PUNGGUK MERINDUKAN BULAN

Pungguk Merindukan Bulan
Potret Gunungkidul dalam Pemenuhan Pelayanan Pendidikan
Kelompok Difabel

Resensi Oleh : Prisnia Dwi W

Penulis : Defi Nopita, Ikma Citra Ranteallo, Muhammad Joni Yulianto
Tahun terbit : 211
Penerbit : Maarif Institute for Culture and Humanity
ISBN : 978-602-97198-1-9

Buku ini berbicara mengenai perjalanan advokasi yang dilakukan oleh MAARIF Institute bersama dengan Yayasan TIFA pada kelompok difabel di Kabupaten Gunung Kidul tahun 2009-2011, dengan tujuan utama yaitu pengarusutamaan kebijakan inklusif dalam bidang pendidikan untuk kelompok difabel melalui kehadiran Citizen Charter (piagam kesepakatan warga). Selain itu buku ini juga berbicara mengenai proses perjalanan program dan dinamika yang berlangsung dalam memotret realitas – realitas sosial ekonomi di Kabupaten Gunung Kidul termasuk gambaran Kabupaten Gunung Kidul sebelum dan sesudah advokasi dilakukan.

Di bagian awal buku diceritakan mengenai bagaimana kelompok difabel dianggap sebagai pungguk yang merindukan kehadiran sang bulan. Sebagai pungguk mereka pun dianggap kelompok yang tidak pernah tercapai keinginannya, akibat dari beberapa hal seperti hambatan fisik, hambatan psikis individu ataupun akses pada fasilitas publik. Dianggapnya difabel sebagai pungguk diyakini disebabkan melalui stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Stratifikasi sosial adalah hierarki yang ada di masyarakat yang didasarkan pada bermacam hal mulai dari kasta, kondisi ekonomi, gender, atau dalam kasus difabel adalah kondisi tubuh. Stratifikasi sosial inilah yang menjadi penyebab perbedaan perlakuan pada orang atau kelompok tertentu. Bagi difabel, stratifikasi sosial juga melahirkan adanya ableism, yaitu sebuah prejudice/ prasangka terhadap kelompok difabel. Dampak nyata yang dirasakan oleh difabel salah satunya di dunia pendidikan dimana mereka hanya dianggap mampu untuk menjalani pendidikan di SLB karena adanya hambatan kompleks dari diri mereka maupun adanya penolakan dari masyarakat non difabel. Pada akhirnya muncul wacana akan pendidikan inklusif yang dianggap mampu mengakomodasi baik itu akses atas pendidikan maupun kebutuhan – kebutuhan khusus difabel.

 

Penulis juga mengemukakan adanya prinsip – prinsip pendidikan inklusif yaitu pertama, pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan dan menyokong hak anak difabel dan non difabel. Kedua, semua anak dapat bermain dengan teman – temannya, dan apabila anak difabel dan orang tua menginginkan itu, mereka dapat memilih sekolah bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Ketiga, anak non difabel dan orang dewasa memperoleh pengalaman dari kehadiran anak difabel untuk mencegah munculnya prasangka dan diskriminasi di sekolah dan dalam kehidupan orang dewasa. Keempat, anak yang menyandang cacat fisik seharusnya dapat mengakses toilet dan ruang kelas serta berbagai aktivitas sekolah dengan bimbingan asisten. Dan kelima, anak tunanetra dan tunarungu butuh akses komunikasi khusus seperti Braille serta dilatih menggunakan simbol atau komputer untuk komunikasi.

