Pengembangan Program dan Kebijakan yang Inklusi Bagi Organisasi

Pada Kamis dan Jumat, 14-15 Maret 2019 lalu SAPDA Jogja mengadakan pelatihan pengembangan kebijakan gender disabilitas dan inklusi sosial untuk mitra ICDRC. Bertempat di pendopo SAPDA, pelatihan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi kebutuhan dan kepasitas pengembangan inklusi disabilitas di masing-masing mitra OXFAM, menguatkan kapasitas mitra untuk mengembangkan kebijakan inklusi dalam pelaksanaan program dan manajemen kelembagaan, serta menyusun draft untuk mengembangkan kebijakan yang inklusif.

Kegiatan ini dihadiri oleh masing-masing 2 orang perwakilan lembaga mitra Oxfam seperti PIKUL Kupang, LP2DER Bima, PKPA Medan, YPPS Flores, JEMARI Sakato Padang dan KONSEPSI Mataram.

SAPDA sebagai mitra pemberi mainstreaming bersama mitra implementatif OXFAM membuat persiapan-persiapan untuk bisa mencapai masyarakat dan program-program yang inklusif pada tahun 2022, persiapan-persiapan tersebut sudah mulai dilaksanakan di beberapa daerah terpilih yakni Kupang, Bima, Flores, dan Mataram yang mana keempat daerah ini oleh Yayasan SAPDA mulai diberikan peningkatan kapasitas gender disabilitas dan inklusi sosial serta assesment kelembagaan melalui organisasi lokal.

Hal-hal yang akan diperhatikan dalam peningkatan kapasitas dan assessment ini adalah bagaimana lembaga menerapkan konsep gender disabilitas dan inklusi sosial dalam kebijakan, pelibatan disabilitas dalam proses advokasi masyarakat maupun pemerintah daerah, sejauh mana lembaga dapat berinteraksi dengan baik dengan masyarakat khususnya penyandang disabilitas, aksesibilitas fisik maupun non-fisik dalam lembaga, data pilah antara penyandang disabilitas dan bukan disabilitas, serta mendorong lembaga agar dapat mengikutsertakan masyarakat intervensi kedalam program-program lembaga yang dijalankan.

Kegiatan pelatihan ini juga menjadi forum saling bertukar cerita dan pengalaman tentang isu disabilitas di masing-masing lembaga. Seperti yang disampaikan oleh perwakilan YPPS, bahwa selama ini lembaga YPPS belum ada ketegasan terkait kebijakan yang menyangkut posisi disabilitas dikarenakan minimnya data pilah. Selain itu masih adanya kendala infrastruktur yang belum akasesibel di lingkungan kantor sehingga sulit untuk diakses oleh teman-teman disabilitas. Komunikasi juga menjadi salah satu hambatan dalam berinteraksi dengan teman-teman disabilitas khususnya tuli di Flores, sehingga pemahaman tentang kesehatan kespro bagi teman-teman perempuan tuli juga menemui kendala. Pun terkait dengan isu gender mengalami benturan dengan konteks agama, masyarakat masih memandang bahwa isu gender dan seksualitas cukup sulit diterima apabila dikaitkan dengan ajaran agama.

Nurul Saadah Andriani, selaku direktur SAPDA menekankan pentingnya data pilah sebagai dasar penyusunan program dan kegiatan. Harapannya kedepan masing-masing lembaga memiliki format pendataan yang dapat mengumpulkan informasi terkait penyandang disabilitas, ragam, usia, bahkan hingga pada hambatan dan kebutuhan.