Usia Mental & Kecakapan Hukum Disabilitas Perlu Diatur Dalam Peraturan Mahkamah Agung

Diskusi Kelompok Terarah Mengenai Draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan sampai pada puncaknya. Para peserta, yang kali ini berasal dari Mahkamah Agung RI berharap aturan terkait identifikasi usia mental serta kecakapan hukum penyandang disabilitas mental dan intelektual dapat diakomodir di dalam Raperma Disabilitas.

Iwan, peserta dari Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI mengatakan aturan mengenai identifikasi usia mental dan usia biologis penyandang disabilitas mantal dan intelektual sangat penting untuk dinormakan di dalam Raperma Disabilitas. Informasi mengenai usia mental penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum akan memungkinkan pengadilan untuk menyesuaikan proses beracara berdasarkan hambatan dan kebutuhan khususnya.

“Jadi setelah melalui terbukti bahwa terdakwa adalah penyandang disabilitas intelektual, kita sudah bisa membuat agenda, bahwa persidangannya kita buat semacam Sistem Peradilan Pidana Anak. Kalau memang diperlukan diversi kita lakukan diversi, artinya penyelesaian kasus perkara di luar proses hukum yang berlaku di tingkatan. Tetapi hanya setelah melalui proses pemeriksaan dari ahli, bahwa terdakwa memiliki disabilitas intelektual. Ini mungkin salah satu hal yang bisa kita normakan di Raperma,” jelas Iwan dalam FGD yang berlangsung di Jakarta pada 9/8 tersebut.

Berkaitan dengan kesaksian penyandang disabilitas, Iwan mengatakan setiap orang memiliki hak untuk didengar keterangannya. Kekuatan hukum kesaksian penyandang disabilitas seharusnya setara dengan kesaksian individu tanpa disabilitas. Ia bisa menjadi alat bukti dan bukan sekadar sebagai petunjuk.

“Saksi adalah yang mengalami sendiri, yang melihat langsung, mendengar langsung dan mengalaminya langsung. Itu saksi. Jadi walaupun penyandang disabilitas kalau kategori dari tiga itu masuk, artinya sebagai pihak yang mengalami sendiri sudah sebagai saksi. Tidak ada larangan bahwa penyandang disabilitas itu tidak bisa dijadikan alat bukti. Sejauh mana kekuatan pembuktiannya? Itu tergantung dari bukti yang diajukan dipersidangan. Nanti bisa dinilai oleh majelis hakimnya,” tegasnya.

Melengkapi Iwan, Kustini, peserta dari Pokja Access to Justice for Disability Mahkamah Agung RI menegaskan bahwa penyandang disabilitas tetap memiliki kecakapan hukum untuk bersaksi dan memberikan keterangan dalam proses peradilan. Hambatan mental dan intelektual terdakwa misalnya tidak serta merta membuatnya dianggap tidak cakap hukum.

“Kondisi teman-teman disabilitas mental itu on off, mereka tergantung pada obat-obatan. Apakah ketika mereka melakukan tindak pidana saat mentalnya sedang terganggu? Ini harus dipastikan. Oleh sebab itu, perlu ada penilaian personal, sehingga pada saat tertentu apakah dia dalam kondisi relaps atau dalam tenang,” pungkasnya.

Ia juga mengatakan keraguan tentang kecakapan hukum penyandang disabilitas mental dan intelektual membuat terdakwa sering kali justru terbebas dari jeratan hukuman. “Padahal tidak otomatis mereka dapat bebas dari hukuman. Seperti kita ketahui, sekarang banyak yang pura-pura menjadi gila untuk terbebas dari hukuman. Itu tidak serta merta seperti itu. Disabilitas mental pada umumnya sama dengan kita, mereka bisa beraktivitas ketika mental mereka tidak sedang terganggu,” tegas Kustini.

Sementara itu, Rio, narasumber dari Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI menyampaikan hasil riset Pelayanan Publik di Jakarta, Jambi, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku. “Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan dari penelitian di 5 wilayah, setiap pengadilan sudah berupaya dengan resource dan anggaran yang tersedia untuk melengkapi sarana dan prasarana layanan bagi penyandang disabilitas. Juga ditemukan inovasi-inovasi yang dilakukan oleh masing-masing pengadilan untuk memberikan bagi kemudahan penyandang disabilitas,” katanya.

Berbagai masukan yang telah dihimpun melalui diskusi ini akan menjadi bahan masukan untuk mendukung Draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan yang kini tengah disusun oleh SAPDA bersama Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM).

Yuris, salah satu peneliti dari PUKAT UGM yang berkontribusi dalam penulisan Draft Naskah Akademik Raperma Disabilitas mengatakan Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan dibawahnya perlu didorong untuk bisa memberikan akomodasi yang layak untuk teman-teman penyandang disabilitas.

“Secara empiris, banyak kasus yang terbengkalai, banyak kasus terdiskriminasi, banyak kasus dimana teman-teman disabilitas tidak bisa mendapatkan proses peradilan yang adil. Secara hukum dan kebijakan kita itu enggak kurang-kurang. Negara memiliki kewajiban memberikan akomodasi kepada teman-teman disabilitas dalam konteks hukum dan peradilan,” kata Yuris.

Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan pendanaan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *