Pendahuluan
Pendidikan merupkan bagian dari hak asasi manusia bagi setiap warga negara yang dilindungi oleh Pancasila dan UUD 1945. Hak untuk mengakses pendidikan tidak membeda-bedakan dan bebas dari diskriminasi, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Meskipun demikian, pada kenyataannya ABK selama ini masih mendapat cukup banyak diskriminasi dalam mengakses pendidikan.
Salah satu kelompok ABK yang selama ini mengalami diskriminasi adalah penyandang disabilitas. Akibat rentannya diskriminasi, layanan dan fasilitas yang tidak aksesibel menyebabkan jumlah penyandang disabilitas usia lima (5) tahun ke atas yang berpartisipasi di sekolah hanya 5,48%. Angka tersebut jauh lebih timpang dibandingkan dengan yang bukan penyandang disabilitas, yakni 25,83%. Penyandang disabilitas yang belum atau tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,91%. Adapun penduduk usia 5 tahun ke atas yang bukan disabilitas dan belum sekolah hanya 6,17%. Sementara itu, penyandang disabilitas yang tidak bersekolah lagi sebesar 70,62%.
Selain hal tersebut, BPS juga mencatat semakin tinggi kelompok umur penyandang disabilitas, semakin rendah pula angka partisipasi sekolah (APS). APS tertinggi terjadi pada kelompok umur 7-12 tahun, yaitu sebesar 91,12% untuk penyandang disabilitas dan 99,29% untuk bukan penyandang disabilitas. Sementara itu, APS terendah terjadi pada kelompok umur 19-24 tahun, yaitu 12,96% untuk penyandang disabilitas dan 24,53% untuk penyandang bukan disabilitas. Di wilayah Provinsi DIY, berdasarkan data dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga per 31 Oktober 2016 jumlah penyandang disabilitas yang belum bersekolah sebanyak 1.592 anak. Angka tersebut relatif cukup besar mengingat jumlah penyandang disabilitas di DIY sebanyak 9.336 jiwa. Sekalipun data tersebut masih terjadi perdebatan di kalangan aktifis isu disabilitas terkait keakuratannya, setidaknya dapat menjadi salah satu acuan.
Hal ini mendorong pemerintah pusat maupun daerah melahirkan kebijakan dalam upaya meningkatkan angka partisipasi ABK. Untuk tataran nasional misalnya pemerintah melahirkan UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Secara khusus dalam bidang pendidikan melahirkan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya memuat tentang pendidikan bagi ABK. Untuk tataran Provinsi DIY melahirkan sejumlah perda maupun Pergub. Misalnya Perda No 4 Tahun 2012 Tentang Perlindaungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, termasuk dalam bidang pendidikan. Selain itu muncul pula Perda No 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya, Perda No 15 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Menengah, dan masih banyak lagi.
Salah satu Perda yang saat ini sedang dirancang DPRD DIY adala Perda Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Khusus. Setelah membaca dan mencermati Rancangan Perda tersebut, ditemukan beberapa kerancuan yang ada di dalamnya. Terlebih dengan situasi Perda No 4 Tahun 2014 yang saat ini sedang dalam proses amandemen oleh DPRD. Kerancuan paling krusial terkait dengan cakupan atau ruang lingkup dari Raperda ini, apakah pendidikan khusus untuk semua ABK atau hanya mencakup pendidikan bagi anak dengan disabilitas. Diperlukan adanya kejelasan ruang lingkup terkait rancangan perda ini karena selain berkaitan dengan amandemen Perda No 4 Tahun 2014 juga muatan isi, bahkan nama perda yang nantinya menyesuikan dengen ruang lingkup yang menjadi sasaran Raperda.
Pilihan Kebijakan
Sehubungan dengan hal tersebut perlu ditegaskan kepastian atau kejelasan dari Raperda ini, apakah titik poinnya pendidikan khusus bagi semua ABK atau pendidikan bagi anak dengan disabilitas. Hal ini untuk menentukan langkah selanjutnya sehubungan dengan adanya amandemen Perda No 4 Tahun 2014 Tentang Pemenuhan Hak Disabilitas. Selain soal keterkaitan dengan amandemen Perda No 4 Tahun 2014, juga berkaitan dengan muatan isi yang ada dalam Perda.
