Restitusi merupakan hak atas ganti rugi bagi korban tindak pidana yang diberikan oleh pelaku. Dalam kasus kekerasan, restitusi memiliki manfaat penting dalam pemulihan ekonomi dan sosial korban, sekaligus pengakuan atas kerugian yang ia alami akibat kekerasan. Sayangnya, pemenuhan restitusi di dalam penanganan kekerasan berbasis gender dan disabilitas masih menemui banyak hambatan.
Setidaknya demikian salah satu temuan penting yang mengemuka di dalam diskusi kelompok terarah (FGD) Sistem Rujukan Berbasis Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas, yang diselenggarakan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) bersama berbagai lembaga penyedia layanan di Jombang, Jawa Timur, pada Kamis (16/5) lalu.
Hambatan terkait dengan pemenuhan restitusi bagi penyandang disabilitas korban kekerasan diceritakan oleh Mundik, salah satu peserta diskusi Women Crisis Center (WCC) Jombang. Berdasarkan pengalaman Mundik, hambatan tersebut sudah dirasakan bahkan sejak lembaganya menjangkau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), institusi yang memiliki wewenang dalam memfasilitasi layanan restitusi.
“Kami waktu itu mengkontak salah satu bagian penerima kasus di LPSK per tanggal 20 oktober 2023, baru direspon itu tanggal 7 November 2023, dan baru dilakukan kunjungan lapangan itu 22 November 2023,” kata Mundik.
Hambatan kemudian berlanjut ketika sampai pada perhitungan restitusi, yang menurut pengalaman Mundik, prosesnya juga memakan waktu cukup lama. “(Restitusi) sudah masuk tuntutan, tetapi ternyata (hasil perhitungan restitusi) baru diberikan oleh pihak LPSK itu satu hari sebelum pembacaaan tuntutan. Padahal JPU (Jaksa Penuntut Umum) waktu itu sudah membuat berkas tuntutannya sudah lengkap. Jadi JPU mau enggak mau menunda, karena kan berkas perhitungan restitusi itu terlambat,” jelasnya.
Tak sampai di situ, pemenuhan restitusi oleh pelaku juga memiliki hambatannya tersendiri. Mundik bercerita, sampai ia berpartisipasi di dalam diskusi ini, pelaku belum memberikan restitusi. “Sebenarnya sudah diputus pada 5 April, tapi restitusi tersebut belum diberikan oleh pelaku. Restitusinya enggak banyak sih sebetulnya. Kalau enggak salah hanya 5.762.000. Hanya segitu. Tetapi ini belum kunjung dibayarkan oleh pelaku,” ujarnya.
Melengkapi Mundik, Dayu, peserta diskusi dari Pengadilan Negeri Jombang menghimbau agar perhitungan restitusi bisa berlangsung lebih cepat sebelum pembacaan tuntutan, sehingga ada waktu untuk menjelaskan hak tersebut kepada penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
“Mungkin (perlu) lebih cepat sebelum tuntutan, jadi kita bisa tanya sama terdakwa mengenai ini dan memberikan penjelasan juga. Ini kan anak orang. Perlu dijelaskan berapa biaya pemulihannya, dari mental, psikis, psikologi dan segala macam,” lengkapnya.
Selain itu, Dayu juga menyarankan agar biaya tiap kebutuhan khusus penyandang disabilitas perlu dimasukkan ke dalam restutusi secara detail. “Treatment-treatment itu kan juga harus. Seperti anak itu juga harus divaksin anti kanker serviks, terus di USG. Jangan cuma untuk baju sekolah yang rusak, makan, biaya parkir. Kalau perlu misalnya biaya home schooling juga dimasukkan, selama tetap logis dan tidak terlalu mahal untuk restitusi,” katanya.
Merespon Mundik dan Dayu, Syahrial dari LPSK Kabupaten Jombang menyampaikan, bahwa restitusi yang tidak terbayar secara normatif sebenarnya bisa digantikan dengan sita harta kekayaan. “Setelah menyita kemudian dilelang hartanya. Kalau dalam Perma (Peraturan Mahkamag Agung) ini jangka waktunya adalah 30 hari untuk melelang. Kemudian mekanismenya adalah 30 hari plus 14 hari,” katanya.
Hanya saja, implementasinya di lapangan masih bermasalah. Cara pandang aparat penegak hukum yang kebanyakan masih legalistik membuat putusan resitusi hanya berakhir di atas kertas, tanpa sita harta kekayaan. “Karena begini, sita harta kekayaan itu secara eksplisit itu hanya ada di dua Undang-Undang: Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang TPKS,” jelas pungkasnya.
Sementara itu, Olvi, peserta diskusi dari Dinas Sosial Kabupaten Jombang juga menegaskan bahwa restitusi perlu lebih banyak disosialisasikan sebagai salah bentuk hak korban. “Jadi kita dari Dinas Sosial itu ketika mendampingi jadi tahu dan bisa menjelaskan kepada korban,” jelasnya.
Sebagai informasi, FGD ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penanganan kasus KBGD yang dialami oleh penyandang disabilitas, serta informasi terkait pelaksanaan sistem rujukan berbasis pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas korban KBGD.
Kegiatan ini merupakan bagian dari langkah advokasi perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan yang terlaksana dengan dukungan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
Temuan-temuan yang diperoleh di dalam diskusi ini akan digunakan untuk mendukung penysunan kertas kebijakan terkait sistem rujukan inklusif yang akan diadvokasikan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
“Setelah ada policy brief, harapannya KemenPPPA bisa menyusun kebijakan tersebut, baik kebijakan secara terpisah, ataupun kebijakan yang terpadu dengan kebijakan-kebijakan yang lain,” kata Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani.