SAPDA Himbau UU TPKS Tindak Tegas Pemaksaan Kontrasepsi Disabilitas

Ilustrasi kontrasepsi.

Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menghimbau Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) perlu lebih tegas mengatur larangan pemaksaan kontrasepsi kepada penyandang disabilitas. Himbauan tersebut disampaikan dalam audiensi terkait Rancangan Undang-undang (RUU) TPKS pada Kamis (7/10) bersama Panitia Kerja (Panja) Badan Legislatif (Baleg).

Sholih Muhdlor dari divisi Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) SAPDA mengatakan, upaya mempertegas larangan kontrasepsi kepada penyandang disabilitas salah satunya bisa dilakukan dengan penambahan hukuman bagi para pelaku.

Menurutnya, pemerintah bisa mewajibkan pelaku untuk memberikan ganti rugi atau kompensasi material kepada penyintas. “Pelaku nya juga akan pikir-pikir karena akan terbebani secara finansial ketika melakukannya” tegas Sholih.

Menambahkan Sholih, Fatum Ade perwakilan Women Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA juga mendesak agar RUU TPKS juga menambah pembahasan hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli.

Menurutnya dari pengalaman pendampingan kasus oleh SAPDA, perempuan penyandang disabilitas masih mengalami banyak hambatan dalam mengakses keadilan. “Belum ada jaminan perlindungan hak dan ketidakpercayaan atas keterangan penyandang disabilitas” terang Ade.

Butuh Payung Hukum yang Tegas    

Pada kesempatan yang sama, aktivis perempuan penyandang disabilitas, Dwi Ariani juga berharap RUU TPKS mampu memberikan perlindungan lebih terhadap penyandang disabilitas, mengingat penyandang disabilitas mengalami kerentanan 10 kali lebih besar dari masyarakat pada umumnya.

Ia mengusulkan pula UU TPKS perlu dilengkapi definisi disabilitas dan diskriminasi. Ia juga meminta penambahan bab tentang klausul kontrasepsi, serta kesaksian korban dan saksi dari semua ragam disabilitas yang diakui oleh hukum. “Kami berharap juga hak-hak korban diakui dan dimasukan dalam RUU ini,” tegas Dwi.

Sependapat apa yang telah disampaikan Dwi, Perwakilan dari Eksekutif Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) Agus Hasan Hidayat mendesak agar adanya perubahan subtansi pasal 16 ayat 5 RUU TPKS tentang kesaksian penyandang disabilitas.

Ia menyesalkan pasal tersebut hanya mengakui dua ragam disabilitas. “(Setiap ragam) disabilitas seharusnya diakui sebagai subjek hukum yang sama atau setara” tegas Agus.

Sementara itu, Purwanti perwakilan dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) menambahkan bahwa akomodasi yang layak dan aksesibilitas perlu disediakan pada pelaporan, penyelidikan, penyidikan, pra-penuntutan, pasca putusan.

“Akomodasi yang layak ini meliputi aspek layanan, bagaimana cara membantu penyandang disabilitas memberikan keterangan di pengadilan, maka dibutuhkan misalnya juru Bahasa isyarat bagi disabilitas rungu” imbuh Purwanti.

Menanggapi masukan yang telah disampaikan dari berbagai LSM, Raisah Sunari perwakilan dari Baleg DPR-RI mengatakan bahwa pihaknya telah mengadopsi beberapa usulan. Misalnya, terkait ketentuan bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, RUU TPKS mengatur bahwa pelaporan bisa dilakukan oleh pendamping, orang tua, atau Wali.

Pihaknya juga mengaku telah mempertimbangkan terkait pemberatan hukuman bagi pelaku dalam kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, serta pemulihan bagi korban penyandang disabilitas. Hanya saja substansi tersebut belum dimasukan ke dalam draft terakhir.

“Terkait asas dan tujuan sepakat penghargaan atau penghormatan itu dimasukan tapi bukan hanya untuk penyandang disabilitas, prinsipnya kesetaraan” tutup Raisah.