KONDISI TERKINI PEMENUHAN HAK ATAS KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUAL REMAJA DENGAN DISABILITAS DI INDONESIA
1. Situasi Kebijakan yang berkaitan dengan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja dengan disabilitas :
– Pada bulan Oktober 2011 Indonesia telah melakukan pengesahan / ratifikasi Konvensi Hak penyandang Disabilitas / CRPD dengan UU No. 19 tahun 2011, dimana dalam pasal 24 secara tegas menyatakan. …..a) Menyediakan bagi orang-orang penyandang cacat dengan pelayanan dan program-program kesehatan yang layak, berkualitas, dan bebas biaya, sebagaimana disediakan bagi orang-orang lain, termasuk di bidang kesehatan seksual dan reproduksi serta program-program kesehatan publik yang berdasarkan pada populasi;
– Pada tahun 2014, Indonesia telah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 mengenai kesehatan reproduksi, pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja bertujuan untuk a) mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya yang dapat berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi; dan b) mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggung jawab.
– Terkait dengan informasi dan layanan kesehatan reproduksi kepada remaja dengan disabilitas diamanatkan dalam beberapa kebijakan diantarannya adalah kebijakan pemerintah yaitu Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementrian Kesehatan RI tahun 2010 tentang Pedoman Layanan Kesehatan Anak Bagi Sekolah Luar Biasa. Dalam kebijakan tersebut secara jelas tertuang bagaimana layanan kesehatan reproduksi termasuk pemberian informasi dan konseling akan diberikan kepada siswa SLB dengan keragaman disabilitas
– Bahwa pemerintah Indonesia sudah mempunyai program-program seperti KRR Kesehatan Reproduksi remaja yang kemudian dijalankan oleh pemberi layanan kesehatan dasar (puskesmas).
-Dilevel provinsi sudah ada daerah yang memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak secara spesifik yaitu PERDA DIY No. 4 tahun 2012 mengenai Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas pasal Pasal 54” Setiap Penyandang Disabilitas mempunyai hak dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi dari SKPD dan SKPD Kabupaten/Kota dan/atau lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan”
Dalam konteks ini pemenuhan hak atas informasi dan layanan kesehatan reproduksi pada remaja dengan disabilitas sebetulnya sudah mendapatkan jaminan hukum yang sangat kuat dari tingkat nasional sampai daerah, bahkan sudah ada panduan pelaksanaannya.
2. Situasi pemahaman hak kesehatan reproduksi dan seksual pada remaja dengan disabilitas
Berdasarkan Baseline SAPDA di 5 kabupaten/kota di Indonesia tahun 2014 yaitu 220 remaja dengan disabilitas dengan beragam disabilitas yaitu di Kota Jogja, Malang, Kupang, Banda Aceh dan Kabupaten Klaten memperlihatkan bahwa :
– Proporsi Remaja dengan Disabilitas Berdasarkan Masa Pubertas adalah bahwa dari 97 remaja laki-laki 69,1 % sudah mimpi basah dan 30,9 % mengatakan belum. Responden remaja perempuan ada 92,5 % yang menyatakan sudah menarche dan 7,5 % menyatakan belum.
– Dari data terlihat terkait dengan rata-rata Usia Pubertas Berdasarkan Jenis Disabilitas, yaitu bahwa untuk remaja laki-laki dengan disabilitas wicara mengalami pubertas paling awal dari disabilitas lain yaitu 11,67 tahun, sedangkan remaja laki-laki dengan disabilitas netra paling lambat yaitu 14,57 tahun. Untuk remaja perempuan dengan disabilitas wicara mengalami pubertas paling cepat yaitu 12 tahun, dan yang paling lambat adalah remaja perempuan dengan disabilitas mental yaitu 13,32 tahun. Secara umum, masa pubertas responden remaja dengan disabilitas, masih dalam rentang usia normal, yaitu antara usia 8-13 tahun untuk perempuan, dan antara usia 9-15 tahun untuk laki-laki.
– Proporsi Remaja dengan Disabilitas Berdasarkan Akses Informasi Kesehatan Reproduksi bahwa 63 % menyatakan sudah mendapat informasi sedangkan 37 % mengatakan tidak mendapatkan informasi.
– 5 Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Dengan Disabilitas, tertinggi adalah guru yang mencapai 47,8 % diikuti oleh ibu 27,2%, televisi 27,2%, buku 22,8 % dan teman 16,2 % (responden bisa memilih dari 1 sumber). Hal ini cukup berbeda dengan 5 Sumber Informasi tertinggi Orang tua Mengenai Kesehatan Reproduksi adalah televise 42,5%, dokter 32,5%, perawat/bidan 32,5%, buku 22,5%, dan radio 22,5%.
– Pendapat Remaja dengan Disabilitas tentang Informasi Kesehatan Reproduksi adalah 37 % menyatakan sangat penting, 47 % menyatakan penting, 13% menyatakan biasa saja dan 6 % menyatakan tidak penting.
-Topik-topik yang didapatkan remaja dengan disabilitas dari sumber informasi tersebut di atas adalah :
1) Cara menjaga kesehatan reproduksi
2) Perkembangbiakan manusia
3) Kesehatan reproduksi untuk remaja
4) Kebersihan organ reproduksi
5) Pergaulan bebas
6) Seks Bebas
7) Remaja sehat
8) Reproduksi perempuan
9) Reproduksi manusia
3. Situasi layanan informasi dan kesehatan seksual reproduksi pada remaja dengan disabilitas
Bahwa berdasarkan penelitian itu juga memperlihatkan bahwa remaja dengan disabilitas belum sepenuhnya menikmati akses atas layanan kesehatan reproduksi dan seksual yang mereka butuhkan, yaitu :
– Akses Remaja Dengan Disabilitas pada Layanan Kesehatan Reproduksi adalah bahwa 37,7 % remaja dengan disabilitas pernah mendapatkan informasi dan 15, 2 % remaja dengan disabilitas mendapatkan layanan kesehatan konseling kesehatan reproduksi.
– Tempat Layanan Kesehatan Reproduksi yang diakses Remaja dengan Disabilitas adalah puskesmas yang mencapai 39,4 %, Rumah Sakit 21,2 % dan lainnya (Keluarga, kunjungan mahasiwa dan sekolah) yang mencapai 33,3 %.
– Pendapat Remaja Dengan disabilitas tentang Layanan Kesehatan Reproduksi, menyatakan bahwa 28 % menyatakan bahwa layanan kesehatan reproduksi sangat penting, 51,6 % menyatakan penting, biasa 13 % dan tidak penting 8 %.
4. Situasi dan hambatan remaja dengan disabilitas mengakses informasi dan layanan kesehatan
Adapun beberapa hambatan yang dialami oleh remaja dengan disabilitas dalam mendapatkan informasi dan layanan kesehatan kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah sebagai berikut
a) Hambatan individu
Hambatan individu adalah hambatan yang disebabkan disabilitas dan personal yang yang dialaminya, seperti mengalami hambatan untuk melihat, mendengar, mengingat sesuatu, tidak percaya diri dan malas.
b) Hambatan keluarga
Hambatan keluarga adalah hambatan yang disebabkan oleh keluarga seperti pembatasan informasi atau proteksi keluarga terhadap remaja dengan disabilitas dan sebagainya, seperti larangan dari orang tua untuk membicarakan tentang kesehatan reproduksi pada orang lain, dilarang keluar rumah, dilarang bergaul terhadap orang lain.
c) Hambatan lingkungan
Hambatan lingkungan fisik adalah hambatan karena kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang tidak dapat dijangkau oleh remaja dengan disabilitas. Fisik, seperti halnya adalah rumah yang jauh, transportasi yang tidak terjangkau, puskesmas tidak akses
d) Hambatan program
Hambatan program berkaitan dengan kebijakan pemerintah atau program dari DPO maupun NGO yang belum menyentuh masalah kesehatan reproduksi bagi remaja dengan disabilitas, misalnya adalah bahwa tidak adanya program yang focus mengenai kesehatan reproduksi bagi remaja dengan disabilitas, tidak adanya sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi, tidak adanya guru yang mengajar dll.
e) Hambatan lingkungan sosial budaya.
Hambatan lingkungan sosial budaya adalah hambatan yang berkaitan kehidupan sosial remaja dengan disabilitas yang menyebabkan remaja disabilitas tidak dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan reproduksi, seperti halnya adalah stigma bahwa penyandang disabilitas merupakan orang yang tidak berguna, kesehatan reproduksi dan seksualitas tabu untuk dibicarakan
Hambatan N %
Tidak menjawab/tidak ada hambatan 58 26,7
Individu 41 18,9
Keluarga 6 2,8
Lingkungan Fisik 3 1,4
Program 74 34,1
Lingkungan Sosial 35 16,1
Total 217 100,0
5. Sedangkan hambatan yang dihadapi oleh pemberi layanan kesehatan adalah sebagai berikut :
a. Pemerintah, DPO maupun NGO kurang memperhatikan hak remaja disabilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi karena belum menghubungkan antara program kesehatan reproduksi & seksual dengan program-program yang berhubungan dengan disabilitas.
b. Dinas Kesehatan telah mempunyai program untuk kesehatan remaja, yang diselenggarakan di Puskesmas, misal di Yogyakarta terdapat Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan di Klaten terdapat program Kesehatan Reproduksi Remaja (KKR) tetapi memang belum ada yang spesifik mengenai kesehatan reproduksi bagi remaja dengan disabilitas
c. Puskesmas belum mengembangkan pelayanan kesehatan remaja untuk remaja dengan disabilitas, karena belum mengetahui kebutuhan remaja disabilitas. Namun pelayanan kesehatan remaja justru kurang ramah terhadap remaja apalagi remaja dengan disabilitas, karena jam pelayanan yang tidak dapat diakses oleh remaja sekolah.
d. DPO dan NGO sebagai mitra pemeritah dalam mengatasi masalah sosial juga belum berkontribusi besar terhadap pemenuhan hak atas kesehatan remaja dengan disabilitas. Karena masih adanya gab informasi dan komunikasi antara organisasi yang bekerja untuk isu disabilitas dan isu kesehatan reproduksi. Sehingga mereka masih belum memberikan prioritas pada isu yang lain dan kemudian diintegrasikan dalam program yang telah dimiliki.