Selain berkaitan dengan amandemen Perda, juga terkait dengan muatan isi yang harus menyesuaikan dengan sumber hukum/regulasi terkait. Misalnya, UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, PP No 70 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, PP N0 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, hingga level Perda yang ada.
Jika merujuk pada semua ABK, maka ia akan mencakup pada anak dengan disabilitas, anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, anak korban bencana alam, maupun situasi khusus lainnya, misalnya anak yang berada di penjara atau rehabilitasi akibat perbuatan kriminal. Pentingnya mencakup semua hal tersebut dikarenakan dengan situasi yang dialaminya, membutuhkan penanganan khusus. Kita dapat berkaca dari anak korban bencana letusan merapi yang menghadapi bermacam kendala disebabkan situasi yang dialaminya. Situasi khusus tersebut disebabkan oleh, pertama, ada beberapa siswa dan guru yang turut menjadi korban letusan gunung Merapi, kedua, banyak anak-anak yang ikut mengungsi orang tua mereka, ketiga, banyak fasilitas sekolah baik sekolah dasar maupun sekolah menengah di lereng Merapi yang hancur atau rusak akibat letusan Merapi sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dan keempat, banyak bangunan sekolah yang dimanfaatkan sebagai lokasi pengungsian sehingga tidak dapat dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
Sejauh ini belum didapatkan data pasti terkait dengan anak korban bencana di DIY yang menghadapi situasi khusus terkait dengan pendidian. Meskipun demikian, sebagai gambaran gempa dan Tsunami yang melanda Palu dan sekitarnya dalam data Kementerian Pendidikan dan Kebudayan menyebabkan 2.736 Sekolah terdampak, serta sekitar 148.000 anak tidak bisa kembali ke sekolah. Angka tersebut relatif sangat besar dan membutuhkan akses dan layanan yang khusus, baik dalam hal fasilitas yang bersifat fisik maupun non fisik, misalnya terkait dengan pemulihan trauma yang memerlukan intervensi dari pemerintah.
Strategi Implementasi
- Hal pertama dan utama adalah mencari kepastian mengenai Raperda yang hendak disusun. Dengan menentukan lebih jelas, terarah dan terfokus apakah pendidikan khusus bagi semua ABK atau pendidikan bagi anak dengan disabilitas. Kepastian ini dituangkan menjadi nama Raperda yang sedang disusun DPRD Provinsi DIY.
- Jika yang menjadi titik poinnya adalah pendidikan khsusus yang mencakup semua ABK, maka pembahasan dilanjutkan. Hal ini dikarenakan bukan hanya penyandang disabilitas, sehingga tidak perlu menunggu amandemen Perda 4 Tahun 2012 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas
- Jika yang menjadi titik poinnya adalah pendidikan bagi anak dengan disabilitas, maka pembahasan Perda ini menunggu amandemen Perda 4 Tahun 2012 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas
- Apabila titik poinnya di pendidikan khusus yang mencakup semua ABK, diperlukan sinornisasi dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 70 Tahun 2009 Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
- Dalam mencakup semua ABK, maka tidak hanya penyandang disabilitas dan anak yang mempunyai potensi kecerdasan dan/atau bakat yang istimewa, tetapi juga anak Gifted, anak korban bencana alam, maupun situasi khusus lainnya, termasuk anak yang berada dalam penjara atau rehabilitasi sosial. Sedangkan dalam Draft Raperda Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Khusus yang disusun DPRD DIY belum mencakup hal ini. Perubahan cakupan ini otomatis akan mengubah muatan isi Raperda yang ada di dalamnya.
- Apabilia titik poinnya adalah pendidikan bagi anak dengan disabilitas, selain mengacu pada UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas juga harus memastikan bahwa terdapat dua model, yakni Pendidikan Khusus dan Pendidikan Umum/Inklusif. Harus memastikan pula bahwa pendidikan khsusus ini merupakan sarana menyiapkan murid untuk masuk ke sekolah umum/inklusif.
Referensi
https://joss.co.id/2018/09/ribuan-anak-difabel-di-jogja-tidak-bersekolah/
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/29/pada-2018-hanya-548-penyandang-disabilitas-yang-masih-sekolah