Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA) melakukan perjanjian kerjasama antara Pengadilan Negeri (PN) Sragen dan PN Semarang pada Senin (25/10) dan Selasa (26/10) Oktober 2021. Perjanjian ini menandai kesediaan SAPDA untuk mendukung kedua pengadilan dalam mewujudkan komitmennya menghadirkan pengadilan inklusif.
Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani mengatakan bahwa antara pengadilan dan SAPDA saling membutuhkan demi menghadirkan pengadilan yang ramah disabilitas. Ia mengungkapkan apresiasinya perihal semakin banyaknya pengadilan yang berkomitmen untuk menghadirkan layanan yang inklusif.
“Fasilitas untuk difabel harus diadakan secara bertahap agar layanan di pengadilan semakin membaik. Acara ini adalah sebagai bentuk dukungan SAPDA terhadap pengadilan baik dari implementasi maupun pemanfaatan yang tepat” ucap Nurul.
Ketua PN Sragen Henny Trimira Handayani mengucapkan terima kasih kepada SAPDA yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji kelayakan pelayanan PN Sragen untuk disabilitas. Ia juga menegaskan bahwa ini adalah kewajiban semua pihak untuk melayani semua orang tanpa pandang bulu.
Ia juga mengatakan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama, sehingga pihaknya perlu memfasilitasi kebutuhan semua orang termasuk teman-teman penyandang disabilitas. “Kami ingin meningkatkan kualitas (pelayanan disabilitas) di atas rata-rata” kata Henny.
Senada dengan Henny, Ketua PN Semarang Agus Rusianto juga mengapresiasi kehadiran SAPDA. Ia lebih lanjut berharap PN Semarang dan SAPDA dapat bekerjasama dengan baik dalam memberikan pelatihan terkait disabilitas ke semua aparatur pengadilan.
“Kami masih awam dalam hal ini (pelayanan untuk difabel). Kami hanya belajar lewat literatur saja. Saya berharap agar SAPDA dapat membantu sehingga PN Semarang dapat memenuhi hak pelayanan bagi disabilitas” ucap Agus.
Selain penandatanganan perjanjian kerjasama, SAPDA juga memberikan materi tentang ragam, kebutuhan dan etika berinteraksi disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Materi diberikan langsung oleh manajer program SAPDA Ayatullah (Miko) dan koordinator Women Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA Fatum Ade kepada jajaran pimpinan, hakim, panitera, petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan petugas keamanan.
Micko menjelaskan bahwa meskipun disabiltas jarang terlibat dengan proses hukum di pengadilan, bukan berarti pengadilan tidak perlu aksesibel atau inklusi. Menurutnya inklusi adalah turunan dari Bhineka Tunggal Ika, ini yang mewajibkan pengadilan tidak membeda-bedakan pelayanan bagi siapapun termasuk teman-teman disabilitas.
Lebih lanjut Micko menjelaskan bagaimana pengadilan itu bisa inklusi salah satunya adalah dengan melatih petugas agar punya perspektif disabilitas sehingga memiliki sensitifitas. “Jangan sampai ada temen netra yang lewat ke pengadilan langsung dikasih uang” ucap Micko.
Melengkapi Micko, Fatum Ade juga menegaskan bahwa semua orang bisa menjadi difabel. Lebih jelas ia mengatakan bahwa semua orang bisa menjadi difabel bisa karena faktor bencana alam, usia, kecelakaan, dan virus. Karena itu negara harus menyiapkan sarana pendukung yang baik, serta kebijakan publik yang memperhatikan aksebilitas teman-teman difabel.
Kegiatan kemudian disusul dengan pelatihan etika berinteraksi dengan disabilitas, seperti cara mengarahkan penyandang disabilitas netra, cara mendorong kursi roda bagi penyandang disabilitas fisik, hingga cara alternatif berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tuli.
Selain itu, SAPDA juga melakukan ujicoba fasilitas dan layanan PN Sragen dan PM Semarang, melibatkan komunitas penyandang disabilitas setempat. Fasilitas dan layanan yang diujicoba antara lain ruang tunggu prioritas, toilet khusus penyandang disabilitas, kartu prioritas, tempat parkir khusus penyandang disabilitas, guiding block hingga ruang sidang.
Wahyudi perwakilan duta inklusi Sragen mengapresiasi langkah PN Sragen yang memiliki semangat untuk menghadirkan pengadilan inklusi. Menurutnya PN Sragen sudah baik dalam menghadirkan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
Ia pun berharap agar semua layanan publik akan menjadi inklusi sesuai mengingat adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. “Harapan saya inklusi, di setiap unit layanan menerima penyandang disabilitas” jelas Wahyudi.
Program ini merupakan bentuk dukungan SAPDA untuk merealisasikan Surat Keputusan (SK) Badan Peradilan Umum (Badilum) Nomor 1692/DJU/SK/ PS.00/12/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
PN Sragen dan PN Semarang adalah PN ke 28 dan 29 yang bekerjasama dengan SAPDA untuk menghadirkan pengadilan yang inklusif dan ramah disabilitas. Program ini berlangsung di bawah dukungan pendanaan oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).