Akses terhadap pergaulan bebas di era globalisasi memungkinkan siapa pun untuk menyalahgunakan organ reproduksinya, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya analisa sosial kesehatan reproduksi oleh Remaja Inklusi Hak Kesehatan dan Reproduksi (HKSR) Kabupaten Jember.
Analisa sosial dilakukan sejak 28 Mei hingga 28 Juli tahun 2020 lalu, di bawah bimbingan langsung Sentra Advokasi Perempuan Difabel, dan Anak (SAPDA) dengan bermitra bersama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (IKIP PGRI) Kabupaten Jember.
Analisa sosial mengambil sampel berupa remaja disabilitas dan non disabilitas, komunitas, dan orang tua di Kabupaten Jember. Sampel antara lain tersebar di Kecamatan Ambulu, Kecamatan Anjung, Kecamatan Sukorambi, Kecamatan Panti, dan Kecamatan Sumbersari.
“Kami mengambil lima kecamatan ini karena kecamatan-kecamatan inilah yang mudah dijangkau oleh teman-teman remaja inklusi HKSR Jember,” kata Salman, perwakilan Remaja Inklusi HKSR Jember sekaligus field officer, saat mendiseminasikan hasil analisa sosial pada Jumat (15/1) lalu.
Penggalian data berupa wawancara menghasilkan temuan bahwa sebagian besar masyarakat di lima Kecamatan sasaran di Kabupaten Jember begitu berjarak dengan isu kesehatan reproduksi. “Mayoritas remaja mengetahui tentang kesehatan reproduksi, namun masih memandang sebagai sesuatu yang tabu untuk dibahas,” kata Salman.
Kondisi tersebut disebabkan karena kebanyakan remaja baik penyandang disabilitas dan non-disabilitas di Kabupaten Jember jarang memperoleh sosialisasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dari pemerintah maupun layanan kesehatan.
Edukasi mengenai isu tersebut hanya datang dari sekolah, dan jamak menyasar pada siswa yang aktif di Organisasi Siswa Intra Seolah (OSIS). “Maka dari itu, remaja di pedesaan tentunya jarang tersentuh sosialisasi masalah kespro,” ungkap Salman.
Temuan yang sama juga didapati pada komunitas. Salman mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap isu kesehatan reproduksi sebagai sesuatu yang kurang sopan untuk didiskusikan. “Mereka rasa masih belum pantas untuk disampaikan kepada usia remaja atau bahkan anak-anak,” kata Salman.
Selain itu, banyak pula warga di Kabupaten Jember yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan informasi dasar mengenai apa itu kesehatan seksual dan reproduksi. “Bagaimana mereka harus merawat (alat reproduksi), mereka juga masih kurang mengetahuinya,” ujar Salman.
Terakhir, pada kelompok orang tua, analisa sosial membuktikan bahwa mayoritas dari mereka masih awam terhadap isu kesehatan seksual dan reproduksi, terutama para orang tua yang tinggal di lingkungan pedesaan. “Hanya sebagian kecil yang menganggap edukasi mengenai kespro penting untuk disampaikan kepada anak sejak usia dini,” jelas Salman.
Kerjasama dengan Pemerintah Daerah
Menanggapi hasil analisa sosial tersebut, Suprihandoko dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Jember, mengajak teman-teman dari komunitas Remaja Inklusi HKSR Jember untuk bergabung dalam Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) yang dikelola Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
“Di Kabupaten Jember cukup banyak (PIKR-nya). Barangkali teman-teman setelah ini bisa melacak dan bergabung di pusat-pusat informasi dan konseling remaja untuk menyosialisasikan materi-materi tentang kesehatan seksual dan reproduksi remaja disabilitas,” kata Suprihandoko.
Ada pun Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, yang diwakili oleh Dwi Handarisasi juga mengajak anggota komunitas Remaja Inklusi HKSR Jember untuk bekerjasama dalam pembuatan mekanisme edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi yang menyasar langsung ke masyarakat umum.
Upaya ini penting, mengingat edukasi tentang isu tersebut masih hanya berlangsung melalui jalur pendidikan. Pihak Dwi selama ini sudah menyosialisasikan buku panduan kesehatan seksual dan reproduksi mulai untuk setiap tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sosialisasi dilakukan kepada kelompok orang tua dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) di setiap sekolah di Kabupaten Jember. “Jadi mungkin di akhir sesi ini kita membuat kegiatan, kira-kira kegiatan apa yang bisa kita lakukan bersama, untuk bisa menyentuh langsung ke masyarakat,” kata Dwi.
Asrorul Mais, perwakilan dari IKIP PGRI Jember pun menyambut baik ajakan dari Suprihandoko dan Dwi. Sebab, menurutnya kebijakan-kebijakan terkait edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Jember masih berorientasi pada masyarakat umum.
Kondisi itu ditemukan baik pada program PIKR milik BKKBN Jember, maupun sosialisasi buku panduan kesehatan seksual dan reproduksi untuk sekolah milik Dinas Kesehatan Jember. “Jadi belum ada bimbingan khusus atau teknik khusus bagaimana melakukan kegiatan yang sifatnya spesifik (untuk penyandang disabilitas),” jelas Asrorul.
Terlebih, edukasi kesehatan seksual dan reproduksi di Kabupaten Jember bagi penyandang disabilitas telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. “Dalam peraturan tersebut memang salah satu yang pemerintah wajib penuhi dalam hal ini adalah hak kesehatan reproduksi khusus untuk disabilitas,” jelas Asrorul.
Menambahkan Asrorul, Sholih Muhdlor dari hola Gender, Equality, Disability, & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA berharap ajakan kerjasama itu suatu saat bisa menghasilkan penyesuaian layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang sudah ada rumah sakit dan Puskesmas Kabupaten Jember agar lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.
“Ada hal-hal yang sebetulnya kita bisa lakukan tanpa harus mengubah drastis layanan yang selama ini ada. Misalnya terkait dengan memberikan informasi. Informasi untuk teman-teman disabilitas itu sebetulnya kontennya sama dengan informasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi yang diberikan kepada teman-teman tanpa disabilitas. Hanya memang model pendekatan yang harus berbeda,” kata Sholih.