PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN & PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS

Kota Yogyakarta merupakan Kota di wilayah Provinsi DIY yang beberapa tahun terakhir ini mempunyai kebijakan berpihak kepada difabel/penyandang disabilitas. Hal tersebut sudah terlihat dengan beberapa Keputusan Walikota Yogyakarta tentang penerapan pendidikan inklusi, pekerjaan kepada difabel (adanya penghargaan kepada perusahaan yang memberikan pekerjaan kepada difabel), serta kebijakan jaminan pembiayaan kesehatan daerah kepada difabel serta beberapa kebijakan layanan yang sudah mulai berpihak kepada difabel.
Kota Yogyakarta yang sudah mempunyai beberapa kota Yogyakarta sering dijadikan contoh bagi daerah lain untuk membuat program-program serta kebijakan berpersektif difabilitas. Tetapi sayangnya pemerintah kota Yogyakarta belum mempunyai Peraturan Daerah Kota Yogyakarta yang mampu melindungi dan memberikan pemenuhan hak -hak penyandang disabilitas atau difabel. Belajar dari beberapa daerah lain tentang kebijakan program serta anggaran apabila tidak ada aturan hukum yang memastikan bahwa keberpihakan kepada difabel akan terus diimplementasikan kedepan secara komprehensif, tidak sepotong-potong, akan dapat berubah tergantung pada perspektif dan niat baik dari pejabat yang sedang memerintah. Untuk meminimalisir risiko sering berubahnya kebijakan berupa program serta anggaran untuk pemenuhan hak difabel serta, maka dibutuhkan suatu Peraturan daerah yang secara khusus mengatur tentang perlindungan serta pemenuhan hak difabel secara komprehensif.
Untuk menyusun suatu peraturan daerah yang ideal tentang difabel yang memberi perlindungan dan pemenuhan hak terhadap difabel, pemerintah kota dapat melihat peraturan daerah Provinsi DIY no. 4 tahun 2012, tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Secara proses Perda tersebut disusun dengan partisipasi penuh dari penyandang disabilitas serta pihak -pihak yang mempunyai keberpihakan serta bekerja untuk issu disabilitas disamping mengakomodir masukan dari SKPD ditingkat kabupaten/kota.


Muatan/ isi dari perda No. 4 tahun 2012 pun secara tegas, dan detail memuat nilai-nilai serta isi dari Konvensi Hak penyandang disabilitas yang telah di ratifikasi menjadi UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.
• Proses penyusunan Peraturan Daerah dan partisipasi aktif stakeholder penyandang disabilitas
Proses inisiasi Perda Penyandang Disabilitas DIY dimulai pada akhir 2010 atau awal 2011 dimulai oleh Dinas Sosial Prov DIY, serta beberapa aktivitis issue disabilitas di DIY, dengan dasar bahwa Peraturan Daerah tentang Penyandang Disabilitas yang implementatif sangat dibutuhkan ditingkat daerah menyusul proses Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang sedang berjalan, disamping memang ada dorongan dari pemerintah pusat untuk menyusun peraturan daerah yang mengatur tentang penanganan difabel di daerah.
Partisipasi aktif komunitas difabel dari proses awal memberikan masukan atas muatan raperda, menyusun detail raperda dari pasal ke pasal, konsultasi publik dan pembahasan di DPRD Provinsi DIY. Asertifitas dari Pemerintah Daerah Provinsi DIY yang sangat akomodatif untuk memberikan ruang partisipasi pagi penerima manfaat, dilain pihak komunitas penyandang disabilitas bekerja keras menempati posisi dalam ruang partisipatif tersebut dengan positif. Berbagai pihak yang terdiri dari SKPD selain dinas sosial, akademisi, lembaga Bantuan hukum serta keluarga difabel dengan kerelawanan dan semangat yang tinggi bergerak bersama dalam penyusunan tersebut.
Pembelajaran ini sangat berarti dan harapannya dapat dicontoh oleh kabupaten/kota di provinsi DIY ataupun provinsi/kabupaten/kota diluar provinsi DIY. Karena partisipasi aktif dengan posisi setara setidaknya memastikan terakomodasikan kebutuhan dan pendapat penyandang disabilitas sebagai subyek perda. Sehingga kedepan akan ada dukungan untuk pelaksanaan perda, monitoring serta evaluasi dari penyandang disabilitas untuk implementasi, berbeda dengan perda Disabilitas didaerah lain yang sebagian besar bersifat top down, dan menjadikan difabel sebagai obyek kebijakan dan tidak cukup paham tentang proses ataupun muatan karena tidak berusaha berpartisipasi aktif atau tidak diberikan ruang partisipasi.
Kendala implementasi perda penyandang disabilitas
Kondisi ini yang menjadikan beberapa peraturan daerah di wilayah lain tidak dapat dapat diimplementasikan secara optimal, karena memang muatan yang tidak komprehensif serta tidak ada peraturan pelaksanaan dibawah Perda yaitu Pergub/Perbup/Perwal dan kemudian diikuti oleh kebijakan ditingkat dinas yang lebih implementatif dengan mekanisme yang jelas. Hal lain yang membuat tidak implementatif adalah minimnya partisipasi penyandang disabilitas dalam proses penyusunan perda, dan kalaupun ada lebih bersifat formalitas dan hanya melibatkan organisasi penyandang disabilitas yang secara personal dekat atau bentukan pemerintah pusat/daerah. Kemudian diperparah dengan minimnya upaya pemerintah melakukan sosialisasi kepada SKPD, komunitas penyandang disabilitas, keluarga dan pihak-pihak yang bersangkutan.
• Muatan Peraturan daerah yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
Belajar dari Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4 tahun 2012, yang secara tegas memberikan perlindungan kepada penyandang disabilitas serta memasukkan nilai dan konten konvensi Hak penyandang disabilitas. Secara garis besar peraturan daerah ini terdiri dari IX Bab dan 100 pasal, dengan pokok-pokok muatan yang terdiri :
1. Bab I, tentang Ketentuan Umum, terdiri dari 3 pasal
Dalam pasal 2 dituangkan prinsip-prinsip yang ada dalam perda dengan mengacu kepada Konvensi Hak penyandang disabilitas diantaranya adalah penghormatan atas martabat dan otoritas individu, aksesibilitas, kesetaraan dsb.
Dalam pasal 3 ada pengakuan terhadap beberapa jenis disabilitas mengacu kepada Konvensi Hak penyandang disabilitas dan standar internasional yang lain. Adapun ruang lingkup dari 11 disabilitas yang ada di Perda ini adalah gangguan penglihatan;gangguan pendengaran; gangguan bicara; gangguan motorik dan mobilitas; cerebral palsy; gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif; autis; epilepsi; tourette’s syndrome; gangguan sosialitas, emosional, dan perilaku; dan retardasi mental. Sehingga perda ini lebih maju dibanding dengan beberapa aturan lain yang hanya mengakomodasi 5 macam disabilitas (netra, rungu wicara, daksa, mental dan ganda).

