Menengok Situasi Kerentanan Anak Disabilitas di Lingkungan Pendidikan

Hak anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang inklusif belum benar-benar terpenuhi. Ketika sudah mendapatkan akses pendidikan pun, lingkungan sekolah belum sepenuhnya bisa menjadi ruang aman bagi anak penyandang disabilitas untuk belajar dan berkembang.

Setidaknya demikian salah satu gambaran temuan dalam riset anak penyandang disabilitas yang dilakukan oleh SAPDA pada tahun 2022 lalu. Riset ini dilakukan terhadap anak penyandang disabilitas dan keluarga dengan anak penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Riset ini sekaligus merupakan dokumentasi ilmiah atas pengalaman orang tua dan anak penyandang disabilitas terkait situasi yang mereka hadapi di berbagai lingkungan sosial.

Riset ini salah satunya telah merekam situasi kerentanan anak penyandang disabilitas di lingkungan sekolah yang membuat hak-haknya sebagai peserta didik sulit terpenuhi secara optimal. Apa sajakah itu?

Ketidaktersediaan Sekolah Inklusif/SLB

Ketidaktersediaan sekolah inklusif dan sekolah luar biasa dengan SDM guru yang terbatas, menjadi penyebab anak disabilitas menemui penolakan dan kesulitan mendapatkan pembelajaran disekolah. Pada sektor pendidikan, sangat jarang anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Lebih banyak anak penyandang disabilitas menjalani pendidikan di Sekolah Luar Biasa.

Kendati sudah ada sekolah inklusif, masih ada anak yang mengalami penolakan. Salah satu guru menceritakan kondisi sekolah di DIY. Dari sekitar 79 sekolah SLB yang ada, 70 sekolah dikelola oleh swasta. Sekolah umum juga didorong menjadi sekolah inklusif, namun gurunya seringkali diambil dari sekolah swasta. Akibatnya, sekolah swasta menjadi tidak maksimal dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar.

    Jumlah Asrama yang Terbatas

    Sekolah berasrama bagi siswa didik disabilitas menjadi salah satu solusi untuk memastikan bahwa anak penyandang disabilitas dapat bersekolah, tetapi jumlahnya sangat terbatas dan tidak mencukupi sesuai jumlah anak yang membutuhkan. Setidaknya ada dua SLB Negeri yang menyediakan asrama untuk memberikan akomodasi bagi anak didiknya. Satu sekolah berada di Kabupaten Kulon Progo dan satu sekolah lainnya di Kabupaten Gunungkidul. Namun, kuota asrama juga terbatas mengingat ketersediaan jumlah pendamping juga terbatas.

    Salah satu syarat bagi penghuni asrama adalah anak penyandang disabilitas yang sudah bisa mandiri dalam aktivitas sehari-hari. Artinya, bagi anak penyandang disabilitas yang mengalami hambatan mobilitas karena faktor kedisabilitasannya, beban antar jemput anak dari rumah ke sekolah dan sebaliknya menjadi beban orangtua yang dimana belum tentu setiap orangtua mau atau mampu melakukannya.

    Stigmatisasi

    Stigma masih menjadi penghambat utama dalam penyelenggaraan pendidikan anak penyandang disabilitas, dan menjadi penyebab adanya perundungan di lingkungan sekolah. Usia masuk sekolah pun beragam dan dipengaruhi oleh proses penerimaan orangtua terhadap anaknya dan literasi orangtua tentang kondisi anaknya. Masih ada orang tua yang memiliki stigma bahwa pendidikan bagi anak penyandang disabilitas bukan hal yang penting. Mereka menganggap sudah tidak ada harapan lagi akan profesi anak pasca sekolah. Tidak jarang guru menemui murid yang telat dimasukkan ke sekolah. Bahkan beberapa sekolah melakukan jemput bola ke berbagai wilayah untuk memberikan edukasi terkait kondisi anak penyandang disabilitas dan juga pentingnya akses pendidikan.

    Situasi di sekolah juga belum tentu nyaman bagi semua anak. Bullying masih terjadi dan pelecehan seksual juga terjadi antar siswa/i. Ada juga sekolah yang sudah melakukan pencegahan kekerasan seksual dengan melibatkan mahasiswa ataupun bekerjasama dengan tenaga medis. SLBN Pembina misalnya, sudah memiliki modul pembelajaran pendidikan seksual.

    Ancaman Kekerasan

    Anak disabilitas sangat rentan mengalami kekerasan dalam lingkungan sekolah. Dimanapun anak penyandang disabilitas berada, mereka rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Di lingkungan rumah, rentan mengalami kekerasan fisik seperti dipukul dan diikat di tiang. Anak penyandang disabilitas juga mengalami kekerasan psikis, misalnya mengalami perundungan baik dari keluarga, tetangga di sekitarnya, ataupun teman sepermainannya.

    Tidak berhenti di situ, anak penyandang disabilitas sangat rentan mengalami kekerasan seksual baik itu di rumah, di sekolah, maupun di panti. Di rumah, kekerasan seksual dilakukan oleh anggota keluarga yang tinggal satu rumah, tetangga, atau ketua RT. Artinya relasi kuasa memang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual, dimana korban memang tidak memiliki daya dan pelaku memiliki kuasa lebih. Namun, kekerasan seksual yang terjadi di panti atau sekolah justru dilakukan antar teman.

    Darurat Pendidikan Kespro

    Berikutnya, yakni adanya kedaruratan pendidikan kesehatan reproduksi untuk disampaikan kepada seluruh ragam anak disabilitas. Bagi anak penyandang disabilitas yang mengakses smartphone, mereka sangat mudah mengakses konten seputar aktifitas seksual.

    Sementara itu, orangtua masih memiliki kendala dalam penyampaian informasi seputar kesehatan reproduksi. Ada yang beranggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan reproduksi itu hal yang tabu. Ada yang kesulitan memilih bahasa yang tepat kepada anak tentang cinta, sayang, dan berbagai perilaku seksual. Orangtua maupun pendamping bersepakat bahwa pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi penting untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan seksual.

    Namun ketika ditanya perihal cara yang tepat mengkomunikasikannya kepada anak; mereka masih mengalami kebingungan. Kebutuhan orangtua dan pendamping tidak cukup hanya pada informasi seputar kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual saja, tetapi juga informasi tentang bagaimana mereka menyampaikannya kepada anak secara efektif. Berbagai ragam disabilitas tentu berbeda cara penyampaiannya.

    Apa yang Bisa Dilakukan?

    Berdasarkan gambaran-gambaran, berikut adalah hal-hal yang bisa diupayakan, setidaknya oleh pemerintah daerah, untuk meminimalisir situasi kerentanan anak penyandang disabilitas dalam pendidikan:

    1. Menyediakan informasi ketersediaan sekolah khusus dan sekolah inklusif yang komprehensif dan dapat dijangkau oleh orang tua dengan anak penyandang disabilitas.
    2. Menyediakan informasi dukungan asesmen terhadap anak penyandang disabilitas pra sekolah (tes IQ, tes kemampuan anak, dan sebagainya).
    3. Menyediakan guru kelas dan guru pendamping khusus yang mampu memahami situasi anak penyandang disabilitas dan pembelajaran yang sesuai.
    4. Menyediakan sekolah yang bersedia menjangkau anak-anak disabilitas yang secara mobilitas atau mental kesulitan untuk bergabung dalam Pendidikan regular (dalam kelas)
    5. Memberikan beasiswa bagi anak penyandang disabilitas, termasuk pembiayaan lebih atas kebutuhan mobilitas yang mahal.
    6. Memastikan sekolah memberikan pemahaman tentang inklusifitas dan anak berkebutuhan khusus kepada seluruh warga sekolah untuk mendukung program sekolah inklusif.
    7. Membuat program antara bagi anak penyandang disabilitas untuk memasuki dunia kerja pasca lulus sekolah.

    Selengkapnya: Riset Situasi Anak Penyandang Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *