SAPDA dan Magister Hukum Kesehatan UGM Sepakati Rencana Kerjasama Pemajuan Isu Disabilitas

Program Manager SAPDA Ayatulloh menerima plakat dari perwakilan Fakultas Hukum UGM.

Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dan Magister Hukum Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyepakati rencana kerjasama pemajuan isu disabilitas dalam kegiatan Partnership Day yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM pada 28/10.

“Kami pada intinya terbuka untuk bekerjasama dalam program-program apapun dengan Fakultas Hukum UGM. Slot apa saja yang bisa kami isi, SAPDA akan coba kontribusikan di sana. Apalagi sebelumnya SAPDA dan Fakultas Hukum UGM sudah bekerjasama dengan baik dalam menjalankan beberapa riset,” kata Program Manager SAPDA Ayatulloh.

Beberapa rencana kerja telah disepakati, mencakup mulai dari bidang pendidikan, riset hingga pengabdian masyarakat. Dalam bidang pendidikan sendiri, Fakultas Hukum UGM berharap dapat mengadopsi produk pengetahuan dan hasil penelitian SAPDA menjadi bahan ajar bagi mahasiswa/i dalam mempelajari hak-hak penyandang disabilitas.

“Semoga SAPDA mempunyai riset yang di-in line-kandengan kurikulum kami. Isu disabilitas dan kesehatan mental adalah topik yang paling banyak diminati oleh beberapa angkatan terakhir,” kata Rimawati dari Departemen Hukum Kesehatan UGM yang mewakili Fakultas Hukum UGM dalam bermitra dengan SAPDA.

Sebelumnya, kerjasama dalam bidang pendidikan antara Yayasan SAPDA dengan Magister Hukum Kesehatan UGM sudah berlangsung lewat peran Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani yang berkontribusi langsung sebagai dosen pengampu dalam beberapa mata kuliah yang membahas isu disabilitas.

Di sisi lain, Ayatulloh berharap Fakultas Hukum UGM juga dapat berkontribusi memberikan pendidikan seputar sistem hukum dan peradilan di Indonesia kepada teman-teman penyandang disabilitas. Menurutnya ini penting sebab saat ini SAPDA sedang menggandeng organisasi penyandang disabilitas di berbagai daerah dalam melakukan asistensi pengadilan inklusif.

“Sekarang SAPDA bareng organisasi disabilitas sedang mengasistensi lebih dari 70 pengadilan di seluruh Indonesia. Tetapi ketika teman-teman disabilitas kami ajak ke pengadilan, mereka masih merasa belum paham, sehingga mereka takut. Khawatir di apa-apain,” kata Ayatulloh berkelakar.

Sementara dalam bidang riset, Rimawati mengatakan bahwa kerjasama dalam bidang tersebut sangat penting untuk meningkatkan keilmuan antara kedua belah pihak. Menurutnya, ada banyak topik yang bisa dieksplorasi untuk diwujudkan dalam riset bersama antara SAPDA dengan Magister Hukum Kesehatan UGM.

Salah satu topik yang menjadi wacana dalam pertemuan ini adalah isu kesehatan jiwa. Rimawati mengatakan saat ini publik sedang ramai membicarakan wacana pemerintah untuk menggabungkan Undang-undang Kesehatan Jiwa dengan Undang-undang lain tentang wabah dan karantina dalam Omnibus Law.

“Ini lagi heboh dan akan membuat kebingungan. Situasi kesehatan jiwa berbeda sama sekali dengan situasi kesehatan yang lain. Pendekatan dan penanganan yang dibutuhkan berbeda, makanya kesehatan jiwa tidak bisa disetarakan sebagai penyakit atau virus. Kalau ini terjadi, akan berdampak ke banyak hal termasuk kesehatan jiwa penyandang disabilitas,” katanya.

Menyutujui Rimawati, Ayatulloh mengatakan bahwa penyandang disabilitas mental saat ini kesulitan dalam menjangkau layanan kesehatan jiwa dan obat-obatan. “Ditambah lagi durasi rawat di rumah sakit jiwa sangat pendek, maksimal satu bulan, apalagi layanan-layanan yang berbasis rehabilitas masyarakat,” kata Ayatulloh.

Sedangkan dalam bidang pengabdian masyarakat, Rimawati mengajak SAPDA untuk bersama-sama melakukan edukasi publik terkait dengan beberapa isu yang bisa disesuaikan. Edukasi yang dilakukan rencananya akan menggunakan media populer seperti talkshow atau podcast.

Ayatulloh mengatakan salah satu topik yang bisa didalami yakni berkaitan dengan isu kesehatan seksual dan reproduksi serta keluarga berencana bagi penyandang disabilitas beserta konsep perlindungan hukumnya. “Sekarang kan banyak banget yang lagi mengikuti isu itu,” ujarnya.

Selain itu, SAPDA juga membuka diri bagi mahasiswa/i Magister Hukum UGM yang ingin melakukan pemagangan. Sebab dengan itu, mereka akan mendapatkan kesempatan berinteraksi langsung dengan kelompok rentan baik dari penerima manfaat ataupun jaringan mitra dan relawan SAPDA.

Terakhir, SAPDA juga berharap Magister Hukum dan Kesehatan UGM juga dapat memberikan peningkatan kapasitas terjadap tenaga konselor hukum dan konselor psikologis yang menangani kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas melalui unit layanan Rumah Cakap Bermartabat SAPDA.

Sebagai informasi, setelah pertemuan ini SAPDA dan Magister Hukum Kesehatan UGM akan melakukan pertemuan teknis yang lebih mendalam untuk merinci daftar kerjasama yang bisa diwujudkan dalam jangka waktu 3 tahun ke depan. Sebelumnya, SAPDA dan Fakultas Hukum UGM telah melakukan berbagai kerjasama dalam bentuk riset, salah satunya mengenai kapasitas penyandang disabilitas sebagai subjek hukum.