Berdasarkan hal – hal tersebutlah Maarif Institute dan Yayasan TIFA melakukan advokasi di Kabupaten Gunung Kidul. Tahapan awal adalah dengan memetakan peta persoalan yang ada di sana, dan ditemukan beberapa hal. Pertama, minimnya jumlah SLB untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Pada tahun 2011 hanya ada 7 SLB, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Persebaran SLB pun tidak merata karena hanya terkonsentrasi di Gunung Kidul sebelah barat dan timur saja. Akibatnya, hanya ada 4% anak difabel usia sekolah yang dapat mengakses pendidikan yang memang memiliki domisili di dekat SLB tersebut. Kedua, adanya keterbatasan akses kelompok difabel. Kesulitan akses inilah yang banyak membuat orang tua enggan untuk menyekolahkan anak difabelnya. Selain itu sekolah umum juga belum siap untuk menerima difabel baik itu dari pengelola sekolah, koleksi pustaka dengan huruf Braille hingga alat bantu. Ketiga, adanya perlakuan masyarakat pada kelompok difabel yang menganggap bahwa difabel sebagai penyandang cacat sosial. Akibatnya mereka pun cenderung dimasukkan ke panti rehabilitasi. Padahal panti tidak cukup daya tampungnya untuk mengakomodasi seluruh difabel. Selain itu panti juga dianggap mengkotak – kotakkan difabel berdasarkan kecacatannya. Panti juga tidak berusaha untuk menggali multiple intelligent dari difabel. Keempat, adanya kebutuhan khusus di bidang pendidikan, padahal belum semua jenjang memberikan kesempatan pada difabel. Misalnya pendidikan tinggi, padahal pendidikan formal difabel hanya sampai pada jenjang SMP. Kelima, pelaksaksanaan pelibatan kelompok difabel di dalam perencanaan pembangunan daerah masih dalam tataran wacana. Padahal jelas di UU No 34 tahun 2002 tentang otonomi daerah bahwa Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar dalam pengalokasian anggaran untuk kelompok difabel, namun yang menjadi masalah adalah belum adanya pengarusutamaan pada difabel. Keenam, distribusi kewenangan anggaran pemerintah daerah pada difabel yang masih minim. Di tahun 2006 anggaran yang disediakan Rp 23.500.000, sedangkan di tahun 2007 sebesar Rp 72.065.000, di tahun 2008 sebesar Rp 20.000.000, tahun 2009 0,03% dari total belanja langsung APBD. Dan 2010 tidak ada anggaran khusus bagi pelayanan pendidikan kelompok difabel karena urusan difabel dianggap sebagai urusan pemerintah provinsi. Ketujuh, permasalahan difabel yang dilihat dari 2 sudut pandang yaitu budaya vs kesehatan, kutukan /inses atau lingkungan yang tidak sehat. Masalah ini dilihat dari berbagai indikator yang ditemukan di lapangan yaitu pertambahan jumlah orang cacat selama 20 tahun terakhir sebanyak 250 perkecamatan yang kebanyakan adalah tunagrahita; tindakan orangtua yang tidak menerima kecacatan anaknya sehingga tidak rela jika anaknya harus bersekolah di SLB; mitos Sonto Santiko dalam akar budaya masyarakat yang mengklaim bahwa anak perempuan Sonto dan keturunannya akan mengalami gangguan jiwa; inses/ pernikahan sedarah sebagai penyebab kecacatan dan penyebab tunagrahita yang berasal dari proses kelahiran yang lama dan sulit; atau akibat lingkungan dimana kadar airnya mengandung logam berat.
Setelah pemetaan masalah dasar, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan motode pendekatan yang akan digunakan. Dalam buku ini digunakan metode pendekatan kolaboratif, dimana ini merupakan pendekatan advokasi berbentuk kerjasama antar stakeholder yang berpijak pada irisan kepentingan antara warga dan pemerintah dengan strategi penguatan kapasitas masyarakat. Tahap awal pun dilakukan dengan memetakan aktor dan melakukan dialog untuk mencari jalan keluar permasalahan. Kendala utama yang dihadapi dalam proses ini adalah sulitnya membincangkan permasalahan minoritas yang bagi beberapa kalangan dianggap tidak penting. Dialog pun dilakukan pada beberapa pihak yaitu pertama, dialog dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Gunungkidul. Pokok perbincangan utama adalah tentang tarik ulur kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten mengenai siapa yang mengelola SLB. Solusinya adalah dengan mendorong lahirnya Pergub tentang pendidikan inklusif ataupun perda untuk menjamin hak kelompok difabel dalam mengakses pendidikan yang setara. Kedua, dialog dilakukan dengan Komisi D DPRD Kabupaten Gunungkidul. Di tahapan inipun kendala ditemui karena komitmen DPRD yang menganggap isu ini tidak pokok. Dialog ini menawarkan solusi terkait tarik menarik yaitu perlu beranjak dari wilayah dan kewenangan yang telah ada dan fokus pada inovasi dan kreativitas kabupaten dalam mengelola masalah difabel. Ketiga, dialog dilakukan dengan jejaring advokasi kelompok difabel yaitu SIGAB, UCP Wheels for Humanity, YKPPCNT, dan KAPSI. Hasil diskusinya pun ada beberapa point yaitu posisi lembaga penggiat advokasi difabel yaitu mengkondisikan bahwa pergerakan difabel bukanlah milik difabel saja tetapi merupakan milik grass root di masyarakat; aktivitas advokasi diarahkan pada keterlibatan dalam mengelola, menikmati, dan memantau tetapi tidak melupakan capacity building yang harus dilakukan; adanya pembagian wilayah garapan satu lembaga dengan lembaga lain; perlu adanya standar sekolah inklusif; perlu adanya kampanye penyadaran publik terkait pemenuhan hak kelompok difabel; dan perlu adanya internalisasi konsep keislaman di masyarakat. Keempat, dialog antara jejaring dengan ormas keagamaan. Yang menghasilkan beberapa point yaitu adanya ekslusifisme dalam dunia pendidikan karena yang bisa mengakses pendidikan hanyalah orang – orang non difabel; humanisme versus patriarki yang menyoroti pada pembiaran pelaku yang melakukan diskriminasi, kekeran seksual, pembodohan dan pemiskinan pada kelompok difabel; serta persoalan keimanan dimana masyarakat melihat difabel sebagai kelompok yang sakit/ invalid. Kelima, muncul jejaring forum komunikasi pemberdayaan difabel Gunung Kidul dengan berbagai aktivitas advokasi mulai dari mengawal isu aksesbilitas publik, mengolah isu difabel dan ekonomi, jejaring dan temu dengan pemerintah daerah, hingga mengelola isu difabel dan penguasaan informasi dan teknologi. Jejaring ini senantiasa melakukan diskusi rutin serta upaya lobbying ke Pemerintah Daerah yang kemudian dilanjutkan dengan konsolidasi internal.

