Mengapa Assessment Penting dalam Produksi Media Aksesibel?

Covid News (Sumber: Freepik/Vectorjuice

Media yang aksesibel dibutuhkan kelompok penyandang disabilitas untuk bisa memenuhi hak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Namun seringkali sebuah media tidak mampu mengakomodir seluruh keberagaman kebutuhan khusus. Untuk itu, penilaian atau assessment sangat penting untuk menciptakan media aksesibel yang baik.

Hal itu menjadi inti dari paparan Jaka Ahmad, aktivis disabilitas netra dan konten kreator, saat menjadi pembicara dalam lokakarya media aksesibel yang diselenggarakan Sentra Advokasi, Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada 21 dan 22 Desember lalu, sebagai persiapan pelaksanaan program Active Citizenz Building Solidarity and Resilience in Response to Covid-19 (ACTION).

“Kita lakukan assesment supaya kita tahu satu media ini sebenarnya bisa menjangkau berapa banyak orang. Kalau misalnya semua aksesiblitas ditumpuk dalam satu media, ini maka akan mengurangi kenyamanan orang, dan juga mungkin menghilangkan pesannya karena nanti terdistraksi dengan fitur-fitur yang ada,” kata Jaka.

Ia pun memberikan contoh kasus pembuatan video yang aksesibel bagi penyandang disabilitas tunarungu dengan subtitle. Jika subtitle terlalu banyak, maka itu akan menganggu aspek visualnya. “Ketika gambarnya terganggu, mungkin teman-teman yang disabilitas intelektual, yang kesulitan belajar, justru ini akan dirugikan,” kata Jaka.

“Kita semua punya kebutuhan yang sangat beragam, jadi sangat penting buat kita untuk melakukan assement dari awal. Ini salah hal yang penting untuk teman-teman lakukan, karena seringkali assessment awal ini tidak dilakukan, sehingga kita hanya berpikir dari sisi inklusinya saja. Kita juga harus berpikir realistis,” sambungnya.

Dari penilaian tersebut, kata Jaka, akan diketahui berapa banyak audiens yang bisa dijangkau oleh sebuah media aksesibel. “Ketika satu media bisa mengcover banyak kelompok, maka media itu yang kami utamakan. Lalu untuk kelompok yang tertinggal, maka kita akan gunakan media yang lain,” kata Jaka.

Jaka pun tidak lupa pula mengingatkan para peserta untuk fokus kepada isi pesan ketika mengoperasikan media yang aksesibel itu sendiri. Terlebih dalam konteks pandemi virus corona atau Covid-19, perlu dipastikan agar kelompok penyandang disabilitas menerima bagian-bagian informasi yang penting terkait pencegahan dan penanganan.

“Katakanlah misalnya ada video yang dipakai untuk nengirimkan pesan tentang penggunaan masker, jaga jarak, dan sebagainya. Nah ini bisa dikategorikan sebagai pesan secara umum. Tetapi pesan khususnya, misalnya 3M, itu bisa dalam ikon-ikon yang besar yang tetap bisa terlihat di dalam layar. Tetapi tidak perlu menterjemahkan semuanya,” papar Jaka.

Lokakarya media aksesibel sendiri bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga mitra yang tergabung dalam konsorsium program ACTION terkait isu disabilitas, sebagaimana yang diampaikan langsung oleh Sholih Muhdlor dari divisi Gender, Equality, Disability, & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA.

Harapannya, para mitra antara lain HIVOS, Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI), Institut Kapal Perempuan, Pamflet, dan Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) mampu memproduksi media informasi terkait Covid-19 yang ramah bagi para penyandang disabilitas selama pelaksanaan program.

“Bagaimana kita bisa menghadirkan media-media yang aksesibel bagi teman-teman dengan kesulitan komunikasi, terutama untuk mereka yang mempunyai hambatan penglihatan, pendengaran, dan intelektual. Sehingga informasi-informasi terkait dengan pencegahan Covid-19 itu dapat sampai dan dipahami secara penuh oleh mereka,” kata Sholih. 

Dalam lokakarya yang dibimbing oleh Tommy Kristiawan Permadi ini, perwakilan dari setiap lembaga mitra memperoleh materi tentang apa media yang aksesibel, prinsip-prinsipnya, serta apa saja hal yang diperlukan untuk membuatnya. Mereka juga lebih lanjut diajak mengimajinasikan dan merancang konsep media aksesibelnya sendiri.

Sementara itu Direktur SAPDA Nurul Sa’adah mengatakan bahwa isu tentang kebutuhan media informasi yang ramah bagi disabilitas masih tetap relevan, kendati pandemi Covid-19 telah berjalan hampir satu tahun. Ini dikarenakan angka kasus infeksi terus naik dan munculnya mutasi.

“Teman-teman difabel sendiri biasa tidak terlihat, tidak terdengar, dan tidak terjangkau. Sementara mereka cukup rentan untuk terpapar, dan kemungkinan juga mempunyai resiko besar untuk memaparkan ke orang-orang lain di sekelilingnya. Tanpa informasi yang benar, yang cukup, teman-teman ini tidak paham harus berbuat apa dan bagaimana,” kata Nurul.