Riset yang diterbitkan Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menunjukan bahwa sistem rujukan antar lembaga layanan, terutama di Kota Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta masih berlaku secara umum dan belum memperhatikan kebutuhan khusus bagi perempuan dan penyandang disabilitas. Berbagai pemangku kepentingan memberikan respon positif lewat komitmen untuk mendorong sistem rujukan yang lebih inklusif.
Respon positif salah satunya datang dari Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Valentina Gintings. Menurutnya, perempuan disabilitas masih termarjinalkan, tersubordinasi dan mengalami eksploitasi. “Karena itu, hasil riset SAPDA menjadi penting berkaitan dengan mandat kami untuk memastikan pemenuhan keadilan perempuan disabilitas,” ucap Valentina dalam webinar dan lokakarya nasional Sistem Rujukan Pidana dan Perdata bagi Perempuan dan anak disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum pada Selasa (07/12) lalu.
Di samping itu, Asisten Deputi Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus KemenPPPA Robert Sitinjak mengatakan bahwa riset SAPDA mengingatkan bahwa penilaian personal penting untuk disuarakan di tingkat Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga layanan. “Hasil riset SAPDA juga menjadi catatan kami untuk bekerjasama dengan banyak pihak yang sekarang sedang berlomba-lomba memberikan pelayanan terkait sistem rujukan ramah disabilitas,” kata Robert.
Menurutnya, sistem rujukan yang inklusif antar lembaga layanan juga menjadi urgensi baru menyusul instruksi Presiden Joko Widodo terkait pembentukan Komisi Nasional Penyandang Disabilitas. “Antara pengada layanan dan kementerian harus bersinergi. Ini untuk mempercepat informasi dan pelayanan yang tepat”, tambah Robert.
Sementara itu, Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI juga mengapresiasi hadirnya hasil riset SAPDA yang dinilainya bermanfaat dalam perbaikan kebijakan. “Hasil riset ini dapat memberikan masukan untuk perbaikan kebijakan yang nantinya dapat mendukung pemenuhan hak perempuan dan anak disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” ujar Dewo.
Selanjutnya, Komisaris Polisi Ema Rahmawati dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) menilai riset SAPDA berguna sebagai acuan penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan penyandang disabilitas di tingkat Bareskrim yang nantinya akan diterapkan pada kepolisian di seluruh Indonesia. Ema tidak menampik bahwa penyediaan akomodasi yang layak di tubuh kepolisian masih perlu disempurnakan.
“Tahun 2019 kami sudah menandatangani perjanjian kerjasama dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia. Kami berkomitmen untuk melakukan kerjasama pertukaran data dan informasi terkait dengan penegakan hukum. Kami juga berupaya meningkatkan sarana, prasarana, dan peningkatan kapasitas untuk memenuhi akomodasi yang layak”, tegas Ema.
Kemudian, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta Edy Muhammad mengaku bahwa hasil riset SAPDA memotret beberapa aspek yang perlu dibenahi dari kebijakan layanan pemerintah Kota Yogyakarta. “Ini menjadi bagian dari kontrol yang perlu kami tindaklanjuti untuk memberikan layanan yang inklusif bagi penyandang disabilitas,” kata Edy.
Mengapa perlu Sistem Rujukan yang Inklusif?
Sementara itu, Nurul Saadah Andriani mengatakan bahwa rujukan antar lembaga layanan dalam pendampingan anak dan perempuan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum memiliki konsekuensi, yakni adanya pemenuhan kebutuhan khusus. “Ini menjadi tantangan tersendiri. Banyak lembaga layanan yang belum siap mengakomodasinya, namun beberapa lainnya siap dan punya potensi,” kata Nurul.
Mendukung apa yang telah disampaikan Nurul, Ade Ganie perwakilan dari Kedutaan Besar-Australia menjelaskan bahwa perempuan dan anak disabilitas adalah kelompok rentan yang seringkali kesulitan dalam mengakses hak ketika harus berurusan dengan hukum. Karena itu, menurutnya, sistem rujukan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjawab kebutuhan mereka. “Termasuk dukungan pelayanan pendamping psikologi dan kesehatan”, kata Ade.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak (KemenPPPA, Nahar, juga mengatakan bahwa sistem rujukan berbasis akomodasi yang layak merupakan bagian penting dari pemenuhan hak perlindungan penyandang disabilitas, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016.
“Lebih rinci di pasal 35 ayat 1, dijelaskan bahwa akomodasi yang layak bagi seorang penyandang disabilitas wajib disediakan oleh lembaga penegak hukum. Ketentuan lebih lanjut terkait dengan ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan”, tambah Nahar.
Karena itu, menurutnya layanan-layanan harus di tingkat pemerintah Kabupaten/Kota perlu terhubung dengan layanan di tingkat masyarakat. “Sehingga ke depannya akan terbangun sistem rujukan yang komprehensif dan paripurna untuk melindungi perempuan dan anak disabilitas,” tegas Nahar.
Di samping itu, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Retty Rahmawati mengatakan bahwa sistem rujukan pelayanan yang terpadu berguna untuk memastikan proses penyidikan, pemeriksaan, penuntutan hingga pemulihan akan memperhatikan akomodasi yang layak bagi perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan. “Sepanjang alur ini yang harus dipikirkan itu korban menjadi yang utama,” tegas Retty.
Terakhir, Koordinator Bidang Advokasi Sasana Inklusi Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta, Purwanti, mengatakan bahwa sistem rujukan inklusif juga dapat membantu penyandang disabilitas ditempatkan setara di hadapan hukum. Kita perlu mendudukan kawan-kawan disabilitas yang berhadapan dengan hukum sebagai subjek pemegang hak mengakses keadilan, dan ditempatkan sebagai individu yang cakap hukum,” tegas Purwanti.
Seminar dan Lokarya Nasional bertajuk Sistem Rujukan Pidana dan Perdata bagi Perempuan dan Anak Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum merupakan rangkaian memperingati 16 Hari Anti kekerasan terhadap Perempuan yang dilaksanakan oleh SAPDA. Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).
Pembaca dapat menyimak hasil riset sistem rujukan secara lengkap di sini:
Pembaca dapat menyimak rekaman webinar secara lengkap di sini: