PELATIHAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DISABILITAS DI LOMBOK (NTB)

img-20160809-wa0013 img-20160809-wa0010

SAPDA sangat concern dalam memperjuangkan hak penyandang disabilitas, tidak hentinya melakukan gerakan-gerakan untuk memperkuat level jejaring dalam bersinergi bersama DPO, CSO, NGO dan pemerintah untuk melakukan pelatihan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak disabilitas. Pelatihan ini dilakukan pada 9 s/d. 11 Agustus 2016 bertempat di Mataram, lombok.

Pelatihan ini bertujuan untuk memahamkankonsep kekerasan berbasis Seks, Gender dan Disabilitas stakeholder pemberi layanan level daerah; memahamkan konsep penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas berbasis konsep gender dan disabilitas kepada stakeholder pemberi layanan level daerah dan mendorong sinergitas DPO, CSO serta pemberi layanan dalam penanganan kekerasan berbasis gender dan disabilitas.

Peserta yang terlibat dalam pelatihan ini adalah :
1. LPA Nusa Tenggara Barat
2. BP3AKB
3. Dinas Dikpora
4. Peksos propinsi
5. LSM ( LBH Apik, SANTAI, GAGAS Mataram, FORPAKEM)
6. Pokja ABH kec. Ampenan
7. PSMP Paramita ( Lembaga dibawah kementrian untuk rehabilitasi pada anak).
8. RPTC (Rumah Perempuan Trauma Center (Tempat rehabilitasi untuk khusus korban perempuan dibawah Dinas Sosial)
9. PKBI
10. Kejaksaan negeri NTB
11. Kejari Mataram
12. PPA Polres Mataram
13. PPA Polda NTB
14. DPO (PPDI dan Gerkatin)

Di awal proses mengenai diskusi kelompok peserta, dipresentasikan hasil diskusi yang menggambarkan kekerasan berbasis gender dan disabiltias, seperti :
• Steorotype : Stigma negative pada disabilitas dari masyarakat (lemah, tidak layak, merepotkan)
• Diskriminasi : Tidak memberi kesempatan pada disabilitas
• Awarness : Keluarga/masyarakat kurang memahami kebutuhan disabilitas.
• Over protektif : Sikap keluarga/masyarakat kepada disabilitas yang berlebihan.
• Kekerasan seksual : Kondisi disabilitas memberi peluang yang besar untuk menjadi korban kekerasan/perkosaan. Hukum positif di Indonesia kurang berpihak pada disabilitas masih bicara secara umum.

Dalam hasil diskusi selanjutnya, masih ditemukan penyebutan “Tuna…” sedangkan kerentanan karena penyandang didsabilitas dianggap aib keluarga atau karma sehingga masih banyak dikucilkan/ disembunyikan. Bila terjadi kekerasan pada mereka maka biasanya langkah penyelesaian dengan hukum adat dan kekeluargaan. Dalam melakukan pendampingan penting memahami sampai dasar / konsep harus jelas agar bisa menganalisa dari berbagai sisi dan terwujud apa yang menjadi KEBUTUHAN KORBAN. Struktur dalam masyarakat (Tingkatan relasi kuasa / tahapan di masyarakat) juga sangat berpengaruh untuk menganalisa dalam penyelesaian masalah, misalnya :
– Pimpinan dan bawahan, walaupun bawahan adalah laki-laki akan tetapi karena relasi kuasa maka pimpinan perempuan lebih berkuasa.
– Majikan dan pembantu, dalam kasus kekerasan pembantu tidak berani melaporkan majikan karena takut dipecat/tidak punya penghasilan.
– Pembantu perempuan dan pembantu laki-laki sama-sama pembantu, lebih rentan yang perempuan menjadi korban kekerasan.

Konsep kenormalan juga menjadi pengarusutamaan dalam pelatihan ini, karena peserta juga masih belum paham mengenai normal dan tidak normal, disabilitas dipahami tidak punya salah satu organ tubuh, sedangkan realitanya disabilitas netra masih mempunyai mata, dsiabilitas ruwi mempunyai telinga dan mulut, keduanya memiliki hambatan yaitu fungsinya yang terganggu.

Salah satu narasumber dari Mbak Lisa (Rifka Annisa Yogyakarta) share mengenai kasus-kasus disabilitas yang pernah ditangani, hambatan dan solusi yang diambil. Selain berbagi cerita pengalaman, juga ada sharing dari peserta mengenai pengalaman di NTB dan juga Tanya-jawab dengan peserta pelatihan. Berikut beberapa point yang didapat dari proses paparan narasumber :
– Kasus Usia anak hamil dinikahkan dengan pelaku adalah sebuah penyelesaian-nya.
– Bila ditemukan kasus disabilitas, akan berjejaring dengan siapa karena tidak ada link jaringan penanganan kasus.
– Kasus kekerasan pada anak banyak yang tidak selesai proses hukumnya.
– Kasus disabilitas beberapa yang berhenti karena kendala saksi dan bukti, solusi untuk melanjutkan kasus perlu langkah dari awal lagi atau bisa melanjutkan pelaporan pertama (meninjau ulang kasus).

Dalam melakukan penanganan /pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan pada prinsipnya harus memenuhi 4 hak : (1) Hak ketidak berulang maka ada Pencegahan, (2) Hak atas keadilan hukum, (3) Hak atas rehabilitasi Sosial, (4) Hak atas Restitusi Ganti rugi
Untuk memetakan wilayah kerja dan Tupoksi setiap peserta yang terlibat diminta untuk Menempel peran masing-masing menurut tupoksinya untuk kasus disabilitas; di 5 aktifitas meliputi : (1)Pencegahan, (2)Sosialisasi, (3)Penanganan Hukum, (4)Rehabilitasi Sosial, (5)Reintegrasi Sosial.

Narasumber lainnya adalah bu Indri dari komnas Perempuan. Diawali oleh narasumber menjelaskan tentang siapa Komnas Perempuan, sebagai mandatnya menjadi pengawas, penilai, koreksi untuk pemerintah mengenai pemenuhan perlindungan perempuan dari kekerasan di semua daerah di wilayah Indonesia, baik di level pusat sampai daerah. Perlindungan perempuan korban kekerasan didalamnya juga perempuan disabilitas, karena :
• Pandangan masyarakat terhadap perempuan disabilitas sejalan dengan cara pandang patriakhis dan triple diskriminatif : PEREMPUAN – DISABILITAS – MISKIN
• Melekatnya stigma negatif posisi perempuan, diperkuat stigma negatif disabilitas
• keterbatasan akses perempuan disabilitas dimulai dari dalam keluarga hingga di tingkat publik
• Gerakan perempuan belum banyak menempatkan isu hak perempuan disabilitas sebagai agenda penting
Kekerasan pada perempuan disabilitas adalah kekerasan berbasis gender dan disabilitas, karena :
• Terjadi karena adanya konstruksi sosial/budaya yang menempatkan perempuan pada posisi rentan menjadi korban / relasi kuasa tidak setara
• Berbeda dengan bentuk kekerasan pada umumnya: niat, tindakan dan deskripsinya, serta dampak jangka pendek dan jangka panjangnya terhadap perempuan;
• Terjadi karena disabilitasnya, sehingga pelaku menganggap mereka tidak berdaya, pantas menjadi korban dan tidak bisa membela diri (melapor, bersaksi).
Ada 5 prinsip pendekatan pemulihan korban :
• berpusat pada korban,
• berbasis hak (atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan ketidakberulangan),
• multidimensi (melibatkan semua aspek dan komponen yang terkait kebutuhan korban)
• berbasis komunitas
• berkesinambungan.

Dari pelatihan yang telah dilakukan, ada beberapa catatan yang didapatkan selama proses kegiatan, yaitu :
1. Memaksimalkan fungsi BPKP, merupakan lembaga yang memegang peran penting sebagai pelaksana tekhnis kebijakan penghapusan kekerasan berbasis gender dan P2TP2A sebagai leading sector pelaksanaan dilapangan serta melibatkan dalam kegiatan kedepan.
2. Penting melibatkan pihak Medis / Rumah sakit / Dinas kesehatan sebagai peserta pelatihan atau kegiatan kedepan, karena korban juga perlu layanan medis.
3. Penting melibatkan DPO dalam penanganan perempuan dan anak disabilitas korban kekerasan sesuai jenis disabilitasnya.
4. Penting membentuk jejaring bagi penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya disabilitas berbasis gender dan disabilitas.
5. Melakukan layanan rujukan serta bagaimana mekanisme jaringan layanan penanganan perempuan dan anak disabilitas korban kekerasan.
6. Pemahaman tentang karakter disabilitas ternyata sangat kurang, peserta sebagian besar baru bukan yang pernah ikut kegiatan sebelumnya. Hanya organisasi disabilitas yang cukup memahami karakter disabilitas, padahal pemahaman tentang karakter sangat penting untuk melakukan penanganan korban kekerasan berbasis gender pada disabilitas.
7. Konsep gender masih rancu dengan konsep sex, relasi kuasa dianggap tidak penting dalam memahami kekerasan berbasis gender, bentuk dan jenis kekerasan masih rancu dan penyebab dari kekerasan hampir 80% peserta memunculkan faktor pemicu (triger) sebagai penyebab bukan benar-benar akar dari penyebab kekerasan berbasis gender.
8. Sebagian besar peserta focus pada penanganan anak bukan perempuan khususnya disabilitas. Gap pemahaman tentang gender dan kekerasan berbasis gender antara satu peserta dengan yang lain cukup lebar dan sebagai besar belum paham tentang konsep disabilitas.
9. Perlunya sinergitas lembaga-lembaga atau organisasi milik masyarakat (CSO/DPO) dengan pemberi layanan bagi korban kekerasan berbasis gender milik Negara