Bagaimana Teknik Komunikasi Strategis Covid-19 bagi Disabilitas?

Sebagai kelompok marjinal, para penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki akses atas informasi terkait pencegahan dan penanganan Covid-19. Karena itu keterlibatan pihak ketiga sangat penting dalam membantu sosisalisasi pengetahuan yang penting terkait virus corona. Namun diperlukan strategi khusus agar pesan-pesan dalam sosialisasi dapat diterima dengan baik oleh penyandang disabilitas.

Inilah yang inti dalam paparan Rini Ririndawati dari hola Woman Disability Crisis Center (WDCC) Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) ketika membagikan cerita dalam pertemuan Kelompok Kerja Komunikasi Resiko dan Keterlibatan Komunitas (Risk Communication and Community Engagement Working Group/RCCE) Covid-19, Jumat (15/1).

Menurut Rini, ada sejumlah apsek yang patut dipertimbangkan ketika mengkomunikasikan pengetahuan terkait pandemi Covid-19 kepada penyandang disabilitas. Pertama adalah bentuk media yang hendak digunakan untuk mempublikasikan produk Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Saat menceritakan pengalamannya selama bekerja bersama SAPDA, Rini menyarankan untuk memaksimalkan teknologi seperti media sosial.

“Awal-awal kita menyebarkan informasi melalui WhatsApp. Kemudian kita juga membuat video terkait dengan Covid-19. Kita share di YouTube. Kalau antar antar komunitas, sharingnya melalui telepon atau media-media yang dapat dijangkau oleh kawan-kawan disabilitas. File-file pengetahuan bisa dishare melalui Instagram atau Facebook. Paling tidak mereka tidak keluar rumah tapi masih tetap mendapatkan informasi,” jelas Rini.

Kedua, adalah lokasi kelompok penyandang disabilitas. Ini penting untuk mengukur keterjangkauan informasi. “Bagaimana sih lokasi teman-teman disabilitas? Apakah di kota atau di desa? Atau di wilayah yang mereka kadang-kadang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan umum,” kata Rini.

Ketiga, adalah situasi dan kondisi yang mengelilingi kelompok penyandang disabilitas. Misalnya, apakah mereka memiliki kondisi kesehatan yang rentan atau sedang mengalami keterpurukan secara ekonomi. “Kadang-kadang itu juga mempengaruhi informasi yang bisa masuk ke mereka,” ujar Rini.

Terakhir, adalah ragam disabilitas. Menurut Rini, jenis disabilitas yang disandang mempengaruhi cara seseorang dalam menerima informasi. Maka dari itu, penting bagi para pemangku kepentingan untuk menyesuaikan bentuk informasi terkait pandemi Covid-19 sesuai dengan ragam disabilitasnya.

Misalnya, untuk penyandang disabilitas sensorik, seperti teman-teman tuli dan tuna wicara. Mereka bisa diberikan informasi dalam bentuk audio visual. Rini pun mengingatkan agar itu tersinkronisasi dengan subtitle dan Juru Bahasa Isyarat (JBI).

Ada pun untuk individu dengan hambatan netra, mereka memerlukan informasi berbentuk audio atau tulisan braille. Ada pun yang memiliki penglihatan rendah, konten informasinya harus jelas secara ukuran huruf dan penggunaan warna. “Bentuknya juga harus mereka untuk melihat itu bisa digerakan, diperbesar,” jelas Rini.

Informasi tersebut pun juga harus disampaikan dengan memperhatikan etika. Rini mengatakan bahwa ada cara tersendiri ketika berinteraksi dengan penyandang disabilitas sensorik. “Ketika memanggil itu kan banyak cara. Salah satunya dengan untuk teman tuli menepuk pundak. Untuk teman-teman netra, menggandeng,” ujarnya.

Selanjutnya untuk penyandang disabilitas intelektual dan mental, Rini menyarankan untuk tidak memberikan informasi seluruhnya sekaligus. Sebagai individu dengan gangguan jiwa dan hambatan berpikir, mereka lebih mudah menerima informasi sedikit demi sedikit.

“Kadang-kadang juga infomasi tersebut tidak bisa lembar per lembar itu diberikan, tetapi mungkin dengan video, gambar, informasi dengan bahasa yang sangat sederhana dan bisa dipahami oleh mereka. “Sulit memang untuk menyampaikan informasi dan arahan kepada mereka,” terang Rini.

Terkhususkan bagi penyandang disabilitas usia anak, Rini merekomendasikan petugas sosialisasi untuk meniru cara-cara kreatif yang sering dipraktikan oleh orang tua. “Yang sering dilakukan orang tua ketika memberikan edukasi terkait dengan Covid-19, adalah membuat satu teknik komunikasi sendiri dengan berbagai variasi agar anaknya tetap mau bertahan di rumah,” kata Rini.

RCCE Covid-19 sendiri mengumpulkan berbagai organisasi kemanusiaan dan pemerintah di seluruh dunia. Proyek internasional yang didirikan pada Februari tahun 2020 ini, bertujuan mendiskusikan isu komunikasi resiko dan juga dari perlibatan masyarakat dalam di tengah pandemi virus corona.

Di Indonesia sendiri, RCCE Covid-19 dimpimpin oleh Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) dan Organisasi Pendanaan Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Children’s Fund (Unicef).

Ada pun pihak-pihak dalam negeri yang dilibatkan antara lain gugus tugas Covid-19 nasional, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Palang Merah Indonesia, hingga organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Perwakilan IFRC untuk Indonesia, Tyas, mengatakan bahwa pengetahuan dari SAPDA mengenai komunikasi strategis terhadap penyandang disabilitas di tengah pandemi Covid-19 sangat penting mengingat banyak lembaga dan tenaga relawan yang bersentuhan langsung dengan kelompok penyandang disabilitas di lapangan.