Disabilitas psikososial merupakan salah satu bentuk dari ragam disabilitas mental. Seseorang yang menyandangnya mengalami gangguan dalam proses berpikir, berperasaan, berperilaku, dan berinteraksi di lingkungan sosial sehingga aktivitas, peran dan partisipasinya dalam komunitas masyarakat menjadi terganggu.
Bukan hanya orang dewasa, penyandang disabilitas psikososial juga jamak didapati yang berusia anak. Mereka merupakan kelompok yang seringkali tidak mendapatkan hak pemenuhan kebutuhan khususnya, baik pengasuhan, pendidikan, dan kesehatan. Tak jarang pula anak dengan disabilitas psikososial menjadi objek kekerasan dan diskriminasi.
Ditambah lagi, anak penyandang disabilitas psikososial seringkali pula dipandang secara stigmatis dan dibeda-bedakan dengan anak pada umumnya. Kondisi di atas disebabkan oleh satu hal: pemahaman masyarakat umum mengenai anak dengan disabilitas psikososial yang masih minim.
Untuk itulah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Asosiasi Alumni Beasiswa Amerika Indonesia, dan Ragam Institute menginisiasi penerbitan buku Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial. Harapannya, buku ini bisa menjadi panduan dasar bagi keluarga dan orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas psikososial.
Secara garis besar, buku yang disusun pada tahun 2018 dan diterbitkan pada tahun 2019 ini terdiri dari 11 bagian. Pada bagian pertama hingga ketiga, pembaca akan diajak untuk mengenal anak penyandang disabilitas psikososial, mulai dari definisi hingga gejala.
Tak hanya gejala umum, buku ini juga merinci gejala khusus yang mungkin dialami anak sesuai dengan ragam disabilitas psikososialnya. Ragam yang dimaksud antara lain: gangguan cemas, gangguan depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, hingga gangguan kepribadian.
Pada bagian keempat dan kelima, pembaca selanjutnya diajak memahami bagaimana cara mendeteksi anak dengan disabilitas psikososial. Di sini, ditegaskan bahwa orang tua dianjurkan berkunjung ke puskesmas, klinik dokter, dan rumah sakit untuk bertemu dengan psikolog, psikiater, guna mendapatkan diagnosa dan pengobatan yang tepat.
Ada pun di bagian keenam dan ketujuh pembaca disuguhkan tips mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap anak dengan disabilitas psikososial agar dia dapat pulih secara optimal. Bagian ini juga merinci berbagai pendekatan pemulihan yang bisa diterapkan keluarga untuk memulihkan anak penyandang disabilitas psikososial.
Pendekatan yang dimaksud antara lain: psikoterapi (mengandalkan konseling dengan psikolog), obat (mengandalkan antidepresan, anti-kecemasan, dan penstabil mood), gabungan antara keduanya, atau pendekatan menyeluruh yang mengkombinasikan konseling, obat-obatan, dukungan sebaya, serta intervensi keluarga dan sekolah.
Melengkapi bagian di atas, bagian ke delapan menjelaskan prinsip-prinsip yang sejatinya dipegang orang tua ketika memperlakukan anak dengan disabilitas psikososial. Antara lain berikan kasih sayang dan dukungan, berikan perlakuan setara, ajak bicara dan libatkan dalam pengambilan keputusan keluarga, serta berikan apresiasi dalam kegiatan positif.
Selain itu anggota keluarga juga sepatutnya memberikan motivasi, menceritakan kondisi anak kepada sekolah, sediakan sarana dan prasarana yang layak sesuai kebutuhan, mengajak anak berinteraksi dengan lingkungan luar, dan terakhir jangan menganggap anak sakit.
Pada bagian ke sembilan, dijelaskan siapa saja anak yang berpotensi menjadi penyandang disabilitas psikososial, seperti korban bullying dan kekerasan, anak yang memiliki disabilitas lain, anak dari ibu yang depresi selama mengandung, anak yang mengonsumsi zat berbahaya dan adiktif, serta anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak berperan baik.
Kemudian pada bagian ke sepuluh, buku ini merinci apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat anak dengan disabilitas psikososial mengalami kambuh. Dan bagian terakhir, berisi tentang cerita-cerita pengalaman orang tua dalam mengasuh anak penyandang disabilitas psikososial.
SAPDA sendiri berkesempatan mendengarkan cerita dari Yossa Nainggolan, perwakilan dari Ragam Institute yang sekaligus menjadi koordinator dari proses pembuatan buku ini. Menurut Yossa, kesebelas bagian di atas dibuat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan keluarga dengan anak penyandang disabilitas psikososial.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud dihimpun melalui diskusi terbatas dan observasi terhadap keluarga dengan anak penyandang disabilitas psikososial di Jakarta, Bandung, Sukoharjo, dan Yogyakarta. “Sebelas subjudul yang dicantumkan di dalam buku ini adalah hal-hal yang selama ini menjadi persoalan di lapangan,” tuturnya.
Dalam mengumpulkan data lapangan ini, Yossa mengaku sempat mengalami kesulitan karena data yang diperoleh tidak selalu memadai. “Data pengalaman orang tua dengan (anak) disabilitas psikososial sangat sedikit. Dari organisasi saja saat perspektif dan pemahaman mengenai disabilitas psikososial saja itu masih minim,” ceritanya.
Pendekatan lapangan tersebut kemudian dipadukan dengan pendekatan kajian literatur. Di dalam pendekatan literatur, Yossa dan tim penyusun mendalami buku The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Dari sana dihasilkan panduan sebanyak 150 halaman yang kemudian dipadatkan kembali menjadi 23 halaman.
“Jadi Buku ini sebetulnya, buku yang sederhana sehingga akan mudah dipahami. Tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan. Yang diharapkan adalah buku ini akan dipegang oleh orang tua yang dia misalnya tidak terlalu lancar membaca, atau oleh orang-orang yang sebetulnya punya keterbatasan pengetahuan,” jelas Yossa.
Yossa sendiri berharap di masa yang akan datang terdapat buku panduan sederhana yang mengakomodir berbagai varian disabilitas psikososial. “Harus ditindaklanjuti sebetulnya kalau kita mau mendapatkan atau membuat yang buku yang lebih komprehensif,” tutupnya.
Pembaca dapat membaca dan mengunduh buku panduan Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial di sini.