Sistem rujukan layanan bagi anak dan perempuan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum perlu dibangun berbasis kebutuhan khusus tiap ragam disabilitas. Upaya ini bisa dilakukan dengan melakukan penilaian personal sebagai bagian dari penyediaaan akomodasi yang layak di dalam pelayanan.
Hal ini ditegaskan oleh perwakilan Women Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA Tio Tegar Wicaksono saat memberikan pemaparan pada kegiatan lokakarya Overview Kebijakan dan Sistem Rujukan Perdata dan Pidana untuk Perempuan dan Anak dengan Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum, pada Rabu (27/10) dan Kamis (28/10) di Kayla Hotel.
“Lembaga penyedia layanan harus mengadakan penilaian personal sebagai instrumen yang berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan layanan disabilitas yang harus dipenuhi di lembaga pengada layanan seperti pendamping psikolog untuk teman mental dan intelektual, Juru Bahasa Isyarat untuk tuli, dan dokumen softcopy untuk netra,” kata Tio.
Menegaskan Tio, Wakil Ketua PN Yogyakarta Muhammad Djauhar Setyadi mengatakan penilaian personal membantu pengadilan dalam menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. “Penilaian personal ini sangat penting, tidak hanya sifatnya administratif atau teknis, tetapi lebih ke substansi” tegas Djauhar.
Djauhar pun menambahkan sistem rujukan perlu berkesinambungan yang tidak terlepas sendiri-sendiri. Menurutnya ini penting sebagai upaya untuk memberikan pelayanan optimal bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Menurutnya hal tersebut tidak berhenti pada peningkatkan fasilitas layanan, namun juga peningkatan perspektif aparatur pengadilan terkait isu disabilitas. “Terutama bagi para hakim, tidak cukup hanya dengan memberikan sosialisasi, karena belum semua punya perspektif yang sama terkait disabilitas” imbuh Djauhar.
Sementara itu, perwakilan UPT PPA Catur Udi Handayani mengakui lembaganya membutuhkan peningkatan sumber daya dan layanan agar lebih memadai dalam melakukan penanganan kasus atau sekedar mendampingi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Lembaganya pun juga belum menyediakan layanan khusus bagi penyandang disabilitas. “Namun, ketika penyandang disabilitas dalam proses pidana membutuhkan pendamping hukum, maka kami teman-teman konselor hukum akan mendampingi dari awal pelaporan sampai proses keputusan” tambah Catur Udi Handayani
Perwakilan Polresta Kota Yogyakarta Briptu Lani juga mengatakan pihaknya agak kesulitan dalam penanganan kasus disabilitas. Ini disebabkan karena tidak adanya anggaran khusus untuk penanganan kasus penyandang disabilitas. Serupa dengan UPT PPA, di Polresta sendiri belum ada unit layanan pidana umum khusus penyandang disabilitas.
“Karena itu, jika terdapat difabel yang mengalami tindak pidana seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau pencabulan, kami limpahkan kepada unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta” tambah Lani.
Lani lantas membagikan pengalamannya dalam menangani kasus pemerkosaan dengan korban anak penyandang disabilitas. Ia mengatakan pihaknya membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikan proses permintaan keterangan dan pembuktian. Namun Lani bersyukur karena kasus ini mendapatkan dukungan dari berbagai lembaga.
Kala itu, pihaknya bekerjasama dengan UPT PPA, SIGAB dan pengadilan negeri. “Menurut saya ini cukup baik untuk kita sama-sama bersinergi ke depannya untuk kepentingan korban penyandang disabilitas” ucap Lani.
Di samping itu, perwakilan PA Yogyakarta Marfuah bercerita bahwa pihaknya sudah menyediakan fasilitas pelayanan bagi penyandang disabilitas, hanya saja belum menjalin kerjasama dengan organisasi psikolog. Menurutnya tantangan terbesar adalah ketika menangani kasus perebutan warisan dari keluarga penyandang disabilitas.
Sebagai informasi, lokakarya lokakarya Overview Kebijakan dan Sistem Rujukan Perdata dan Pidana untuk Perempuan dan Anak dengan Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum bertujuan untuk menganalisis perbaikan yang perlu dilakukan guna menciptakan sistem rujukan yang ramah bagi perempuan dan anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Lokakarya melibatkan beberapa pemangku kepentingan baik pemerintah maupun penyedia layanan, antara lain Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta; Pengadilan Agama (PA) Yogyakarta; Polresta (Kepolisan Resor Kota Besar) Yogyakarta; Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Kota Yogyakarta; Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB); Rifka Annisa dan beberapa lembaga yang menerima penanganan kekerasan.
Perwakilan Gender, Equality, Disability & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA Sri Surani, berharap lokakarya ini dapat merumuskan konsep sistem rujukan yang ideal untuk perempuan dan anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Nantinya konsep tersebut akan diusulkan kepada pemerintah untuk diimplemementasikan.
Sukiratnasari selaku fasilitator berharap segala yang telah didiskusikan selama dua hari lokakarya dapat ditindak lanjuti oleh setiap lembaga yang ada. Ia juga berharap Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga penyedia layanan saling melakukan sinkronisasi kebijakan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas.