Pentingnya Media Aksesibel bagi Disabilitas di Tengah Pandemi

Workshop media aksesibel

Para penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok rentan selama di tengah Covid-19. Namun mereka seringkali gagap menyikapi situasi bencana ini karena tidak mampu menjangkau informasi tentang cara mencegah dan menangani virus corona. Karena itu, keberadaan media yang aksesibel menjadi sangat penting untuk membantu mereka.

Hal inilah yang menjadi inti dari kegiatan lokakarya media aksesibel yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada 21 dan 22 Desember lalu, sebagai bagian dari persiapan pelaksanaan program Active Citizenz Building Solidarity and Resilience in Response to Covid-19 (ACTION).

Direktur SAPDA Nurul Sa’adah, saat membuka kegiatan tersebut, mengatakan bahwa kendati pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir satu tahun, isu tentang kebutuhan media informasi yang ramah bagi disabilitas masih tetap relevan. Ini dikarenakan angka kasus infeksi terus naik dan munculnya mutasi.

“Teman-teman difabel sendiri biasa tidak terlihat, tidak terdengar, dan tidak terjangkau. Sementara mereka cukup rentan untuk terpapar, dan kemungkinan juga mempunyai resiko besar untuk memaparkan ke orang-orang lain di sekelilingnya. Tanpa informasi yang benar, yang cukup, teman-teman ini tidak paham harus berbuat apa dan bagaimana,” tambah Nurul. 

Senada dengan Nurul, Adhi Kusuma Bharata, aktivis tuli sekaligus peneliti dari Laboratorium Riset Bahasa Isyarat, mengatakan bahwa media informasi yang aksesibel sangat diperlukan karena para penyandang disabilitas, khususnya para pemilik hambatan pendengaran, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap media.

“Kenapa bisa begitu? Karena 90% lebih teman-teman tuli itu terlahir dari orang tua atau keluarga yang dengar. Otomatis mereka untuk berkomunikasi sering terjadi kesalahpahaman. Kemudian untuk berinteraksi juga masih kesulitan,” kata Adhi, dengan perantara Juru Bahasa Isyarat (JBI), Esti.

Masalah kian diperumit dengan keengganan masyarakat untuk berbagi informasi kepada anggota keluarganyanya yang tuli. Kondisi ini menyebabkan teman-teman penyandang disabilitas seperti Adhi tidak memperoleh hak komunikasi penuh bahkan di keluarga, sebagai level terkecil di masyarakat.

“Kalau kita misalnya nanya ke orang tua, ‘ada informasi penting apa sih yang ada hari ini?’ Selalu saja yang dijelaskan itu singkat, hanya yang simpel-simpel saja. Atau alasannya ‘nanti aja deh jelasinnya’. Jadi kita tidak pernah mendapatkan informasi secara detail,” tuturnya.

Padahal, pemenuhan media informasi yang aksesibel bagi teman-teman disabilitas telah dijamin oleh negara. Pasal 24 huruf C dari UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pun mengatur bahwa mereka memiliki hak untuk “mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses.”

Selain itu, Konvensi Internasional tentang Hak-hal Penyandang Disabilitas yang ditandangani pemerintah Indonesia mengatur bahwa negara wajib menyediakan media yang aksesibel, agar teman teman-teman disabilitas “mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secaea penuh dalam semua aspek kehidupan”. Ini tertuang dalam pasal 9 dari konvensi tersebut.

Lantas, mengapa pengadaan media yang aksesibel bagi penyandang disabilitas tidak merata di Indonesia. Menurut Adhi, kondisi ini disebabkan karena hukum-hukum tersebut tidak mengatur sanksi yang berat bagi pihak yang melanggarnya. Ini tentunya berbeda dengan aturan di negara lain, sebut saja American Disability Act (ADA) di Amerika.

“Itu (ADA) luar biasa aturannya sangat powerfull. Kalau ada pihak yang melanggar aturan tersebut, sanksi tegasnya adalah berupa hukuman pidana. Tetapi untuk di Indonesia, memang masih menggunakan pendekatan kemanusiaan. Ada toleransi,” papar Adhi.

Lokakarya media aksesibel sendiri bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga mitra yang tergabung dalam konsorsium program ACTION terkait isu disabilitas, sebagaimana yang diampaikan langsung oleh Sholih Muhdlor dari divisi Gender, Equality, Disability, & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA.

Harapannya, para mitra antara lain HIVOS, Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI), Institut Kapal Perempuan, Pamflet, dan Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) mampu memproduksi media informasi terkait Covid-19 yang ramah bagi para penyandang disabilitas selama pelaksanaan program.

“Bagaimana kita bisa menghadirkan media-media yang aksesibel bagi teman-teman dengan kesulitan komunikasi, terutama untuk mereka yang mempunyai hambatan penglihatan, pendengaran, dan intelektual. Sehingga informasi-informasi terkait dengan pencegahan Covid-19 itu dapat sampai dan dipahami secara penuh oleh mereka,” kata Sholih. 

Dalam lokakarya yang dibimbing oleh Tommy Kristiawan Permadi ini, perwakilan dari setiap lembaga mitra memperoleh materi tentang apa media yang aksesibel, prinsip-prinsipnya, serta apa saja hal yang diperlukan untuk membuatnya. Mereka juga lebih lanjut diajak mengimajinasikan dan merancang konsep media aksesibelnya sendiri.