Setelah melakukan dialog dengan jejaring, proses selanjutnya yang ditempuh adalah dengan penggalangan suara akar rumput. Suara akar rumput sangatlah didengar selama proses penelitian awal hingga perumusan indikator dan instrumen pemantauan penyelenggaraan hak pendidikan bagi kelompok difabel. Penelitian awal memiliki posisi signifikan karena mereka merasa bahwa belum ada ukuran baku yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan dalam upaya pemenuhan hak pendidikan bagi kelompok difabel. Indikator dan instrumen yang dihasilkan pun merupakan perkembangan lanjutan dari penelitian awal ini. Indikator dan instrumen memuat pemaparan hasil studi awal serta diskusi bersama praktisi serta kelompok masyarakat yang memang memiliki niat untuk memenuhi hak pendidikan difabel.

Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah mencari dukungan publik. Dukungan publik dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan melibatkan seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah daerah, organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa, perwakilan universitas, perwakilan media, organisasi masyarakat, organisasi guru, dll. Dukungan publik ini juga didapat melalui pemaparan hasil – hasil penelitian Yayasan TIFA dan Maarif Institution mengenai kepuasan publik terkait dengan pendidikan bagi difabel serta bagaimana keramahan pejabat publik pada 5 kelompok rentan salah satunya difabel. Tetapi yang terpenting yang dilakukan dalam rangka membangun diskusi publik ini adalah melakukan pembongkaran masyarakat pada pemahaman mengenai arti dari pendidikan inklusi, bahwa pendidikan inklusi pada dasarnya tidak hanya berbicara mengenai difabel saja tetapi juga berbicara mengenai hak masyarakat miskin marginal dan berbicara mengenai bagaimana pendidikan tersebut bisa diakses.

Setelah melakukan proses mencari dukungan publik, langkah berikutnya yang dilakukan adalah dengan melakukan proses lobbying ke 2 aktor utama yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah yang didatangi adalah Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Kesra dan Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul. Salah satu hasil kesepakatan yang dihasilkan adalah usulan mengenai Citizen Charter terkait dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikan difabel di Gunungkidul yang akan ditandatangi pada akhir tahun 2010 berkaitan dengan momentum International Difable Day. Momentum ini diharapkan mampu menjadi entry point untuk membangun kesepakatan multi pihak dan juga ruang aspirasi tentang program SKPD apa yang diharapkan dari difabel Gunungkidul. Untuk mewujudkan Citizen Charter ini maka telah dilakukan sebuah workshop yang memang membedah sejumlah permasalahan terkait kualitas dan keadilan akses pelayanan publik khususnya dibidang pendidikan bagi difabel yang dilanjutkan dengan penyusunan dokumen yang menjelaskan tentang pernyataan mengenai hak dan kewajiban yang melekat pada provider (penyedia pelayanan publik/ pemerintah daerah) maupun customer (penerima pelayanan/ citizen). Workshop inipun menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu pertama, bersama – sama berbagi fungsi dan peran secara proporsional. Kedua, pendidikan inklusi, intervensi dini, deteksi dini, outreach program dan anggaran terkait dengan difabel. Ketiga, memberikan kesempatan kepada pemerintah terkait dengan hak pendidikan bagi kelompok difabel yang diberikan dalam pelayanan publik yang aksesibel, adil dan transparan. Keempat, pemenuhan hak atas pendidikan kelompok difabel dalam pelayanan pendidikan yang menyeluruh pada program pemenuhan hak atas pendidikan bagi kelompok difabel. Dan kelima, diperlukan adanya komitmen legislatif, eksekutif, ormas dan institusi pendidikan.Piagam kesepakatan warga inipun ditandatangai oleh berbagai elemen masyarakat baik itu pemerintah daerah, organisasi masyarakat hingga organisasi difabel.

Setelah ditandatangani pada tahun 2010 dan diterbitkannya buku ini pada tahun 2011, penulis mencatat ada beberapa point penting yang sudah terjadi di Kabupaten Gunung Kidul. Pertama, program pemenuhan hak pendidikan bagi difabel ini nyatanya di respon positif dari berbagai kalangan, apalagi karena memang program ini lahir dari proses berjejaring antar lembaga. Kedua, masih ada pemikiran yang berkembang bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang identik dengan sekolah swasta, padahal sebenarnya sekolah inklusi juga bisa diterapakan di sekolah negeri. Ketiga, masyarakat belumlah bisa merasakan kemanfaatan sekolah inklusif yang memang baru berumur dua bulan. Hal ini diyakini karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada lingkungan organisasi kelompok difabel sehingga tidak ada perubahan pola pikir pada orang tua ABK. Keempat, pernyataan bahwa semua sekolah wajib menerima ABK tidak dibarengi dengan kesiapan sekolah dalam mempersiapkan faktor penunjang kemandirian sekolah inklusi. Aksesbilitas yang minim ini sudah tentu menyulitkan difabel ketika bersekolah di sekolah inklusi.Kelima, coverage area yang sangat luas yang menjadi garapan kelompok difabel di Gunungkidul adalah tantangan terbesar dari pemerintah daerah. Keenam, Perbup tentang Pendidikan Inklusi akan dikeluarkan pada bulan Juli 2011. Perbup ini rencananya akan digunakan sebagai landasan pelaksanaan pendidikan inklusi. Ketujuh, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah pada kelompok difabel yaitu mulai dari menyediakan transportasi pada difabel seperti kursi roda; pelatihan bagi orang tua ABK; penganggaran untuk penerimaan CPNS kelompok difabel pada tahun 2011; serta RPJMD untuk 2010-2015 yang mensyaratkan adanya kerjasama antar SKPD untuk menangani masalah difabel.

