Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) melakukan diskusi bersama organisasi penyandang disabilitas dan Mahkamah Agung untuk menghimpun masukan terhadap draft awal Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum (Raperma Disabilitas) yang baru saja rampung proses penyusunannya. Identifikasi awal dan Penilaian Personal bagi penyandang disabilitas kembali menjadi salah satu topik yang paling mengemuka di dalam diskusi yang dilakukan pada akhir November dan awal Desember 2023 ini.
Identifikasi awal dan penilaian personal bagi penyandang disabilitas menjadi satu dari antara banyak substansi yang dinormakan di dalam Raperma Disabilitas. Identifikasi awal sendiri merupakan upaya untuk mengetahui hambatan dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas yang berperkara di pengadilan di level pelayanan terpadu satu pintu.
“Kemudian, secara konseptual, jika identifikasi awal membutuhkan identifikasi lebih lanjut dan diketahui bahwa kondisi kedisabilitasannya berkaitan dengan pokok perkara, maka akan dilakukan penilaian personal, yakni penilaian yang dilakukan ahli,” kata Yuris, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), sekaligus salah satu penyusun Raperma Disabilitas.
Namun, upaya menormakan kedua substansi tersebut di dalam Raperma Disabilitas tak luput dari berbagai catatan dan masukan. Rio Satria, dari Mahkamah Agung, menyarankan agar norma tentang identifikasi awal dan penilaian personal dikaitkan langsung dengan kebutuhan penanganan perkara penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. “Misalnya dikaitkan dengan kecakapan dalam memberikan keterangan, atau bisa dikaitkan dengan penguatan pembuktian,” jelasnya.
Hal lainnya yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan adalah mekanisme penilaian personal ketika kondisi kedisabilitasan pihak belum teridentifikasi pada tahap identifikasi awal, dan baru diketahui di tengah proses penanganan perkara. “Dalam hal baru diketahuinya hal tersebut ketika perkara sudah masuk di tangan majelis, penilaian personal tahapan tersebut yang harus dinormakan,” tambah Rio.
Rio juga menyarankan agar penerapan identifikasi awal dan penilaian personal diprioritaskan terlebih dahulu pertanggungjawabannya kepada kejaksaan sebagai syarat formil. “Tetapi jika terlewat di tahap pendaftaran perlu diketahui di proses persidangan, maka itu kemudian bisa dibebankan kepada pengadilan dengan memberi perintah kepada panitera,” katanya.
Sementara itu, Dio Ashar dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengatakan, ketika terdapat kebutuhan penilaian personal lanjutan, hasil identifikasi awal harus mampu menginformasikan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. “Ketika proses identifikasi awal, perlu ada rinciannya dokumen apa yang perlu disertakan di dalam penilaian personal, misalnya visum et repertum, visum et repertum psikiatrikum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Joni Yulianto dari Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) mengatakan identifikasi awal dan penilaian personal perlu didesain sedemikian rupa agar mampu mengidentifikasi hambatan-hambatan penyandang disabilitas yang berkaitan langsung dengan proses peradilan. “Logikanya identifikasi awal dan penilaian personal berguna untuk mengidentifikasi hambatan yang ketika dijawab dengan aksesibilitas ataupun bisa teratasi. Beberapa hambatan yang setidaknya bisa diidentifikasi yaitu hambatan mobilitas, aksesibilitas, infrastruktur, hambatan untuk mengakses informasi, hambatan berkomunikasi dan hambatan konsentrasi,” jelas Joni,
Kemudian, Astriyani dari AIPJ juga menambahkan, agar identifikasi awal dan penilaian personal dapat berjalan efektif, perlu digali lebih jauh hambatan yang menghalangi petugas pelayanan pengadilan untuk mengimplementasikannya terhadap penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. “Apalagi soal identifikasi awal dan penilaian personal akan ada banyak perdebatan, karena ini adalah pintu masuk dalam menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas,” pungkasnya.
Pentingnya Partisipasi Disabilitas
Nena, dari Perhimpuann Jiwa Sehat lebih lanjut mengingatkan jangan sampai identifikasi awal dan penilaian personal menjadi justifikasi untuk mereduksi kapasitas atau kecakapan hukum penyandang disabilitas, terutama yang memiliki hambatan mental, sebagaimana yang sering terjadi selama ini. Ia menyarankan agar Raperma Disabilitas tidak hanya menempatkan tenaga medis sebagai satu-satunya otoritas yang bisa melakukan asesmen terhadap penyandang disabilitas, dan lebih mengedepankan partisipasi disabilitas.
“Penilaian personal itu juga perlu menempatkan penyandang disabilitasnya sendiri. Kami berharap ketika melakukan penilaian personal, sebelum meminta tenaga ahli, kita menanyakan pada teman-teman disabilitasnya langsung. Mengapa demikian? Karena yang tahu kebutuhannya adalah teman disabilitas itu sendiri. Jadi itu perlu dijadikan bahan pertimbangan,” tegasnya.
Menambahkan Nela, Syarli dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) mengatakan penentuan akomodasi yang layak sudah seharusnya merujuk pada penyandang disabilitas itu sendiri. Mengacu pada ketentuan normatif, informasi terkait kondisi kedisabilitasan individu memang harus dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten. Namun, peran tenaga medis sebenarnya hanya sampai menjelaskan tingkat hambatannya. Sementara otoritas pemenuhan aksesibilitas tetap ada di tangan penyandang disabilitas.
“Misalkan dalam kasus disabilitas Tuli. Ahli di situ ruang lingkupnya untuk menjelaskan bahwa dia ini Tuli lho. Tingkat Tulinya itu seperti apa? Dia bisa mendengar, tetapi dalam jarak berapa? Itu kan yang kompeten untuk menilai kan memang dokter. Tetapi untuk soal pola komunikasi, penerjemahan seperti apa yang dibutuhkan, apakah perlu JBI bertingkat atau tidak, itu tetap harus merujuk pada yang bersangkutan,” jelasnya.
Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum merupakan bagian dari langkah advokasi SAPDA dalam mendorong sistem peradilan yang inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas. Proses ini berlangsung dengan dukungan Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2.