Sudah Saatnya Disabilitas Lebih Melek Hukum

Peserta penyandang disabilitas pengguna kursi roda sedang mempresentasikan rencana pendampingan kasus.

Penyandang disabilitas rentan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi saat berhadapan dengan hukum. Sudah saatnya penyandang disabilitas secara mandiri mampu memberikan dukungan dan melakukan advokasi terkait hak-haknya. Karena itu, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) memberikan pelatihan hukum kepada organisasi disabilitas di wilayah pengadilan dampingan pada Selasa (13/12) hingga (14/12).

Difasilitasi oleh Sukiratnasari dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), pelatihan ini memberikan materi-materi mengenai hak dan kewajiban hukum penyandang disabilitas; sistem hukum di Indonesia; pengadilan inklusif dan akomodasi yang layak; serta peran, posisi dan prinsip-prinsip pendampingan hukum penyandang disabilitas.

Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani mengatakan hambatan pendidikan dan informasi membuat penyandang disabilitas tidak mendapatkan cukup informasi mengenai sistem hukum yang berlaku di tempat tinggalnya. Ini alasan mengapa kebanyakan penyandang disabilitas sering kali bingung ketika harus mengakses layanan hukum.

Do you even LIFT….Bodybuilding tips – SDI Labs – Bodybuilding Legal Steroids Alternatives meditech pharm sugar makes you stupid, but omega-3s will smarten you back up – ironmag bodybuilding & fitness blog

“Saat kemudian kalau berhadapan dengan hukum, kita biasanya berpikir bahwa kalau tidak jadi terdakwa ya jadi korban. Sebetulnya padahal sistem hukum di Indonesia itu cukup banyak dan kita bisa menjadi siapapun. Bisa jadi korban, bisa jadi terdakwa, bisa jadi saksi, bisa jadi penggugat, bisa jadi tergugat, bisa jadi pemohon,” kata Nurul saat memberikan sambutan di awal kegiatan.

Nurul mengatakan, Indonesia telah memiliki sistem hukum yang saat ini sedang diperjuangkan untuk menjadi inklusif, aksesibel dan mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas, terutama di lingkungan pengadilan. Namun, sepanjang proses pendampingan kepada pengadilan, ia mendapati belum banyak penyandang disabilitas yang mengakses layanan yang telah disediakan pengadilan.

“Akhirnya kami sendiri berpikir bahwa kemungkinan besar penyandang disabilitas tidak mencari keadilan karena belum tahu sistem hukumya seperti apa. Saat kawan-kawan kita mendapatkan persoalan seperti tidak mendapatkan waris, atau ditipu, atau tidak diperbolehkan membuat perjanjian, kita sering bingung sebenarnya bagaimana bisa melakukan upaya-upaya hukum,” katanya.

Sementara itu, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sri Wiyanti Eddyono yang turut hadir sebagai narasumber mengatakan semua orang, termasuk penyandang disabilitas harus mengerti hukum. Dengan begitu, penyandang disabilitas akan menjadi warga negara yang cerdas dan tahu akan hak-haknya sendiri, sehingga mampu memperjuangkannya.

“Kalau Undang-undang itu sudah disahkan, semua orang itu dianggap tahu hukum. Jadi yang seharusnya baca Undang-undang itu bukan hanya saya, tapi juga teman-teman. Karena ketika Undang-undang ini disahkan, maka akan mengikat setiap orang. Contohnya setelah ikut pelatihan ini, teman-teman jadi tahu, isu disabilitas ini ternyata sudah dibahas sejak lama, bahkan sudah diformulasikan di dalam hukum,” kata Sri.

Narasumber lain yakni Konselor Hukum Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Kota Yogyakarta Catur Udi Handayani mengatakan, dengan memahami sistem hukum, penyandang disabilitas dapat mengambil peran sebagai pendamping hukum bagi sesama penyandang disabilitas maupun kelompok rentan lainnya seperti perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.

“Teman-teman penyandang disabilitas juga perlu belajar hukum, paling tidak memahami alur pelaporam dam gugatan. Saya pun juga masih belajar tentang Undang-undang tentang perlindungan hak perempuan, anak dan disabilitas. Penting juga untuk mempunyai jiwa penolong, menjadi pendengar yang baik, memiliki perspektif yang baik dan berpihak pada korban, serta memahami ragam kekerasan berbasis gender dan disabilitas,” tegas Udi.

Di samping itu, Program Manager SAPDA Miko berharap para organisasi penyandang disabilitas selepas mengikuti pelatihan ini dapat menjadi perpanjangan tangan SAPDA dalam memberikan asistensi kepada pengadilan-pengadilan dampingan SAPDA yang telah memiliki komitmen untuk menjadi pengadilan inklusif.

“Selama ini SAPDA menjembatani anatara komunitas dengan teman-teman pengadilan yang ada di daerah. Kalau itu menjadi keberhasilan teman teman, SAPDA akan senang banget. Bayangkan ada 180 pengadilan yang perlu didampingi. Makanya kami membutuhkan teman-teman untuk berpartisipasi mengimpelementasikan PP 39 tentang akomodasi yang layak,” kata Miko.

Beberapa peserta pun menyambut baik pelatihan ini. Yurlina dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia DKI Jakarta mengatakan pelatihan ini membantunya belajar terkait cara memberikan pendampingan hukum mulai dari pelaporan kasus hingga di pengadilan. “Kalau kita tidak mampu melakukan  pelaporan yang benar di kepolisian, selalu ada upaya-upaya baik dari yang dilaporkan maupun dari penyidik untuk berusaha lari dari hukum,” katanya melalui pendampingnya, Taufik.

Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan Rani dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Kabupaten Bekasi. “Selama ini keluhan-keluhan soal hukum itu sudah banyak yang saya tampung. Tapi karena kapasitas saya yang terbatas, saya tidak berani memberikan solusi atau arahan. Forum ini memberikan saya ilmu yang lebih untuk memahami tentang bagaimana mendampingi hukum untuk teman-teman disabilitas,” ujarnya.

Teguh dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Jawa Tengah juga mengaku telah mendapatkan ilmu yang bermanfaat tentang sistem hukum di Indonesia. “Saya rasa ini sangat penting untuk teman-teman Tuli, karena kami banyak yang menjadi korban kekerasan dan diskriminasi, tapi tidak paham bagaimana sistem hukumnya,” tuturnya.

Sebagai informasi, pelatihan melibatkan peserta dari organisasi penyandang disabilitas di berbagai wilayah pengadilan dampingan SAPDA, yakni: Yogyakarta, Jakarta, Solo, Klaten, Blora, Sragen, Kebumen, Malang, Kediri, Purbalingga, Karanganyar, Semarang, Wonosobo, Temanggung, Cikarang dan Pati. Aparatur pengadilan Pengadilan Negeri Cikarang yang juga penyandang disabilitas turut mengikuti pelatihan ini.

Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Koordinator Program AIPJ Muhammad Hafiz mengatakan pelatihan ini merupakan bentuk upaya mendorong kebijakan afirmatif bagi penyandang disabilitas. “Situasi-situasi rentan yang dialami disablitas tidak serta merta dapat diselesaikan ketika tidak diberikan afirmasi,” katanya.

Hafiz menuturkan, dalam kondisi masyarakat yang penuh kesenjangan, kebijakan yang mengedepankan netralitas, yakni menyamaratakan kebutuhan penyandang disabilitas dan tanpa disabilitas, justru akan melahirkan diskriminasi. Karena itulah kebijakan afirmatif sangat dibutuhkan.

“Salah satu yang perlu kita maksimalkan adalah mendorong agar kebijakan afirmatif bisa terimplementasi di tengah masyarakat, termasuk juga bagi pemerintah. Karena kalau tidak, kita akan membiarkan situasi-situasi kesenjanganyang sampai saat ini akan terus terjadi. Pada akhirnya UU Nomor 8 tahun 2016 tidak bisa diterapkan secara maksimal,” tandasnya.