Hasil Pemeriksaan Psikologis (HPP) dapat membantu lembaga layanan untuk mengidentifikasi kondisi psikososial penyintas kekerasan sebagai bentuk alat bukti. Namun dalam penyelesaian kasus kekerasan yang melibatkan penyintas penyandang disabilitas, HPP tidak hanya menjadi penguat alat bukti melainkan juga hadir sebagai bentuk akomodasi yang layak.
“HPP juga termasuk akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Ini sesuai dengan PP Nomor 39 Tahun 2020”, kata Arini Robbi Izzati, Konselor Hukum Rumah Cakap Bermartabat (RCB) Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA) saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk Peluang dan Strategi Penggunaan Hasil Pemeriksaan Psikologi (17/11).
Arini menegaskan, HPP memiliki posisi penting untuk memudahkan penyandang disabilitas memperoleh keadilan. Ia lantas menceritakan pengalamannya ketika mendapati penyandang disabilitas Tuli dan intelektual penyintas kekerasan yang kesaksiannya diragukan karena hambatan yang dimiliki.
Menanggapi Arini, Hartanti Rahayu dari Rifka Anissa Women Crisis Center (WCC) juga berpendapat bahwa HPP sangat efektif dalam membantu penyelesaian kasus kekerasan. Menurutnya perlibatan HPP memberikan banyak kemudahan, terutama dalam memperkuat pembuktian dan membantu korban kekerasan memperoleh keadilan. “Ini terbukti dengan hukuman yang didapat pelaku, biasanaya 7 sampai 14 tahun penjara”, kata Hartanti.
Sementara itu, Pembantu Unit Reserse dan kriminal (Panit Reskrim) Kepolisian Sektor (Polsek) Kotagede Ipda Andy Arciana memperinci bahwa HPP berperan penting dalam penyelidikan dan penyidikan, terlebih jika korban adalah penyandang disabilitas. Menurutnya, HPP memiliki peran penting ketika pihaknya membutuhkan dukungan ahli.
“Disinilah peran penting HPP, bisa sebagai akomodasi yang layak sekaligus alat bukti. HPP bisa membantu pihak kepolisian untuk memberikan pendampingan yang tepat, seperti penyediaan psikolog, agar bisa dimintai kesaksian ahlinya. Ini terutama dibutuhkan ketika menangani disabilitas mental dan intelektual”, tambah Arci.
Lebih lanjut Arci menjelaskan bahwa praktik penggunaan HPP seperti itu telah diatur di dalam Kitab Umum Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 186. Pasal tersebut sudah secara tegas mengatur bahwa keterangan psikolog bisa menjadi pendukung alat bukti di dalam penanganan kasus.
Di samping itu, Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Sri Wiyanti, melengkapi bahwa penggunaan HPP mencerminkan prinsip Restorative Justice yang terwujud dalam bentuk kerjasama antara Aparat Penegak Hukum (APH) dengan lembaga penyedia layanan. Menurutnya, prinsip tersebut telah terlihat di dalam webinar ini.
“Webinar ini mengiplikasikan bahwa prinsip Restorative Justice jalan, karena dari berbagai pihak saling berdiskusi dan berdialog tentang keresahannya dalam menangani kasus disabilitas. Kita sama-sama belajar agar melahirkan inovasi yang baru untuk lembaga kita masing-masing” ucap Sri.
Fianti Mayasari, salah satu peserta webinar memberikan respon positif. Sebagai ibu dari anak penyandang disabilitas intelektual grahita, ia juga sepakat bahwa HPP sangat penting guna memfasilitasi penyandang disabilitas dengan hambatan konsentrasi yang berhadapan dengan hukum.
“Mungkin ke depannya juga bisa ada seperti pelatihan untuk APH atau SDM (Sumber Daya Manusia), supaya nanti prosesnya bisa berjalan lancar, terkhusus ketika menghadapi penyandang disabilitas intelektual yang membutuhkan kesabaran,” kata Maya.
Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian promosi layanan Rumah Cakap Bermartabat atau RCB SAPDA yang menghadirkan lembaga layanan dari berbagai daerah di Indonesia. RCB SAPDA menyediakan layanan konseling hukum dan psikologis yang dapat diakses melalui kontak 0813 9266 9448 (WhatsApp) baik dalam bentuk panggilan suara, pesan teks maupun panggilan video.