Lumbung Pangan Masyarakat Inklusif, Upaya Resiliensi Kelompok Rentan Hadapi Pandemi COVID-19

Ilustrasi penyandang disabilitas berdiri di depan lumbung pangan.

Oleh: Iranda Yudhatama, S.Sos, M.Si.

Kebijakan ketahanan pangan (food security) adalah kebijakan strategis yang harus dipunyai oleh suatu negara berdaulat seperti Indonesia. Stabilitas pasokan dan harga pangan merupakan isu penting sekaligus keniscayaan bagi Indonesia. Pasokan dan harga pangan yang stabil membuat akses pangan dan daya beli masyarakat dapat terjaga (Rahman dan Purwantini, 2021).

Memastikan ketersediaan pangan yang cukup sesuai dengan waktu dan karakteristik wilayah memerlukan sistem pengelolaan cadangan pangan baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa dan bahkan komunitas agar dapat digunakan sebagai sumber pangan. Hal tersebut berguna terutama pada masa paceklik dan krisis seperti pandemi COVID-19.

Mengupayakan ketahanan pangan lokal melalui Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) merupakan salah satu bentuk resiliensi masyarakat/komunitas yang bisa dilakukan dalam menghadapi situasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Hanya saja, keberadaan LPM yang merupakan salah satu kearifan lokal telah semakin langka karena tergerus perkembangan ekonomi global dan gaya hidup manusia modern yang semakin masif (Sibuea, 2009). Di Jawa Tengah misalnya, LPM baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun masyarakat telah banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebagian lagi bahkan sudah tidak dapat dilacak keberadaannya alias telah punah ditelan jaman (Mardalis dan Rosyadi, 2015).

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan betapa pentingnya keberadaan LPM untuk menjaga ketahanan pangan di tingkat lokal. Beberapa desa di wilayah Indonesia masih memiliki konsep ketahanan pangan lokal yang relatif berjalan dengan baik dan menjadi upaya resiliensi komunitas ketika menghadapi bencana seperti pandemi COVID-19.

Situasi tersebut salah satunya penulis temui ketika berada di komunitas adat suku Sasak di Dusun Sade, Desa Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah yang menganut konsep lumbung keluarga atau alang dalam istilah lokal. Alang mengacu pada bangunan yang berfungsi sebagai lumbung pangan komunitas untuk menjaga ketahanan pangan lokal mereka. Dalam aturan adat (awig-awig) di Dusun Sade, padi tidak boleh dijual, tetapi harus disimpan untuk konsumsi setiap keluarga.

Sistem lumbung padi di Dusun Sade masih terjaga, dimana setiap lumbung diperuntukan bagi 5 sampai 6 kepala keluarga. Ketersediaan pangan turut terjamin bagi kelompok rentan seperti perempuan, lansia dan penyandang disabilitas. Menurut Akbar, salah seorang warga Dusun Sade, selama pandemi COVID-19 masyarakat relatif tidak mengalami krisis atau kekurangan pangan. Sebab, cadangan pangan dalam bentuk alang masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga termasuk kelompok rentan. Mereka hanya mengalami dampak ekonomi, dimana sumber pendapatan utama di sektor pariwisata menurun selama kebijakan pembatasan (Iranda, 2022).

Konsep ketahanan pangan lokal dalam bentuk lumbung pangan alang di komunitas adat Suku Sasak Sade hampir mirip dengan konsep ketahanan pangan milik komunitas adat Urang Kanekes atau yang biasa disebut Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Ketika singgah di Komunitas adat Baduy Dalam beberapa waktu lalu, penulis menyaksikan bagaimana mereka sebagai suatu komunitas masyarakat agraris masih mempertahankan konsep lumbung leuit yang dikelola dan diperuntukkan secara komunal untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tanpa terkecuali kelompok rentan. Menurut salah seorang warga Baduy Dalam, keberadaan lumbung pangan membuat komunitas adat ini belum pernah mengalami bencana krisis atau kelangkaan pangan. Keberadaan lumbung pangan ini merupakan bagian dari hukum adat mereka yang masih lestari hingga saat ini (Iranda, 2014).

Kisah-kisah terkait sistem ketahanan pangan lokal tersebut justru lebih banyak terjadi di komunitas adat, kelompok yang ironisnya dianggap sebagai komunitas tradisional karena belum tersentuh oleh modernisasi pertanian. Sebaliknya, krisis pangan mudah terjadi di masyarakat desa yang relatif modern, terutama saat pandemi COVID-19. Mereka memiliki kebutuhan yang tinggi akan Bantuan Langsung Non Tunai (BLNT) dari pemerintah yang salah satu bentuknya berupa beras. Bahkan di beberapa kasus seringkali kelompok rentan tereksklusi dan terdiskriminasi di dalam program bantuan tersebut (SNI, 2020).

Berpijak dari konteks di atas, mungkin sudah saatnya sistem ketahanan pangan lokal dengan model lumbung pangan berbasis komunitas mulai dipertimbangkan kembali penerapannya terutama di tingkat desa untuk dikelola secara inklusif. Inisiasi tersebut bisa digerakkan oleh pemerintah desa maupun komunitas dengan memastikan adanya partisipasi, akses, kontrol dan juga kemanfaatan bagi kelompok rentan.

Inisasi oleh pemerintah desa bisa dilakukan menggunakan kebijakan dan anggaran desa. Sementara inisiasi oleh komunitas dapat mengajak kelompok tani, perempuan dan  penyandang disabilitas untuk mengelola secara kolektif sebuah lumbung pangan. Selain itu, unsur perguruan tinggi dan organisasi sipil/lembaga non profit juga apik dilibatkan dalam menjalankan program ketahanan pangan lokal. Sehingga, tidak ada satu orang pun yang akan mengalami krisis pangan terutama selama menghadapi situasi bencana seperti pandemi COVID 19 ini.

______

Profil penulis: Terlahir dengan nama Iranda Yudhatama, tapi panggilan populernya Yudi. Saat ini aktif sebagai peneliti sosial dan penulis buku baik fiksi maupun non fiksi. Selain itu, juga aktif menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat terutama bagi kelompok rentan dan marginal.