Yogyakarta, 5 Desember 2023 – Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) bekerjasama dengan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta menyelenggarakan seminar bertajuk “Anjangsana Srikandi: Urun Rembug Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual” dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2023. Seminar ini berlangsung dengan dukungan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
Seminar ini bertujuan untuk kembali menyosialisasikan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kepada organisasi penyandang disabilitas, lembaga penyedia layanan, pemerintah daerah, jaringan perempuan, aparat penegak hukum, dan civitas akademika perguruan tinggi, serta mendiskusikan perannya masing-masing dalam mengawal implementasi UU TPKS. Diskusi ini menjadi penting, mengingat setelah diterbitkan lebih dari satu tahun lalu, implementasi UU TPKS masih menyisakan berbagai catatan, termasuk penanganan kasus kekerasan seksual pada korban penyandang disabilitas.
“Berbagai catatan di dalam pemenuhan hak korban kekerasan seksual, termasuk penyandang disabilitas, menegaskan kembali kepada kita untuk bersama-sama mengambil peran dalam mengawal implementasi dari Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sesuai dengan mandat Pasal 85 UU TPKS, masyarakat harus berpartisipasi melakukan pemantauan terhadap pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual,” ungkap Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak, Nurul Saadah Andriani.
Sementara itu pembicara kunci, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati mengatakan “Fenomena kekerasan seksual adalah fenomena gunung es yang bisa terjadi dimanapun, kapanpun, dan dialami oleh siapapun. Perlu dipastikan berbagai regulasi yang membuka ruang sinergitas penanganan kekerasan, seperti UU TPKS, terus diimplementasikan. Kolaborasi, multi pihak antar kementerian lembaga, perguruan tinggi, dunia usaha, media massa, tentunya menjadi pilar dalam keberhasilannya.”
Salah satu tantangan terbesar yang masih dihadapi sampai saat ini ialah pemenuhan akomodasi yang layak. Sesuai dengan mandat Pasal 66 dan 70 UU TPKS, penyandang disabilitas korban kekerasan seksual berhak mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, termasuk penilaian personal, dalam proses peradilan. Akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan sebelumnya juga telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. Pemenuhan akomodasi yang layak akan berjalan baik jika lembaga penyedia layanan dan aparat penegak hukum menuangkan aturan ini di dalam regulasi internal dan kebijakan alokasi anggaran, yang ternyata hingga saat ini belum tersedia secara merata.
Di sisi lain, perspektif mengenai situasi kerentanan dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas masih perlu ditingkatkan. Adanya perspektif ini akan sangat membantu proses pemeriksaan penyandang disabilitas.
Mandat lainnya dari UU TPKS yang belum sepenuhnya diimplementasikan adalah pemberatan hukuman bagi pelaku. Pasal 15 UU TPKS memandatkan bahwa hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual ditambahkan satu per tiga ketika korbannya adalah penyandang disabilitas.
Situasi tak jauh berbeda juga terjadi pada pemenuhan hak restitusi (ganti kerugian materiil dan imateriil oleh pelaku) yang telah dimandatkan di dalam Pasal 30 UU TPKS. Kebanyakan pelaku dalam kondisi miskin dan tidak mampu memenuhi kewajiban restitusi, sehingga dibutuhkan mekanisme yang bisa menggantikan pembayaran restitusi terhutang. Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban, salah satu aturan turunan pelaksana dari UU TPKS yang mampu mengakomodir kebutuhan tersebut, perlu dipercepat proses penyusunannya.
Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Suharti, mengatakan, “Korban kekerasan seksual memiliki tiga kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi, yakni dukungan medis, hukum, dan psikologis. Namun yang tak kalah penting adalah dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, untuk membantu korban pulih dari kekerasan.”
Seminar ini menghadirkan narasumber lainnya yakni perwakilan Forum Pengada Layanan (FPL); unit layanan penanganan kekerasan penyandang disabilitas Rumah Cakap Bermartabat (RCB) SAPDA; Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) DIY; dan Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga (Pusdeka) Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.
UU TPKS telah didesain berpihak pada hak korban, termasuk penyandang disabilitas. Menjadi tugas bersama agar setiap mandat di dalamnya terimplementasikan dengan baik, dalam rangka mendorong akselerasi pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual berbasis pemenuhan hak-hak korban.
__________
Media kit berisi TOR kegiatan, materi narasumber dan informasi lainnya dapat diakses melalui https://s.id/Webinar5Des2023
Informasi lebih lanjut hubungi: WA 0813-2739-5399 (SAPDA Media).