[DOWNLOAD] Riset Situasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta

Ilustrasi Anak Disabilitas

Hak anak penyandang disabilitas perlu dipenuhi dan dilindungi demi keberlangsungan tumbuh kembang sekaligus memastikan mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan kehidupan sosial secara bermakna. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, termasuk anak penyandang disabilitas, setidaknya perlu memenuhi empat prinsip yang harus ditegakkan yaitu non diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan keberlangsungan hidup, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Salah satu hal mendasar dari upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak penyandang disabilitas adalah menjadikan anak penyandang disabilitas itu sendiri sebagai subjek utama. Suara, pendapat dan pandangan tentang keinginan anak penyandang disabilitas seharusnya menjadi pusat perhatian dalam berbagai upaya yang ditempuh dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak disabilitas.

Pada tahun 2022, SAPDA melakukan riset kepada anak penyandang disabilitas dan keluarga dengan anak penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Riset ini merupakan dokumentasi ilmiah atas suara-suara orang tua dan anak-anak penyandang disabilitas terkait situasi yang mereka hadapi, yang SAPDA himpun melalui rangkaian loka karya dan diskusi.

Secara umum, riset ini menemukan bahwa anak penyandang disabilitas menghadapi situasi kerentanan yang beragam pada setiap lingkungan sosial dimana mereka hidup dan melakukan interaksi, baik di rumah, sekolah/asrama maupun panti.

Bentuk situasi kerentanan di rumah:

  • Tidak ada orang tua yang benar-benar siap mempunyai anak disabilitas secara psikis dan ekonomi.
  • Tidak ada proses pendampingan bagi orang tua yang mempunyai anak penyandang disabilitas, sehingga mereka mengenal ragam disabilitas  dan kebutuhan anak hanya dari pengamatan dan otodidak.
  • Tidak mempunyai cukup sumber daya dan pengetahuan untuk mengakses layanan kesehatan yang khusus bagi anak penyandang disabilitas.
  • Tidak ada/minimnya dukungan, bahkan penolakan, dari keluarga dan lingkungan sosial terhadap keluarga dan orang tua yang mempunyai anak penyandang disabilitas.
  • Budaya dan situasi psikologis keluarga menjadikan beban pengasuhan anak disabilitas ditumpukan pada salah satu orang tua yang biasanya adalah perempuan.
  • Tidak ada/minimnya referensi pengasuhan anak penyandang disabilitas yang benar dan sehat.
  • Keterbatasan pengetahuan dan contoh untuk melakukan pendampingan kesehatan reproduksi dan seksual pada anak disabilitas penyandang disabilitas.
  • Sulitnya memperoleh informasi yang tepat seputar anak penyandang disabilitas dengan sumber terpercaya.

Bentuk situasi kerentanan di sekolah/asrama:

  • Terbatasnya ketersediaan sekolah inklusif, sekolah luar biasa, pengajar yang mempunyai kemampuan berinteraksi dengan anak penyandang disabilitas, hingga guru pendamping khusus.
  • Minimnya sumber daya di sekolah. Situasi ini menjadikan anak sering kali mengalami penolakan atau tidak mendapatkan layanan pendidikan yang optimal.
  • Beberapa sekolah sudah menerapkan sistem asrama dan pendidikan berbasis aktivitas harian mandiri. Ini bisa menjadi solusi, namun jumlah dan daya tampungnya sering kali sangat terbatas.
  • Stigma terhadap anak penyandang disabilitas masih terjadi, disertai dengan perundungan oleh guru dan teman sebaya.
  • Anak penyandang disabilitas masih mengalami berbagai bentuk kekerasan.
  • Adanya kedaruratan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi semua anak penyandang disabilitas yang beragam dengan melibatkan guru dan orang tua.

Bentuk situasi kerentanan di panti:

  • Di tengah keterbatasan sumber daya, panti harus bertanggungjawab penuh pada anak penyandang disabilitas yang diasuh seumur hidup karena tidak lagi mempunyai keluarga yang bertanggungjawab dan membayar.
  • Selain pengurus, panti juga menjadi penanggungjawab identitas anak secara legal dalam dokumen administrasi hukum.
  • Kelengkapan dokumen administrasi tidak menjamin anak penyandang disabilitas mendapatkan akses layanan publik dasar (misalnya pendidikan), karena masih terbatas pada layanan kesehatan.
  • Petugas masih mempunyai hambatan untuk melakukan komunikasi efektif dan kontrol emosi saat melakukan pendampingan anak penyandang disabilitas yang beragam, khususnya pada anak penyandang disabilitas intelektual dan mental
  • Petugas belum mempunyai pemahaman dan kemampuan yang mencukupi untuk mendampingi anak penyandang disabilitas dalam masa pubertas.

Lebih lanjut, riset ini juga mengidentifikasi ketidaksesuaian data anak penyandang disabilitas antar instansi dalam satu kabupaten. Bahkan terdapat instansi dengan tupoksi perlindungan dan pemenuhan hak anak di daerah yang belum mempunyai data anak disabilitas.

Di samping itu, riset ini juga mengidentifikasi bahwa baik pemerintah daerah Kota Yogyakarta maupun Kabupaten Kulon Progo telah memiliki kebijakan dan programnya masing-masing terkait upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak penyandang disabilitas, kendati sebagian besar di antaranya masih berfokus pada anak-anak atau kelompok rentan secara umum.

Temuan selengkapnya dapat dibaca dalam dokumen berikut: