pihak terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan. “Bukan sekedar dicatat dan hanya angka. Tapi semoga bisa untuk belajar lebih banyak dan bersinergi. Misalnya melakukan penanganan ini seperti apa? Kita Indonesia ini kan cukup luas ya. Dari ujung Barat sampai ujung Timur. Proses pembelajaran itu bisa dilakukan dari catatan-catatan yang nanti kemudian disatukan,” kata Nurul.
Nurul juga berharap pencatatan ini menghasilkan data yang lebih menyeluruh dan bisa diakses oleh semua pihak. “Semoga dokumen bersama ini bisa digunakan sebagai referensi oleh semua anggota yang terlibat dan bisa menjadi bahan advokasi terkait penanganan perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan di Indonesia. Advokasinya juga akan kami sampaikan kepada Kementerian-kementerian dan bahkan kepada dinas-dinas terkait,” katanya.
Konselor Hukum layanan Rumah Cakap Bermartabat (RCB) SAPDA Arini Robi Izzati mengatakan penulisan Catatan Tahunan kekerasan berbasis gender dan disabilitas sangat penting untuk memotret kerentanan, hambatan dan pemenuhan kebutuhan khusus korban penyandang disabilitas korban kekerasan. Selama ini, pencatatan oleh berbagai lembaga masih terlalu sederhana dan kurang representatif dalam menggambarkan situasi kedisabilitasan korban.
“Semisal data hanya dicatat disabilitas atau bukan disabilitas. Namun apa yang menjadi kebutuhanya itu tidak tercatatkan. Menurut kami, pencatatan yang lebih detail disertai kondisi disabilitas bisa membantu kita melihat kerentanan perempuan disabilitas, anak disabilitas atau perempuan yang memiliki anak disabilitas,” kata Arini.
Aspek lainnya yang juga berusaha diprotret adalah hambatan penyandang disabilitas dalam mengakses layanan sampai berhadapan di muka peradilan, serta upaya-upaya yang dilakukan lembaga penyedia layanan untuk mengatasinya. Menurut Arini, cerita tersebut jarang tertangkap di dalam pencatatan-pencatatan yang selama ini sudah ada.
“Semisal jika ditemukan hambatan, bagaimana caranya menjamin akomodasi yang layak? Pemenuhannya sepeti apa? Prosesnya barangkali membutuhkan dukungan dari jaringan lembaga lain. Bagaimana kemudian upaya yang dilakukan utnuk memenuhi itu? Bagaimana layanan menjamin bahwa penyandang disabilitas diperlakukan secara setara, bermartabat, bisa berpartisipasi aktif, bermakna?” jelasnya.
Arini mengatakan, data-data kualitatif tersebut sangat penting dipotret untuk menunjukan kesungguhan dan keseriusan penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas di Indonesia paska terbitnya banyak peraturan tentang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. “Bagaimana sih dari tahun ke tahun trend-nya? Modifikasinya seperti apa? Ini menjadi bagian dari upaya-upaya yang terukur untuk melihat perubahan pemenuhan hak-hak disabilitas,” tegas Arini.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Valentina Gintings memberikan sejumlah rekomendasi dalam pembuatan catatan tahunan ini. Salah satunya, menjadi penting agar pencatatan ini juga merekam sejauh mana penanganan kekerasan berbasis gender dan disabilitas telah sejalan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Salah satunya misal, terkait dengan bagaimana proses hukumya. Apakah memang penegakan hukum perempuan disabilitas sudah memberikan pemberatan pidana sepertiga kepada pelaku? Kemudian dari sisi pemberian saksi atau korban, ketika ia adalah penyandang disabilitas, apakah sudah dilakukan upaya untuk memperkuat kesaksiannya?,” tutur Valentina.
Ia menambahkan, catahu sebaiknya tidak hanya menghimpun dampak-dampak kekerasan yang dialami korban, melainkan juga bagi orang-orang yang hadir di sekitarnya. Menurut Valentina, orang tua, anggota keluarga, pengasuh pengganti dan pendamping disabilitas bisa turut terdampak dari adanya kekerasan berbasis gender dan disabilitas, baik dampak secara fisik maupun non fisik.
“Itu juga bisa menjadi salah satu poin yang bisa ditambahkan, sehingga kita tahu bahwa treatmen-treatmen yang akan kita berikan dalam penanganan kekerasan berbasis gender dan disabilitas bukan hanya kepada korban saja, tetapi juga harus dilakukan kepada orang yang ada di sekitarnya, mulai dari keluarga inti,” tegas Valentina.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) RI Andy Yentriani menyarankan agar hasil pencatatan nantinya bisa dielaborasikan dengan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (Simfoni). Menurutnya hal ini berguna untuk memperkuat analisis kasus, sehingga hasil pencatatan akan memiliki lebih banyak daya tarik bagi para pemangku kepentingan.
“Dengan menggunakan data yang ada di Simfoni, itu bisa menjadi perbandingan yang meneguhkan data kita dan menunjukkan gap yang perlu kita terlusuri lebih lanjut. Cara seperti ini memungkinkan catahu memiliki daya pikat lebih bagi Kementerian-kementerian terkait yang ingin dijadikan sasaran advokasi kebijakan. Catahu ini tidak akan dilihat sebagai satu cukilan data saja, tetapi juga memuat perbandingannya dengan big data yang tersedia,” kata Andi.
Sebagai informasi, lokakarya Penyusunan, Penulisan dan Publikasi Catatan Tahunan 2022 diselenggarakan diselenggarakan sebagai momen untuk berbagi pengalaman pembuatan Catahu Penaganan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas. Pada periode sebelumnya SAPDA telah membuat Catahu serupa dengan hanya menghimpun data dari kasus-kasus yang diterima RCB SAPDA. Sedangkan pencatatan tahun ini tidak lagi dilakukan secara mandiri oleh SAPDA, tetapi akan melibatkan berbagai lembaga penyedia layanan di berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk mencatat pengalaman lembaga penyedia layanan dalam penanganan kasus dengan korban penyandang disabilitas; sekaligus melakukan konsolidasi pendokumentasian kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas. Kegiatan ini terlaksana dengan dukungan Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2.