Evaluasi sekolah yang diselengarakan pada hari Kamis, 15 Agustus 2013 di Edotel Jln Kenari Yogyakarta ini merupakan rangkaian dari Sekolah Gender, Disabilitas dan Kesehatan Reproduksi yang sudah dijalankan sebelumnya. Menurut Bu Sri Lestari (SAPDA) selaku coordinator sekolah, sekolah ini hadir untuk mengakomodasi tiga isu besar yang selama ini masih sering berdiri terpisah – pisah yaitu disabilitas, gender dan kesehatan reproduksi. Dua isu yaitu gender dan kesehatan reproduksi coba di silangkan dengan isu disabilitas karena rupanya perkembangan saat ini pembahasan mengenai disabilitas tidak hanya bisa dilihat dari disabilitas itu sendiri. Pembahasan mengenai difabel pun ternyata belum banyak dibahas oleh banyak pihak. Oleh karena itu maka keberadaan Sekolah Gender, Disabilitas dan Kesehatan Reproduksi menjadi penting keberadaannya.
Sekolah Gender, Disabilitas dan Kesehatan Reproduksi ini merupakan ‘produk’ hasil kerjasama Lembaga SAPDA dan Mamacash dengan tujuan sebagai salah satu sarana capacity building pihak – pihak yang awam maupun yang biasa bersinggungan dengan tiga isu besar tersebut. Sekolah ini sudah dijalankan dalam dua angkatan. Angkatan pertama dilakukan pada bulan April dan Juni dengan jumlah peserta 15 orang yang terdiri dari 4 orang difabel dan 11 orang non difabel. Pertemuan yang dilakukan sendiri sebanyak 13 kali pertemuan dengan 10 kali pertemuan pembahasan materi , 1 kali praktek dan 1 kali evaluasi. Pada angkatan kedua, jumlah peserta sekolah juga 15 orang dengan perbandingan 4 orang difabel dan 11 orang non difabel. Pertemuan yang dilakukan selama sekolah angkatan kedua berbeda dengan angkatan pertama karena ada beberapa materi yang dipadatkan sehingga hanya 12 kali pertemuan dengan rincian 9 kali pertemuan pembahasan materi, 1 kali praktek dan 1 kali evaluasi. Dari dua angkatan ini dapat terlihat bahwa jumlah peserta difabel dan peserta non difabel tidak berimbang. Jumlah peserta non difabel lebih banyak dibandingkan jumlah peserta difabel. Hal ini dikarenakan difabel masih banyak yang kurang percaya diri. Untuk fasilitator sekolah gender, disabilitas dan kesehatan reproduksi ini sendiri dihadirkan ahli – ahli yang memang menguasai bidangnya masing – masing yaitu Bu Nurul, Pak Miko, Pak Awang, Bu Indana, Pak Setyo, Dokter Supri, Dokter Tyas, Dokter Luthfi, dll.
Perbedaan lain yang ada di dua angkatan sekolah ini adalah soal materi. Pada angkatan pertama, ketiga materi utama yaitu gender, disabilitas dan kesehatan reproduksi masih dijelaskan secara terpisah – pisah. Ketika pembahasan mengenai gender maka disana hanya akan dibahas mengenai gender saja, begitu juga dengan materi yang lain. Namun pada angkatan kedua, ketiga materi tersebut sudah dirangkai satu sama lain menjadi sebuah kesatuan. Sehingga ketika pembahasan tentang gender sedang dilakukan maka pembahasan tersebut tetap akan dikerangkai oleh pemikiran – pemikiran disabilitas. Begitu juga ketika pembahasan mengenai kesehatan reproduksi. Pembahasan akan dilakukan dengan mengkaitkan kesehatan reproduksi dengan disabilitas.
Ada beberapa hal positif yang bisa di dapat dari sekolah ini. Hal positif pertama adalah menambah jaringan. Rekan – rekan yang melakukan advokasi dalam 3 isu besar ini maupun difabel dapat tersadarkan bahwa perjuangan yang mereka lakukan dalam rangka ‘memanusiakan difabel’ ternyata dapat dilakukan oleh lebih banyak orang dan dalam lingkup yang lebih luas. Kedua, peserta menjadi agen perubahan. Diharapkan output dari sekolah ini tidak hanya kemampuan kognitif peserta yang bertambah tapi peserta juga mampu ikut merubah pola – pola diskriminasi yang ada di lingkungan sekitar mereka. Ketiga, isu disabilitas menjadi lebih dapat dipahami secara penuh oleh lembaga – lembaga yang terlibat dalam perjuangan kesetaraan difabel.
Evaluasi sekolah gender, disabilitas dan kesehatan reproduksi ini sendiri hadir untuk melihat celah – celah kekurangan apa yang ada selama pelaksanaan sekolah baik di tahapan pertama maupun di tahapan kedua untuk kemudian di olah lebih lanjut sebagai bahan masukan. Hal ini dikarenakan SAPDA akan membuka sekolah angkatan ketiga dan juga mulai melebarkan sayap ke luar kota. Rencana akan ada 3 sekolah baru di luar kota yang akan mulai di fasilitasi oleh SAPDA. Evaluasi sekolah ini dimulai dengan review masing – masing peserta mengenai apa yang didapat selama sekolah dan perubahan apa yang sudah dilakukan setelah sekolah. Pada sesi kedua, pembahasan difokuskan pada materi dan proses selama sekolah.
Pada sesi kedua ini pembahasan menjadi lebih mendalam karena ternyata tidak mudah menemukan cross cutting antara tiga isu ini. Karena selama ini orang – orang hanya terlalu fokus pada tiga konsep terpisah yaitu pertama adalah bagaimana membongkar konsep disabilitas, kedua melihat bagaimana konsep gender bekerja dan ketiga adalah melihat konsep kesehatan reproduksi. Yang caranya masih susah ditemukan adalah bagaimana merajut isu dan idealisme dari masing – masing konsep tersebut ke dalam sebuah konsep yang mampu diterima semua kalangan. Untuk mencapai sambungan tiga konsep itu maka disepakati perlu ada diskusi tematik rutin yang terus dilakukan sehingga “sambungan – sambungan kecil” yang sudah didapat saat ini dapat terus digali lebih dalam sehingga mendapatkan sebuah konsepsi yang mampu merajut tiga isu utama tersebut dalam sebuah kerangka pemikiran.(Ika)