Pentingnya Pelibatan Ahli dalam Asesmen Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum

5 sampai 6 orang sedang berkumpul di dalam sebuah ruangan mengikuti lokakarya.

Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) kembali melanjutkan Diskusi Kelompok Terarah Mengenai Draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Perbaikan mekanisme penilaian personal menjadi salah satu topik yang mengemuka dalam diskusi yang dilakukan di Jakarta (8/8) dengan melibatkan aparat penegak hukum dan pemerintah pusat tersebut.

Kompol Ema Rahmawati dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI mengatakan salah satu problem utama dalam penilaian personal bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum ialah prosesnya yang sering kali berulang-ulang dan panjang. Ini terjadi karena aparat penegak hukum masih mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dan memahami hambatan serta kebutuhan penyandang disabilitas secara menyeluruh. Ia pun mengusulkan agar penilaian personal dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli.

“Harapannya sejak tingkat penyidikan, penilaian personal sudah dimintakan atau dibuatkan, karena kepolisian merupakan gerbang pertama penyidikan pidana, kemudian berkasnya disertakan sampai tahap pengadilan. Namun demikian, penilaian personal yang berulang-ulang juga akan menjadi masalah baru. Sehingga diharapkan penilaian personal dilakukan oleh ahli yang kompeten dan memahami disabilitas,” ujar Ema.

Supriadi, peserta dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI mengatakan, dengan melibatkan ahli dalam penilaian personal, informasi yang dihasilkan terkait kedisabilitasan korban lebih mungkin dapat digunakan dalam setiap tahapan peradilan tanpa perlu memaksa korban memberikan keterangan berulang yang dapat memicu pengalaman traumatiknya.

“Keterangan yang diterima bisa dipakai oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, sehingga tidak perlu memberikan pertanyaan secara berulang-ulang yang bisa menimbulkan trauma,” ujar Supriadi.

Namun, perlibatan ahli tak dapat dipungkiri memiliki tantangan tersendiri berkaitan dengan anggaran dan waktu. Robert, peserta dari Kejaksaan Agung mengusulkan agar Raperma Disabilitas mengakomodir wacana pelibatan pekerja sosial dalam pemenuhan akomodasi yang layak termasuk penilaian personal.

“Tidak semua daerah punya psikolog dan psikiater. Bisakah KemenPPPA dan Kemensos memberdayakan peksos yang tersertifikasi? Karena ahli itu sangat mahal. Selain itu, Indonesia merdeka, tapi kita selalu kekurangan spesialis. Jadi tidak mungkin menyiapkan spesialis dalam tempo sesingkat-singkatnya. Itu juga harus difikirkan,” kata Robert.

Sementara itu, beberapa peserta lain turut memberikan masukan terhadap Naskah Akademik Raperma Disabilitas. Jona, peserta dari Komisi Nasional misalnya berharap naskah akademik tersebut tidak hanya berfokus pada hambatan, melainkan juga potensi individu penyandang disabilitas.

“Setidaknya perlu digambarkan dalam bentuk narasi di dalam draft naskah akademik tersebut, bahwa ada potensi. Enggak bicara hambatan saja. Itu masukan kami, sehingga kebijakan yang dihasilkan berupa Perma itu akan bernas. Kejelian aparat penegak hukum melihat potensi itu menjadi seni,” kata Jona.

Safira, peserta dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyarankan agar draft Naskah Akademik Raperma Disabilitas juga mengakomodir adanya klausul terkait perempuan penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Ia pun menyontohkan standar pemeriksaan di dalam Pasal 4 Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

“Di sana sudah dituliskan secara eksplisit bahwa dalam pemeriksaan perkara, hakim harus mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi. Harus ada afirmasi supaya tidak ada diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Sehingga diakomodir standar pemeriksaan yang ramah terhadap penyandang disabilitas,” tutur Safira.

Menurut Safira, penegasan ini penting mengingat perempuan penyandang disabilitas mengalami hambatan berlapis dalam mengakses sistem peradilan karena kondisi-kondisi khusus yang dialaminya sebagai perempuan sekaligus penyandang disabilitas.

“Misalnya mengalami menstruasi atau sedang hamil ini sangat membutuhkan pendampingan dan fasilitas khusus dalam seluruh rangkaian pemeriksaan. Termasuk akses ke pendamping, di mana tidak hanya butuh satu pendamping untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya,” pungkasnya.

Iwan, peserta dari Mahkamah Agung RI mengapresiasi SAPDA yang telah menginisiasi pembahasan Raperma Disabilitas. “Mudah-mudahan peraturan MA yang dikeluarkan nanti tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, tetap ada harmonisasi, dan bila segera disempurnakan,” tegasnya.

Berbagai masukan yang telah dihimpun melalui diskusi ini akan menjadi bahan masukan untuk mendukung fakta empirik pada Draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan yang kini tengah disusun oleh SAPDA bersama Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM).

Yuris, salah satu peneliti dari PUKAT UGM yang berkontribusi dalam penulisan Draft Naskah Akademik Raperma Disabilitas mengatakan Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan dibawahnya perlu didorong untuk bisa memberikan akomodasi yang layak untuk teman-teman penyandang disabilitas.

“Secara empiris, banyak kasus yang terbengkalai, banyak kasus terdiskriminasi, banyak kasus dimana teman-teman disabilitas tidak bisa mendapatkan proses peradilan yang adil. Secara hukum dan kebijakan kita itu enggak kurang-kurang. Negara memiliki kewajiban memberikan akomodasi kepada teman-teman disabilitas dalam konteks hukum dan peradilan,” kata Yuris.

Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan pendanaan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *