Mengenal Dasar Hukum Perlindungan Perempuan & Anak Disabilitas dari Kekerasan

Gambar perempuan sedang berjongkok di sudut. Di hadapannya ada tangan laki-laki yang berpose seperti ingin melakukan kekerasan.

Mandat perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk kekerasan telah tertuang di dalam berbagai peraturan. Di level internasional, kita mengenal Convention Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW) yang telah diundangkan dengan nomor 7 tahun 1984. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang meratifikasi konvensi tersebut.

Spesifik perempuan penyandang disabilitas, Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi tenang hak-hak penyandang disabilitas (UNCRPD) melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011. Ratifikasi UNCRPD menimbulkan kewajiban para pihak yang meratifikasi untuk membuat peraturan perundang-undangan yang selaras dengan UNCRPD. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang di dalamnya menggunakan meneruskan UNCRPD dan perspektif HAM.

Selain aturan-aturan di atas, berikut adalah beberapa regulasi yang menjadi payung hukum perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas dari segala bentuk kekerasan.

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang menjamin perlindungan terhadap penyandang disabilitas. UUD 1945 menegaskan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan persamaan, baik persamaan di hadapan hukum, perlindungan hukum, dan pembebasan dari diskriminasi.

Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28I Ayat (2) lebih lanjut mengatur bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun, dan berhak mendapat perlindungan atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pasal 27 Ayat (1) mengatur bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Pasal 28D Ayat (3) juga mengatur bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bahkan jaminan bebas dari diskriminasi juga mencakup perlindungan khusus bagi kelompok tertentu yang dikategorikan sebagai kelompok rentan. Selanjutnya, Pasal 28H Ayat (2) mengatur bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Landasan asas non-diskriminasi sudah cukup kuat dijabarkan dalam pasal-pasal tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas masih sering dijumpai dalam berbagai bidang dan level. Bahkan ketika baru membuka pintu rumah, kita sudah mendapati manifestasi dari pandangan yang diskriminatif, mulai dari infrastruktur, nilai-nilai dimasyarakat, dan kebijakan yang tidak berpihak pada hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

Terdapat sekitar 37 kewajiban negara peratifikasi yang diatur dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (selanjutnya disebut Konvensi Perempuan), agar hak-hak perempuan di dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya dapat terpenuhi. Secara umum, ini dapat dilihat pada bagian I yang meliputi Pasal 2, 3, 4, dan 5.

Pasal 2, menekankan kewajiban negara dalam segi hukum yang meliputi:

  1. Mengambil tindakan legislatif yang tepat (mengubah dan mencabut ketentuan yang diskriminatif dan membentuk peraturan baru).
  2. Menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan.
  3. Melakukan tindakan secara tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau lembaga apa saja.
  4. Tidak terlibat dalam tindakan atau praktek diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap perempuan.
  5. Menjamin penguasa dan lembaga pemerintah bertindak sesuai dengan kewajiban dalam konvensi.

Pasal 3, menegaskan kewajiban negara untuk membuat peraturan yang tepat dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam rangka menjamin pelaksanaan dan pemenuhan hak perempuan. Pasal 4, menegaskan kewajiban negara untuk menyusun kebijakan khusus (mengutamakan pemenuhan hak secara de facto, tidak saja de jure). Pasal 5, menegaskan kewajiban negara untuk mengambil semua langkah yang tepat dalam mengubah pola tindakan sosial budaya, serta praktiknya yang subordinat terhadap perempuan dan mengandung nilai stereotipe terhadap peran tradisional perempuan dan laki-laki. Pasal ini juga menyatakan kewajiban negara untuk menjamin pendidikan keluarga yang berdasarkan pengertian semestinya tentang fungsi kehamilan dan peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 UU HAM menyebut HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1).

Undang-undang ini dengan jelas menyebutkan pada pasal 2 bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Dengan adanya UU HAM, semua peraturan perundang-undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM seperti diatur dalam UU ini.

Penghapusan diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik diatur di dalam pasal 3. Disebutkan di dalam Pasal 3 Ayat (1) bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Selanjutnya Ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Ditegaskan pada ayat (3) bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. UU tentang HAM menyebutkan istilah “setiap orang”, yang berarti subyek di dalamnya termasuk penyandang disabilitas.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas

Bagian pembukaan dari konvensi ini, pada poin (q), menjelaskan bahwa negara-negara pihak harus “mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anak perempuan mempunyai risiko yang lebih besar terhadap kekerasan, cedera atau pelecehan, perlakuan yang menelantarkan atau mengabaikan, perlakuan buruk atau eksploitasi, baik di dalam maupun di luar rumah”. Ratifikasi ini memiliki konsekuensi bagi negara-negara pihak, yang salah satunya disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (1), bahwa negara-negara pihak harus mengambil kebijakan-kebijakan untuk menjamin penikmatan penuh dan setara bagi mereka atas semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Pasal 6 (2) mengharuskan negara pihak mengambil semua kebijakan yang sesuai untuk menjamin pengembangan, pemajuan, dan pemberdayaan perempuan secara penuh, dengan tujuan memberikan jaminan kepada mereka atas pelaksanaan dan penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana ditetapkan dalam konvensi ini.

Lebih lanjut, pada Pasal 7 Ayat (1) disebutkan bahwa negara-negara pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan penuh semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh penyandang disabilitas anak atas dasar kesetaraan dengan anak lainnya. Ayat selanjutnya menyatakan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut penyandang disabilitas anak, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Ada pun pada Ayat mengharuskan negara-negara pihak menjamin bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengemukakan pandangan mereka secara bebas pada semua hal yang mempengaruhi mereka, termasuk dipertimbangkan pandangannya sesuai dengan usia dan kematangan mereka, atas dasar kesetaraan dengan anak lainnya, serta disediakan bantuan disabilitas. Hak-hak ini perlu direalisasikan sesuai dengan usia mereka.

Konvensi ini juga mengamanatkan negara-negara pihak untuk menjamin kebebasan dari tindakan eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan. Pada 16 Ayat (5) disebutkan bahwa negara-negara pihak harus menerapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang efektif dan terfokus pada perempuan dan anak, untuk menjamin bahwa kasus-kasus eksploitasi, kekerasan dan pelecehan terhadap penyandang disabilitas diidentifikasi, diselidiki, dan dihukum apabila terpenuhi syaratnya.

Dalam hal perlindungan sosial, Pasal 28 Ayat (2) Huruf b mengharuskan negara-negara pihak harus mengakui hak penyandang disabilitas atas perlindungan sosial dan segala penikmatannya tanpa diskriminasi atas dasar disabilitas; termasuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi dan memajukan pemenuhan hak ini serta kebijakan program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan untuk penyandang disabilitas perempuan, anak perempuan, dan lanjut usia.

Indonesia menandatangai konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011. Artinya Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dalam menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Dalam rangka merealisasikan hak-hak yang termuat di dalam konvensi, negara wajib menindaklanjuti penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum, dan administrasi, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan anak, tanpa terkecuali anak penyandang disabilitas. UU ini mendefinisikan anak penyandang disabilitas dalam Pasal 1 Ayat (7), yakni anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Pasal 12 menyebutkan bahwa setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, artinya harus dipahami juga pada konteks rehabilitasi dan bantuan sosial, sebagai dampak yang ditimbulkan pada anak penyandang disabilitas korban kekerasan.

Pemenuhan hak anak penyandang disabilitas diatur dalam beberapa pasal. Antara lain Pasal 51 berbunyi “anak penyandang disabilitas berhak diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan inklusif dan/atau pendidikan khusus”. Selanjutnya pada Pasal 59 (1) disebutkan “pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus pada anak”. Anak penyandang disabilitas juga menjadi salah satu kategori dalam perlindungan khusus sebagaimana terdapat dalam Pasal 59 Ayat (2) Huruf l.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Undang-undang ini merupakan wujud tindak lanjut pemerintah Indonesia atas ratifikasi UNCRPD. Menurut Pasal 3 dari peraturan ini, tujuan dari pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas salah satunya disebutkan pada poin (d), yakni melindungi penyandang disabilitas dari penelantaran, eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.

UU Penyandang Disabilitas secara spesifik memuat terkait dengan perempuan dan anak disabilitas di dalam Bab III Pasal 5. Pasal 5 Ayat (1) memuat hak-hak penyandang disabilitas. Di dalam pasal 5 Ayat (2) tertulis lebih spesifik bahwa perempuan penyandang disabilitas memiliki hak:

  1. Atas kesehatan reproduksi.
  2. Menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi.
  3. Mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; dan
  4. Mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.

Hak anak penyandang disabilitas juga dijamin dalam undang-undang ini. Pasal 5 Ayat (3) menjelaskan bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak:

  1. Mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual.
  2. Mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal.
  3. Dilindungi kepentingannya di dalam pengambilan keputusan.
  4. Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak.
  5. Pemenuhan kebutuhan khusus.
  6. Perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu.
  7. Mendapatkan pendampingan sosial.

Mandat dari undang-undang ini juga meliputi jaminan perlindungan dan pemenuhan hak untuk bebas dari diskriminisi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi (Pasal 26); dukungan sistem perlindungan melalui berbagai sosialisasi tentang perlindungan penyandang disabilitas yang termasuk di dalamnya terkait pencegahan hingga pelaporan dan aduan kasus eksploitasi dan pelecehan (Pasal 39); penyediaan layanan informasi dan tindak cepat untuk perempuan dan anak penyandang disabilitas oleh pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 125), dan juga rumah aman yang mudah diakses (Pasal 127).

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

UU TPKS memiliki beberapa terobosan perihal pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas korban kekerasan seksual, yakni: (1) memahami kerentanan penyandang disablitas; (2) mendudukan penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki kapasitas hukum; dan (3) pemenuhan hak atas akomodasi yang layak. 

Terdapat beberapa pasal yang melihat faktor kerentanan penyandang disabilitas, misalnya Pasal 6 Huruf A mengecualikan ketentuan delik aduan dalam pelecehan seksual non fisik dan fisik jika korbannya adalah penyandang disabilitas. Kemudian Pasal 14 menyebutkan bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas. Pada ayat (5) disebutkan, ketika korban merupakan anak atau penyandang disabilitas, adanya kehendak atau persetujuan korban tidak akan menghapuskan tuntutan pidana. Penambahan hukuman pidana sebanyak 1/3 dari masa hukuman untuk kekerasan seksual dengan korban dan anak disabilitas juga menjadi poin penting yang diatur di dalam UU TPKS (Pasal 15 Ayat (1) Huruf h).

Sementara itu, pengakuan atas kapasitas hukum penyandang disabilitas terdapat dalam Pasal 25 Ayat (4), bahwa keterangan saksi dan/atau korban penyandang disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan saksi dan/atau korban bukan penyandang disabilitas. Sejalan dengan hal tersebut, UU TPKS juga mengamanatkan perlunya penilaian personal bagi penyandang disabilitas sebagaimana. Ketentuan ini diatur di dalam Ayat (5) yang berbunyi bahwa keterangan saksi dan/atau korban wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan.

Poin lain yang diatur dalam UU TPKS terkait penyandang disabilitas adalah pemenuhan atas kebutuhan khusus dari penyandang disabilitas. Pasal 27 Ayat (1) mengatur bahwa saksi dan/atau korban penyandang disabilitas dapat didampingi oleh orang tua, wali yang telah ditetapkan oleh pengadilan, dan/atau pendamping. Kemudian Ayat (2) memuat bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku apabila orangtua dan/atau wali korban atau saksi berstatus sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sedang diperiksa.

Terakhir, jaminan atas akomodasi yang layak dimuat dalam Pasal 66 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa korban penyandang disabilitas berhak mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak guna pemenuhan haknya. Poin ini menjadi sangat penting sebagai bentuk jaminan terpenuhinya hak dasar penyandang disabilitas. Tanpa adanya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, maka tidak ada pemenuhan hak untuk korban penyandang disabilitas. Jaminan atas aksesibilitas dan akomodasi yang layak bahkan diberikan sejak pemulihan sebelum dan selama proses peradilan (Pasal 70 Ayat (2) Huruf f). Layanan penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban penyandang disabilitas yang dilakukan oleh UPTD PPA juga harus memfasilitasi kebutuhan khususnya (Pasal 76 Ayat (3) Huruf i).

PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan

Peraturan pemerintah ini dengan tegas memandatkan kewajiban lembaga penegak hukum untuk melakukan pemenuhan akomodasi yang layak, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2 Ayat (1). Ada pun menurut Pasal 5, akomodasi yang layak yang dimaksud meliputi pelayanan dan juga sarana dan prasarana. Pasa 2 Ayat (2) kemudian merinci lembaga penegak hukum yang wajib melakukan pemenuhan akomodasi yang layak, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia; Kejaksaan Republik Indonesia; Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya; dan Mahkamah Konstitusi.

Dijelaskan juga dalam Pasal 2 Ayat 3, bahwa selain lembaga penegak hukum, lembaga lain yang terkait proses peradilan juga wajib melakukan pemenuhan akomodasi yang layak. Artinya kewajiban tersebut turut melekat pada lembaga layanan penanganan kasus kekerasan.

Pasal 3 PP ini menyebutkan bahwa, dalam menyediakan akomodasi yang layak, lembaga penegak hukum mengajukan permintaan Penilaian Personal kepada: dokter atau tenaga kesehatan lainnya; dan/atau psikolog atau psikiater. Namun, yang perlu menjadi catatan kritis, penilaian personal sebenarnya juga dapat dilakukan oleh penyandang disabilitas itu sendiri. Bunyi Pasal 3 justru berpotensi mengesampingan keberdayaan penyandang disabilitas. Apabila memang diperlukan assessment yang melibatkan professional, kasus kemudian bisa dirujuk kepada dokter, psikolog, dan/atau psikiater sesuai kebutuhan. Identifikasi awal terkait kondisi disabilitas juga dapat dilakukan oleh penyandang disabilitas itu sendiri.

Penyediaan akomodasi yang layak paling minimum diatur dalam Pasal 6, diantaranya:

  1. Perlakuan non diskriminatif.
  2. Pemenuhan rasa aman dan nyaman.
  3. Komunikasi yang efektif.
  4. Pemenuhan informasi terkait hak penyandang disabilitas dan perkembangan proses peradilan.
  5. Penyediaan fasilitas komunikasi audio visual jarak jauh.
  6. Penyediaan standar pemeriksaan penyandang disabilitas dan standar pemberian jasa hukum.
  7. Penyediaan pendamping disabilitas dan/atau penerjemah.

Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadiri Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Kendati tidak mengatur secara spesifik perempuan penyandang disabilitas, peraturan Mahkamah Agung ini mengatur salah satu prinsip penting yang harus diterapkan dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, yakni prinsip non diskriminasi. Prinsip ini berarti tidak boleh ada tindakan mengecualikan perempuan penyandang disabilitas. Lebih lengkapnya, hakim wajib menerapkan asas-asas berikut:  

  1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
  2. Non diskriminasi.
  3. Kesetaraan gender.Persamaan di depan hukum.Keadilan.Kemanfaatan.
  4. Kepastian hukum.

Perarturan Menteri Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2022 tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan & Anak

Peraturan Menteri PPPA ini mengatur tentang manajemen kasus termasuk pada kasus penyandang disabilitas yang harus mengacu pada UU Penyandang Disabilitas. Disebutkan pada pasal 4 bahwa standar layanan yang diatur dalam peraturan ini meliputi:

  1. Pendahuluan.
  2. Kewenangan dan pendekatan penyelenggaraan layanan PPA.
  3. Mekanisme layanan, fungsi layanan, dan sistem informasi data.
  4. Mekanisme komunikasi.
  5. Standar operasional prosedur layanan PPA.
  6. Pemberian layanan berdasarkan asesmen risiko dan bahaya.
  7. Ringkasan prosedur pelaksanaan fungsi layanan PPA.
  8. Kebijakan keselamatan anak.
  9. Perlindungan dari eksploitasi dan penyalahgunaan seksual.
  10. Formulir survei kepuasan penerima manfaat.
  11. Penutup.

Lebih lanjut terkait pembiayaan disebutkan dalam Pasal 9. Ayat (1) menyebutkan pendanaan pelaksanaan standar layanan PPA bersumber dari: anggaran pendapatan dan belanja negara; anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat selanjutnya menyebutkan pendanaan penyelenggaraan fungsi layanan tidak dibebankan pada penerima manfaat. Sudah seharusnya pembiayaan ini juga memperhatikan disability extra cost yang mengakomodir segala kebutuhan khusus.

Lebih lanjut, catatan dalam lampiran keterangan lebih lanjut menyebutkan beberapa hal penting yang cukup menjadi dasar penguat pemberian akmodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam layanan penanganan kekerasan, yakni:

  • Manajemen kasus wajib memperhatikan penyandang disabilitas, mulai dari assessment biopsikosial masalah dan kebutuhan, intervensi layanan, hingga terminasi kasus.
  • Pada bagian pengaduan masyarakat, tertulis salah satu prinsip pengaduan masyarakat, yakni UTPD PPPA wajib memfasilitasi pengurusan data kependudukan dan layanan penerjemahan bahasa dan/atau alat bantu lain bagi perempuan atau anak penyandang disabilitas dan/atau WNA jika diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin korban dapat mengakses layanan tanpa kendala adminduk.
  • Saat penjangkauan korban, UPTD PPA wajib memfasilitasi layanan penerjemahan bahasa dan/atau alat bantu lain bagi perempuan atau anak penyandang disabilitas jika diperlukan.
  • Pendamping PPA wajib mengetahui situasi penerima manfaat, terutama yang berhubungan dengan kondisi disabilitas, sehingga penjangkauan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan kondisi disabilitas penerima manfaat.
  • Perihal penampungan sementara, disebutkan bahwa petugas penampungan sementara dan pendamping PPA wajib memperhatikan kebutuhan khusus penerima manfaat, seperti kebutuhan bagi penyandang disabilitas.
  • Dalam pendampingan layanan hukum, pendamping PPA dengan dukungan analis hukum wajib memberikan informasi kepada APH terkait kebutuhan khusus, seperti terkait kondisi disabilitas, penerjemah, hamil, atau kondisi khusus lainnya.
  • Menempatkan penyandang disabilitas pada risiko tingkat tinggi dalam panduan asesmen risiko dan bahaya bagi penerima manfaat layanan.
  • Pendamping PPA wajib memperhatikan kondisi khusus penerima manfaat, misalnya kondisi penerima manfaat dengan disabilitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *