Penilaian personal menjadi kunci dalam membangun sistem rujukan yang inklusif bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Penilaian personal dapat membantu memastikan akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhan ragam disabilitas tetap terpenuhi dalam kerjasama penanganan kasus antar lembaga.
Demikian salah satu simpulan besar dari lokakarya Finalisasi Sistem Rujukan Ideal bagi Perempuan dan Anak Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum Perkara Pidana dan Perdata yang diselenggarakan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) bersama lembaga penyedia layanan dan aparat penegak hukum pada Kamis (24/3).
“Penilaian personal membantu dalam menentukan hambatan yang dihadapi dan pendekatan yang dibutuhkan penyandang disabilitas selama menjalani proses peradilan. Penilaian personal menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses peradilan yang melibatkan penyandang disabilitas, baik dalam statusnya sebagai pelaku, saksi, maupun korban,” kata Andrie Irawan, advokat sekaligus pembicara utama dari lokakakarya.
Menurut Andrie, penilaian personal sebaiknya dilakukan sejak tahap awal proses peradilan, seperti penyelidikan atau penyidikan di tingkat Kepolisian. “(Tepatnya) saat Berita Acara Pemeriksaan awal. Atau misalnya belum dianggap BAP, ya saat berita keterangan awal. Sehingga bisa diketahui bahwa perempuan dan anak adalah penyandang disabilitas dan butuh pendamping disabilitas atau akomodasi lainnya,” katanya.
Sedangkan di pengadilan, Andrie mengatakan bahwa penilaian personal perlu disediakan di tingkat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). “Yakni melalui loket khusus bagi kelompok rentan, termasuk bagi perempuan dan anak disabilitas, demi memastikan layanan yang menyeluruh kepada disabilitas pencari keadilan tanpa berpindah loket,” ujarnya.
Karena pelaksanaan penilaian personal berlangsung di PTSP, menurut Andrie, maka PTSP menjadi pihak pertama yang menentukan apakah anak dan perempuan disabilitas yang berhadapan dengan hukum membutuhkan layanan lanjutan atau bahkan rujukan. Ini berlaku baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.
“Kalau sudah mengetahui hasil penilaian personal, pengadilan bisa melihat kebutuhannya apa. Misalnya dia dinyatakan (menyandang disabilitas) mental atau intelektual. Ini kan ada kategorinya. Nah, yang menentukan kategorinya siapa? Kan enggak mungkin kuasa hukumnya. Harus ada ahli yang dimintain tolong, misalnya dari psikolog atau psikiater,” lanjut Andrie.
Menambahkan Andrie, Program Manager SAPDA Ayatulloh (Miko) menegaskan bahwa unit penyedia layanan milik pemerintah juga perlu mendorong penyediaan penilaian personal sejak saat penanganan kasus. Harapannya Informasi hasil penilaian personal tersebut terekam ketika penanganan kasus meluas ke wilayah aparat penegak hukum.
“Kalau di lembaga penyedia layanan sudah ada (penilaian personal), ketika lari ke Kepolisian dan Kejaksaan, mereka bisa menyikapi (kebutuhan penyandang disabilitas). Baru kemudian ke pengadilan pun juga sudah siap. Jadi seharusnya begini sistematikanya berjalan,” jelas Miko.
Prinsip Sistem Rujukan Inklusif
Di lokakarya yang sama, Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani membagikan beberapa prinsip yang perlu dipenuhi dalam penyelenggaraan sistem rujukan yang inklusif dalam penanganan perkara pidana dan perdata yang melibatkan perempuan dan anak disabilitas.
Prinsip yang utama yakni pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas lewat kerjasama antar lembaga. “Seperti kebutuhan terkait psikolog, psikiater, pendampingan disabilitas dan juru bahasa isyarat. Semuanya tidak perlu dipenuhi berbarengan, tetapi mungkin perlu diinventarisasi,” kata Nurul.
Di samping akomodasi yang layak, Nurul juga menyinggung pentingnya ketersediaan infrastruktur aksesibel yang dapat membantu penyandang disabilitas mengakses layanan dengan nyaman. Kemudian juga peningkatan kapasitas bagi petugas terkait kebutuhan ragam disabilitas dan etika berinteraksi dengan ragam disabilitas.
Terakhir yakni berkaitan dengan pembiayaan. “Yang sudah ada mungkin pembiayaan visum. Tapi yang masih harus didiskusikan adalah pembiyaan untuk pemeriksaan psikologis, bukan hanya terkait dengan pidana kekerasan tetapi juga keperdataan seperti pengampunan dan hak asuh anak. Kemudian juga pembiayaan tes DNA,” jelas Nurul.
Nurul tidak menampik bahwa lembaga penyedia layanan dan aparat penegak hukum belum tentu bisa menyediakan semua layanan tersebut. Karena itu rujukan kasus sangat penting untuk memastikan semua kebutuhan penyandang disabilitas terpenuhi selama mengakses layanan dan menjalani proses peradilan.
“Kalau misal lembaga layanan mampu menangani semua tadi, kita lanjut. Kalau tidak mampu, lanjut dengan rujukan. Rujukan bisa berkaitan dengan layanan rehabilitasi kesehatan; layanan krisis dan krisis termasuk medikolegal; visum dan pemeriksaan psikologis. Kemudian juga layanan rehabilitasi sosial, konseling, bimbingan mental dan spiritual,” kata Nurul.
Lokakarya ini merupakan salah satu rangkaian advokasi SAPDA untuk mendorong sistem rujukan ideal yang inklusif berbasis akomodasi yang layak. Lokakarya bertujuan untuk mengumpulkan masukan terkait konsep sistem rujukan bagi perempuan dan anak disabilitas yang berhadapan dengan hukum perkara pidana dan perdata; serta memastikan peran penting 3 profesi (psikolog, psikiater dan petugas kesehatan) dalam menghadirkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.
Berbagai lembaga penyedia layanan milik pemerintah maupun masyarakat, aparat penegak hukum, organisasi profesi hingga komunitas disabilitas berpartisipasi di dalam lokakarya ini. Lokakarya juga terselenggara dengan dukungan pendanaan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).