2. Bab II, tentang Perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
Perda ini juga mengatur tentang hak-hak penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya, olah raga, politik, hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal. Aturan tersebut dituangkan secara detail didalam 11 bagian dari pasal 4 sampai dengan pasal 88.

3. Bab III, tentang aksesibilitas, pasal 89-93
Aksesibilitas dalam perda ini mengacu pada prinsip kemudahan, keamanan/keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan kemandirian dalam hal menuju, mencapai, memasuki dan memanfaatkan fasilitas umum. Aksesibilitas penggunaan fasilitas umum meliputi aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik
Aksesibilitas fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aksesibilitas pada bangunan umum, sarana lalulintas, dan angkutan umum.
Aksesibilitas non fisik meliputi kemudahan dalam hal pelayanan informasi & pelayanan khusus.

4. Bab IV, tentang Partisipasi Masyarakat, pasal 94
Partisipasi masyarakat yang menjadi hak masyarakat yang diatur dalam perda ini adalah : sosialisasi hak-hak Penyandang Disabilitas; penyampaian usulan secara lisan dan/atau tertulis dalam penyusunan kebijakan; pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan;penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi; dan/atau penyelenggaraan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas.

5. Bab V, tentang Pengarusutamaan Penyandang Disabilitas, pasal 95
Perda ini mengamanatkan bahwa harus ada pengurusutamaan penyandang disabilitas dalam perencanaan serta pelaksanaan program dari pemerintah. Adapun proses pengarusutamaan akan dilaksanakan dalam beberapa ranah termasuk sosialiasasi terhadap semua level dalam masyarakat, melakukan pendataan secara lengkap terkait dengan disabilitas, derajat kecacatan, pendidikan serta kondisi sosial ekonomi. Sehingga dapat menjadi basis perencanaan untuk pemenuhan kebutuhan khusus untuk mobilitas, kemandirian serta kesehatan dan hal lain yang spesifik.

6. Bab VI, tentang Pembiayaan, pasal 96
Perda yang disusun dengan kontribusi dari SKPD ditingkat Pemerintah Provinsi , kabupaten Kota dan komunitas penyandang disabilitas mengamanatkan secara jelas bahwa pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewajiban untuk mendukung pelaksanaan dari perda ini termasuk melalui sharing pembiayaan.

7. Bab VII, tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Pasal 97 &98
Dalam Peraturan Daerah ini memberikan suatu amanat bahwa harus dibentuk suatu komite independen yang beranggotakan pemerintah, perwakilan penyandang disabilitas, aparat penegak hukum, wakil pengusaha, LSM dan tokoh masyarakat untuk duduk didalamnya. Komite ini bertanggungjawab memastikan bahwa peraturan daerah ini berjalan, tidak ada pelanggaran dan juga pengabaian hak penyandang disabilitas di Prov. DIY.

8. Bab VIII, tentang Ketentuan Pidana, Pasal 99
Ketentuan pidana yang dituangkan dalam peraturan daerah ini berfokus kepada perusahaan daerah atau swasta yang tidak memenuhi kuota 1% untuk tenaga kerja penyandang disabilitas akan terkena pidana penjara 6 bulan dan denda maksimal Rp. 200 juta.

9. Bab IX, tentang Ketentuan Penutup, Pasal 100