Memenuhi Hak dan Akomodasi Layak bagi Disabilitas di Peradilan melalui Profile Assessment

pengadilan inklusi

Mewujudkan pengadilan inklusi merupakan amanat Undang-undang No 8 tentang Penyandang Disabilitas yang harus diwujudkan. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan dari Workshop Pemenuhan Hak Aksesibilitas dan Akomodasi Layak bagi Disabilitas, Rabu (26/08). Workshop yang berlangsung melalui Zoom ini menghadirkan perwakilan dari beberapa pengadilan yang sudah dan sedang berproses menghadirkan nilai-nilai inklusi di lingkungannya.

Layanan dan fasilitas yang aksesibel dalam lingkugan pengadilan di mulai dari pintu masuk hingga ruang sidang. Hal tersebut disampaikan oleh Heru Kurniawan, Hakim PN Yogyakarta. Di PN Yogyakarta, fasilitas seperti guding block sudah tersedia mulai dari gerbang masuk. Ditambah lagi dengan ruang tunggu khusus bagi kelompok rentan, dan toilet khusus bagi disabilitas.

Menurut Heru, yang jauh lebih penting dari mewujudkan sarana prasarana aksesbel tersebut ialah staf dan hakim di lingkungan pengadilan adalah mengerti cara berinteraksi dan memiliki perspektif disabilitas. “Kami bersyukur pernah mendapat sosialisasi dari SAPDA dan diajak berinteraksi dengan penyandang disabilitas,” papar Heru.

Pengalaman serupa juga disampaikan oleh Ayun Kristiyanto, Ketua Pengadilan Negeri Karanganyar. Di lingkugannya, fasilitas bagi disabilitas lebih representatif. Selain melengkapi fasilitas bagi disabilitas, mereka juga menyediakan ruang ramah anak di ruang tunggu sidang. Selain itu, mantan wakil ketua PN Wonosari ini juga menyediakan ruang sidang khusus bagi kelompok rentan.

Pentingnya Profile Assesment

Dalam rangka pemenuhan hak dan memberikan akomodasi yang layak bagi disabilitas tidak bisa lepas dari yang namanya profile assessment. Nurul Sa’adah Andriani, Direktur SAPDA menyampaikan bahwa UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan  mengamanatkan untuk melakukan profile assessment bagi penyandang disabilitas.

Lebih lanjut Nurul menerangkan bahwa semua pihak yang terkait dengan proses persidangan harus melakukan profile assessment. Adapun pihak-pihak tersebut ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Mahkamah Agung. Menurutnya, proses ini penting untuk menghadirkan kesetaran di proses persidangan. “Profile assessment ini berfungsi untuk memberikan kesetaraan bagi disabilitas dan persidangan,” terang Nurul.

Perlu Konsistensi

Mewujudkan pengadilan yang menjangkau kelompok rentan tentu bukan kerja satu atau dua hari, melainkan proses panjang yang harus dijalankan semua pihak. Emmy Yulianti, perwakilan dari Mahkamah Agung menyampaikan hal serupa. Ia menyampaikan bahwa sarana dan prasarana di pengadilan menyesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas.

Dia berharap kepada pengadilan yang sudah dan berproses menuju inklusi untuk menjalankan rencana aksi ini dan dilaksanakan dengan istiqomah dan konsisten. Selain itu, dalam menghadirkan sarana dan prasarana bagi disabilitas, setiap orang yang ada di pengadilan harus paham tentang disabilitas.

Dalam workshop ini hadir juga perwakilan dari 10 pengadilan negeri, mulai dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Pengadilan Negeri Yogyakarta, Pengadilan Negeri Karanganyar, Pengadilan Negeri Wonosari, Pengadilan Negeri Batam, Pengadilan Negeri Mojokerto, Pengadilan Negeri Watampone, Pengadilan Negeri Wates, Pengadilan Negeri Sleman, Pengadilan Negeri Bantul, Pengadilan Negeri Makassar, Pengadilan Agama Yogyakarta.

Selain itu, hadir juga perwakilan peserta dari Mahkamah Agung, kejaksaan, polrestas, persatuan dokter, advokat dan jejaring LSM di Yogyakarta.