Kelebihan buku ini adalah buku ini mampu dijadikan sebagai good practice bagaimana membawa ide perjuangan sehingga mampu gol menjadi sebuah produk legislatif. Langkah – langkahnya pun dijelaskan dengan begitu rinci mulai dari pemetaan permasalahan awal, menjalin dialog dengan tokoh – tokoh terkait, melakukan proses lobbying hingga membentuk sebuah jejaring yang memang memiliki komitmen yang sama atas isu tertentu. Jejaring menjadi point kunci yang ditekankan berulang kali buku ini karena memang penting untuk menghadirkan partisipasi publik dan komitmen negara dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di daerahnya. Penting untuk melibatkan seluruh elemen yang ada di daerah tersebut mulai dari kelompok muda, ormas keagamaan, organisasi profesi dan komunitas – komunitas genuine dalam melakukan advokasi, serta komunitas perempuan. karena semakin tinggi partisipasi publik yang mampu digalang dalam membawa isu tertentu maka semakin tinggi pula isu tersebut mampu didengar. Buku ini juga mampu membuktikan pada masyarakat yang selama ini menganggap isu difabel hanya milik difabel saja ternyata sebuah omong kosong. Isu difabel adalah milik bersama, yang dirasakan bersama dan dipikirkan jalan keluar bersama. Saat difabel tidak bisa bersekolah maka kesalahan bukanlah milik difabel yang memang memiliki hambatan untuk mengakses pendidikan, tetapi kasus ini menjadi concern bersama mulai dari pemerintah yang tidak menyediakan akses pendidikan, masyarakat yang tidak memberikan kesempatan pada difabel hingga keluarga yang tidak membiarkan difabel untuk berkembang bebas. Saat isu difabel dipikul oleh banyak orang, maka beban pun terasa ringan. Banyak orang memikirkan mengenai difabel. Walaupun memang proses menuju hal ini membutuhkan komitmen yang sangat tinggi. Karena pemerintah daerah akan lebih sibuk dengan urusan – urusan strategis teknokratis administratif, DPRD sibuk dengan urusan politik, dll.

Walaupun begitu, buku ini tetap memiliki celah kelemahan yang bisa disikapi dengan bijaksana. Peran lembaga advokasi yang mengusung ide pemenuhan hak pendidikan di Gunung kidul memang based on case atau kasusistis. Langkah – langkah yang dilakukan pun sudah di disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut. Hal ini berdampak pada kemungkinan berhasilnya langkah yang sama jika diterapkan di daerah yang berbeda walaupun isu yang dibawa sama. Tidak ada jaminan bahwa isu ini akan berhasil di daerah yang sama karena mungkin di daerah tersebut tidak mungkin membangun jejaring tetapi advokasi dilakukan hanya dengan proses lobbying secara intensif. Hal ini tentu saja membuat buku ini tidak bisa digeneralisir secara umum, karena bagaimanapun juga kondisi wilayah satu dengan yang lain memiliki karakter yang berbeda. Terlepas dari itu, yang seharusnya menjadi bahan perenungan bersama adalah bagaimana mencari model pengembangan penyelenggaraan pendidikan yang cocok dan mampu mengakomodasi hak – hak difabel tetapi tidak melupakan ciri khas dan karakteristik daerah tertentu.