Komunikasi menjadi aspek penting dalam membangun pola asuh untuk anak. Namun, membangun komunikasi keluarga yang efektif menjadi persoalan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas. Lantas, bagaimana cara terbaik dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak penyandang disabilitas?
Psikolog Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Yogyakarta, Devi Riana Sari, menjawabnya dalam kegiatan pelatihan isu anak penyandang disabilitas bagi kader inklusi Kota Yogyakarta sesi 1 yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada Senin (15/3) lalu.
Menurut Devi, langkah penting dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak penyandang disabilitas adalah dengan mengembangkan pertemanan atau afiliasi. “Pola komunikasi ini akan mempertahankan hubungan antara orang tua dengan anak,” kata Devi, yang hadir sebagai narasumer.
Devi mengingatkan, anak penyandang disabilitas juga perlu selalu diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat, terutama jika ada hubungannya dengan fasilitas yang diberikan orang tua. “Apakah anak nyaman di sekolahkan di sana? Apakah anak nyaman kalau terapi disini. Kita mulai berikan ruang kepada anak untuk tahu sebab akibat,” tutur Devi.
Selain itu, penting pula agar komunikasi dengan anak penyandang disabilitas dilakukan berbasis penerimaan. Tanpa penerimaan, anak akan menyadari perbedaannya dan berkemungkinan besar langsung membuat jarak. “Penerimaan tidak hanya lisan tetapi bisa pada tindakan, ucapan kasih sayang, sentuhan, the power of touching,” kata Devi.
Menurut Devi, menunjukan kasih sayang juga dapat membuat anak penyandang disabilitas tidak takut bergaul. Terlebih, anak penyandang disabilitas umumnya memiliki kebutuhan akan eksplorasi. “Keberadaan dia (akan merasa) dihargai, dan ini benar-benar bisa terlihat dari bagaimana anak menimpali,” jelasnya.
Menambahkan Devi, Nining seorang ibu dari anak dengan hambatan pendengaran berpendapat bahwa anak penyandang disabilitas juga perlu didorong untuk berinteraksi dengan lingkungan luar. Dari situ, anak bisa diajak untuk berdikusi dan bercerita.
“Misalnya jalan ke mall, apa yang dia lihat? Dengan bahasa saya, saya jelaskan, mudah-mudahan anak saya bisa terima. Istilahnya kita ngobrol-ngobrol, dia akan bercerita sebisa dia. Dia menggambar sebisa dia,” tutur Nining menceritakan pengalamannya.
Namun, Nining mengaku cara ini bukan tanpa kesulitan. Ia bercerita bahwa dirinya harus mencari kosa kata baru ketika anak bertanya tentang sesuatu yang benar-benar baru. “Kita perlu membantu untuk menambahkan perbendaharaan kata baru atau pengetahuan baru, agar setidaknya tidak jauh tertinggal dengan kita yang mendengar,” katanya.
Kesulitan yang sama juga dialami oleh Maya, seorang ibu dari anak dengan hambatan intelektual. Ia bercerita bahwa dirinya harus mencari kata-kata yang sederhana agar anak memahami pesan. “Jadi untuk anak-anak difabel grahita itu membutuhkan proses untuk mereka mengerti atau memahami entah itu suatu peristiwa atau apapun itu,” katanya.
Devi pun mengatakan bentuk-bentuk komunikasi yang diterapkan Maya dan Nining bisa menjadi contoh bagi para kader inklusi sebagai bentuk dukungan terhadap anak-anak penyandang disabilitas di lingkungannya. “Ini wajib karena dukungan yang hangat ini sangat di butuhkan oleh anak disabilitas dan mempengaruhi kepercayaannya,” timpanya kembali.
Pelatihan isu anak penyandang disabilitas sendiri diselenggarakan oleh hola Gender Equality, Disability & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA di bawah pendanaan dari Disability Rights Fund (DRF). Puluhan kader inklusi yang dilibatkan di dalam kegiatan ini tersebar di empat kemantren di Kota Yogyakarta, antara lain Jetis, Kotagede, Wirobrajan, dan Kraton.
Direktur SAPDA Nurul Sa’dah Andriani berharap dengan pelatihan ini, para kader dari tingkat kelurahan hingga kecamatan mampu menyosialisasikan isu perlindungan anak penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta, dengan menggandeng langsung keluarga yang memiliki anggota anak penyandang disabilitas.
“Karena tentu saja banyak sekali orang tua dari anak disabilitas yang kebingungan. Mereka begitu punya anak disabilitas tidak tahu mau diapakan, apakah punya masa depan atau tidak. Mereka bingung mau bergabung dengan siapa, didampingi oleh siapa. Kalau mereka punya kesulitan, tidak tahu harus mengadu kepada siapa,” kata Nurul.
Nurul juga mengatakan bahwa pelatihan ini merupakan tindak lanjut atas keresahan bersama terkait jamaknya kasus kekerasan, penelantaran, dan bullying terhadap anak penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta maupun daerah lain di DIY.
Menurut Nurul, terdapat beragam kebutuhan khusus anak penyandang disabilitas yang bisa ditanggung oleh pemerintah daerah, mulai dari kebutuhan dasar hingga pendidikan inklusif. Sayangnya, ini belum terwujud karena minimnya data.
“Bagaimana mendukung para orang tua, tetapi data-data anak disabilitas sendiri beserta kebutuhannya itu belum terpegang oleh pemerintah kota secara detail? Memang sudah ada data tapi bisa jadi memang belum sampai ke kebutuhan khususnya,” kata Nurul.