Wujudkan Emansipasi Perempuan Lewat Pendidikan yang Setara: Belajar dari Kartini & Helen Keller

Gambar disabilitas dengan pensil dan guratan warna.
Foto Penulis

Oleh: Rahardyan Harveyoga

Pada 21 April setiap tahunnya, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini untuk mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam membela emansipasi perempuan di Indonesia. Emansipasi bisa disebut sebagai pemberian hak kepada seseorang atau kelompok yang sebelumnya dirampas dan diabaikan dari mereka. Emansipasi memungkinkan perempuan mengembangkan peran yang setara dengan laki-laki dalam memajukan pembangunan masyarakat dan negara.

Salah satu refleksi penting dari emansipasi yang diperjuangan oleh Kartini adalah kesetaraan pendidikan pada perempuan. Saat ia memulai perjuangannya, pendidikan bukan sesuatu yang terjangkau oleh perempuan pribumi. Perjuangan Kartini dimulai saat ia harus berhenti sekolah saat usia 12 tahun karena tradisi “pingit” yang mengharuskannya melalui masa hidupnya hanya di rumah. Ia memutuskan mempelajari sendiri kemajuan berpikir perempuan-perempuan Eropa.

Perjuangan Kartini turut mengingatkan penulis ihwal Helen Keller, salah satu tokoh perempuan penyandang disabilitas yang menginspirasi gerakan perjuangan hak-hak penyandang disabilitas di seluruh dunia. Sama halnya dengan Kartini, Keller juga memperjuangan akses pendidikan yang setara. Jika Kartini harus melawan patriarki dan budaya feodalisme, Keller harus melawan sistem sosial dan masyarakat yang tidak ramah bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Sejak usia 7 tahun, Keller yang memiliki hambatan pendengaran dan penglihatan harus belajar dengan guru privat. Butuh waktu yang tidak singkat bagi guru privat tersebut untuk menemukan cara mengajar yang tepat untuk Helen Keller. Bukan hanya karena kondiri kedisabilitasannya, situasi penuh keterbatasan juga membuat Keller sempat mengalami depresi.

Keller juga sempat sulit dalam mempelajari cara berkomunikasi seperti orang lain di sekitarnya. Pada akhirnya, ia mampu mempelajari bahasa Inggris, Perancis dan Latin. Ketika kuliah, guru privatnya selalu mendampinginya dalam menulis dan memahami semua materi. Sepulang kuliah, Keller menggunakan waktu untuk menuangkan pemikirannya ke dalam tulisan menggunakan alat bantu mesin ketik Braille. Usai lulus cum laude dari perguruan tinggi, Keller berkeliling dunia dan memberikan akses pendidikan kepada penyandang disabilitas.

Cerita Kartini dan Keller mengingatkan kita tentang pentingnya akses pendidikan yang adil tanpa melihat latar belakang. Setiap orang, termasuk kelompok terpinggirkan seperti penyandang disabilitas dan perempuan membutuhkan pendidikan untuk bisa mengambil peran di dalam masyarakat. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 mengatakan wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan. Begitu juga dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 yang menegaskan penyandang disabilitas memiliki hak yang setara dengan warga negara lainnya, termasuk pendidikan.

Menurut PP Nomor 13 Tahun 2020, pendidikan yang setara bagi penyandang disabilitas harus dilakukan dengan pemberian akomodasi yang layak bagi para murid. Akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan. Dalam Pasal 2, disebutkan penyediaan akomodasi yang layak di bidang pendidikan bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan terfasilitasinya pendidikan untuk peserta didik penyandang disabilitas oleh pemerintah pusat dan daerah. Akomodasi yang layak diberikan dengan menyediakan sarana prasarana dan sistem pembelajaran.

Hak-hak ini perlu dipenuhi sebagai tindak lanjut setelah pemerintah Indonesia meratifikasi beberapa kebijakan internasional seperti berupa Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Kebijakan ini menjadi tonggak utama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan penyandang disabilitas.

Lahirnya konvensi internasional hingga diadopsi oleh Indonesia dalam rangka memberdayakan perempuan, termasuk perempuan penyandang disabilitas, merupakan implementasi dari cita-cita Kartini dan Keller. Cerita Kartini dan Hellen Keller bisa menjadi inspirasi bagi perempuan dan penyandang disabilitas di Indonesia dan di dunia untuk terus berkarya dan memperoleh kesetaraan hak, terutama dalam pendidikan. Dari keduanya, kita bisa belajar tentang contoh nyata perjuangan perempuan dalam mengatasi semua hambatan dan keterbatasan untuk mencapai keinginan dan cita-citanya.

Pentingnya Dukungan

Dari Kartini dan Keller, kita juga bisa belajar bahwa dukungan dari keluarga dan lingkungan sosial memungkinkan perempuan dan penyandang disabilitas berkembang serta berpartisipasi secara bermakna dalam pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Pencapaian Keller dalam menempuh pendidikan tinggi dan menyebarkan pengetahuan kepada banyak orang tidak terlepas dari peran orang tua yang selalu memberikan segala dukungan terkait kebutuhan khususnya. Begitu juga dengan Kartini yang bisa mendirikan lembaga pendidikan perempuan karena dukungan yang tak pernah berhenti dari pasangan dan teman-temannya.

Sayangnya, tidak semua perempuan maupun perempuan penyandang disabilitas mendapatkan dukungan sebagaimana yang diperoleh Kartini maupun Keller. Sebagian besar dari mereka harus hidup dan berjuang mendapatkan pemenuhan hak-haknya tanpa dukungan dari keluarga dan lingkungan sosial.

Penelitian Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) turut merekam bagaimana anak-anak penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo terhambat pemenuhan hak-haknya karena dukungan yang minim dari orang-orang sekitar, mulai dari asupan gizi yang belum sesuai dengan kebutuhan khusus anak, pendidikan yang belum inklusif dan sesuai dengan hambatan anak disabilitas, layanan kesehatan yang tidak aksesibel dan terjangkau hingga lingkungan masyarakat yang sulit menerima anak disabilitas.

Perempuan dan perempuan penyandang disabilitas hampir dalam seluruh siklus kehidupannya rentan mengalami berbagai bentuk ketidakadilan berbasis gender-disabilitas mulai dari stigma, stereotipe, subordinasi, marginalisasi, beban ganda hingga kekerasan. Pencatatan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas tahun 2022 bahkan turut menemukan keluarga dan lingkungan sosial terdekat justru paling besar menyumbang kekerasan, alih-alih menjadi sumber dukungan.

Peringatan Hari Kartini bukan hanya momentum untuk perempuan, tetapi juga perempuan penyandang disabilitas, termasuk keluarga yang mengasuh anak penyandang disabilitas. Mari kita merefleksikan kembali pentingnya dukungan keluarga dan lingkungan sosial bagi perempuan dan penyandang disabilitas, demi pemenuhan hak Kartini dan Keller lainnya di Indonesia dan seluruh dunia.

Perempuan dan perempuan penyandang disabilitas berhak atas pendidikan. Dengan pendidikan, mereka mendapatkan akses atas informasi dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menjadi individu yang berdaya, memaknai kehidupan dan memberikan dampak pada masyarakat.

__________

Profil penulis: Rahardyan Harveyoga adalah mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta yang melakukan kerja magang di SAPDA.

Editor: Mario Baskoro.