Pentingnya Perlindungan & Pemenuhan Hak Anak & Anak Disabilitas Sesuai Kebutuhan

Ilustrasi anak dari 4 ragam disabilitas (fisik kursi roda, intelektual, netra dan Tuli)

Ilustrasi anak disabilitas

Foto portrait penulis.
Oleh: Irmaningsih Pudyastuti

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) setiap tanggal 23 Juli ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 44 Tahun 1984 dalam rangka pembinaan untuk mewujudkan kesejahteraan anak (Pasal 1). Sementara, di tingkat internasional, majelis umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengesahkan konvensi tentang hak-hak anak pada 20 November 1989. Indonesia kemudian meratifikasinya pada 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, sebagai batu pijakan dalam pemenuhan dan perlindungan hak anak. Upaya tersebut menjadi bagian dari konstitusi Indonesia dengan lahirnya Pasal 28B Ayat (2) dalam amandemen kedua Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Tidak berhenti di situ, upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak melahirkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu: pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Undang-Undang tersebut telah dua kali diubah melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dan terakhir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Peraturan ini mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, tidak terkecuali anak penyandang disabilitas.

Dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, setidaknya terdapat empat prinsip yang harus ditegakkan yaitu: (1) Non diskriminasi; (2) Kepentingan terbaik bagi anak; (3) Hak hidup dan keberlangsungan hidup; dan (4) Penghargaan terhadap pendapat anak (Kementerian PPPA, 2020). Mari membahas prinsip ini satu persatu.

Pertama, prinsip non diskriminasi. Seringkali anak menjadi korban diskriminasi karena usia dan hal lain yang melekat pada dirinya. Anak dianggap tidak tahu, tidak penting untuk dilibatkan, belum mengerti, belum mampu berpartisipasi secara penuh dalam berbagai aktivitas di lingkungan dimana ia berproses dalam tumbuh kembang. Diskriminasi yang terjadi akan lebih kompleks ketika bersinggungan dengan identitas seperti warna kulit, bentuk tubuh, agama, golongan dan ekonomi.

Di ranah keluarga, diskriminasi erat kaitannya dengan prinsip keempat yakni penghargaan terhadap pendapat anak. Pendapat anak sering kali dianggap tidak penting, hanya karena anak sering menyampaikannya dalam bentuk protes yang beragam, mulai dari marah, menangis, mogok makan, merusak barang-barang yang ada di sekitarnya. Berbagai bentuk protes ini jamak dimaknai atau bahkan dilabeli sebagai kenakalan. Duduk perkara soal ini sering kali ada pada hambatan komunikasi. Orang tua atau orang dewasa di sekitarnya tidak memahami cara anak berkomunikasi. Orang tua mudah untuk cenderung sok tahu dan tidak sabar dalam menyikapi pendapat anak, karena berpaku pada pemikiran bahwa mereka memiliki banyak bekal pengalaman dan telah mengalami berbagai proses lebih awal daripada anak-anak.

Dari refleksi atas pengalaman menjadi seorang anak, diskriminasi di masa anak-anak mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks menjadi pengalaman tidak menyenangkan dan menempel pada ingatan sampai dewasa atau bahkan seumur hidup. Tidak menutup kemungkinan, orang dewasa mewariskan pengalaman tidak menyenangkan itu kepada anaknya sendiri atau anak lain di lingkungannya. Dengan demikian, kesadaran untuk memutus mata rantai kekerasan perlu segera dimulai dari diri masing-masing.

Diskriminasi yang dialami oleh anak tak hanya berasal dari orangtua, orang dewasa di sekitarnya, guru di sekolah, atau sesama anak lainnya, melainkan juga bisa berasal dari negara. Belum hilang ingatan cerita soal Ibu Santi bersama anaknya Pika yang menyandang kelainan otak atau cerebral palsy (CP). Dalam aksi damai di Kawasan Bundaran HI, Jakarta saat hari bebas kendaraan bermotor, Minggu, 26 Juni 2022, Ibu Santi dan Pika membawa sebuah surat yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi agar segera memberikan putusan atas permohonan uji materi yang sudah dia ajukan atas Undang-undang Narkotika. Ia meminta agar ganja yang masuk golongan I bisa digunakan untuk kepentingan medis. Pada 20 Juli 2022, Mahkamah Konstitusi kemudian menolak permohonan uji materi tersebut. Cerita ini merupakan bentuk dari diskriminasi pada level negara. Pita sebagai anak penyandang disabilitas CP tidak terpenuhi haknya karena hambatan regulasi.

Selanjutnya, prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Orangtua memiliki ekspektasi pada anak bahkan sejak anak dalam kandungan. Sejak lahir pun, anak sudah menerima beban tersebut. Ketika menengok anak seorang pengusaha properti, penulis mendengar ada orang yang mengatakan, “Wah anaknya cakep, besok jadi kayak bapakmu ya nak, jadi pengusaha properti yang sukses,” tanpa tahu menahu soal minat dan bakat si anak.

Beban ekspektasi membuat tidak sedikit anak terpaksa menempuh pendidikan pada bidang-bidang yang tidak diminati karena mengikuti tuntutan orangtua. Kepentingan anak terbunuh oleh ekspektasi yang tidak realistis. Padahal, kepentingan anak seharusnya berpijak pada kemampuan, minat dan bakat sehingga anak dapat menjalani prosesnya dengan senang hati. Bagi anak penyandang disabilitas, beban ekspektasi membuat beberapa dari mereka terpaksa bersekolah di sekolah umum atas kemauan orangtua. Penulis tidak bermaksud mengharuskan anak disabilitas wajib menjalani pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), hanya saja orang tua perlu melihat kembali kebutuhan khusus anak sebelum menentukan sekolah yang paling tepat sehingga anak dapat berkembang dengan baik dan efektif.

Najelaa Shihab (2017) dalam bukunya yang berjudul “Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik” menyebutkan bahwa, “Memahami perkembangan anak secara menyeluruh akan membantu orangtua untuk melihat anak secara utuh dan memiliki ekspektasi yang realistis atas perkembangan dan pencapaian anak.” Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa aspek perkembangan anak yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah sosial-emosi, kognitif, fisik dan bahasa.

Terakhir, prinsip hak hidup dan keberlangsungan hidup. Hidup dalam hal ini tidak sekedar hidup, tetapi bagaimana anak bisa menjalani kehidupannya dengan nyaman, aman dan bahagia. Pada Minggu, 17 Juli 2022 lalu, seorang anak meninggal setelah mengalami depresi karena dipaksa rekan sebayanya menyetubuhi kucing sambil direkam dan disebarkan di media sosial. Perundungan (bullying) masih menjadi tantangan serius dalam isu anak di Indonesia. Ketika misalnya penulis memasukan kata kunci “bullying anak” pada laman pencarian, muncul ratusan atau bahkan lebih informasi tentang kasus bullying terhadap anak. Perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan psikis yang berdampak besar pada keberlangsungan hidup anak.

Upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak memerlukan banyak dukungan dari berbagai pihak baik itu keluarga, teman sebaya, lingkungan sekitar, sekolah, hingga negara. Semua anak terlahir sebagai pembelajar yang ingin mengetahui dan mencoba banyak hal. Dimanapun anak berada, orang dewasa di sekitarnya punya peran penting untuk menciptakan ruang aman yang mendorong pemenuhan hak anak dan melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Sekali lagi, berpijak pada kebutuhan anak.

Referensi: Najelaa, Shihab. 2017. Keluarga Kita: Mencintai dengan Lebih Baik. Banten: Penerbit Buah Hati

_____

Tentang Penulis: Irmaningsih Pudyastuti biasa dipanggil Irma. Saat ini menjadi bagian dari SAPDA sebagai staff GEDSI (Gender Equality, Disability and Social Inclusion). Memiliki ketertarikan isu seputar perempuan, anak, keluarga, dan inklusi sosial.

Editor: Mario Baskoro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *